Oleh: Ghaida Mutmainnah
Setiap kali kalender Jawa memasuki bulan Suro, hawa mistis seolah menyelimuti masyarakat. Di banyak daerah di Jawa, bulan Suro sering dikaitkan dengan cerita-cerita mistik, ritual-ritual adat, hingga larangan-larangan tertentu yang diwariskan turun-temurun. Mulai dari tradisi “tirakatan” (bertapa), larangan mengadakan pesta pernikahan, hingga ritual larung sesaji di laut, semua menjadi bukti betapa kuatnya mitos yang melekat pada bulan pertama dalam penanggalan Jawa ini. Namun, apakah bulan Suro memang benar-benar mistis, ataukah ini hanyalah cermin dari kekayaan budaya dan cara orang Jawa memaknai hidup?
Secara historis, bulan Suro (atau Muharram dalam kalender Hijriyah) memang memiliki tempat istimewa. Dalam Islam, Muharram dianggap sebagai bulan mulia, bulan untuk memperbanyak ibadah, puasa sunah Asyura, dan menjauhi perbuatan maksiat. Sementara dalam tradisi Jawa, Suro menjadi simbol awal baru yang penuh kehati-hatian. Orang Jawa dahulu memandang pergantian tahun bukan sebagai pesta, melainkan sebagai saat untuk mawas diri. Tirakatan, tapa bisu, hingga ziarah kubur dilakukan sebagai bentuk introspeksi diri terhadap perjalanan hidup.
Sayangnya, makna filosofis ini seringkali tertutup oleh narasi mistis yang berkembang di masyarakat. Cerita tentang makhluk halus yang berkeliaran lebih ganas di bulan Suro, pernikahan yang konon akan berakhir tragis jika dilakukan di bulan ini, hingga anggapan bahwa Suro adalah “bulan angker”, menjadi kisah-kisah yang diwariskan tanpa kajian. Banyak orang lebih takut pada “pantangan” daripada memahami esensi spiritual yang sebenarnya.
Di sinilah kita perlu kritis. Apakah bulan Suro benar-benar mistis, ataukah rasa takut itu lahir dari kebiasaan kolektif yang terus dilanggengkan? Dalam pandangan yang lebih rasional, setiap bulan memiliki waktu dan hari yang sama panjangnya. Tidak ada bulan yang secara inheren membawa sial ataupun berkah. Yang ada adalah persepsi kita sendiri yang dibentuk oleh tradisi.
Namun demikian, kita juga tidak bisa menafikan bahwa tradisi Suro adalah warisan budaya yang kaya nilai. Ritual seperti larung sesaji atau kirab pusaka bukan sekadar praktik mistik, tapi juga bagian dari identitas masyarakat Jawa yang sarat filosofi tentang keseimbangan manusia dengan alam semesta. Tradisi itu seharusnya dimaknai sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur, alam, dan Sang Pencipta, bukan sebagai wujud ketakutan pada hal-hal gaib.
Maka, bulan Suro sesungguhnya memberi kita ruang untuk diam sejenak, merenung, dan memperbaiki diri. Jika mistis dimaknai sebagai “suasana yang membuat kita lebih khusyuk dan mawas diri”, mungkin ada benarnya. Tapi jika mistis dimaknai sebagai ketakutan irasional yang membelenggu langkah, sudah saatnya kita memutus rantai itu. Mistis atau tidaknya Suro ada pada cara kita memaknainya: sebagai mitos yang membatasi, atau sebagai warisan budaya yang mengajarkan kita untuk hidup lebih selaras dengan alam dan diri sendiri.
Tambahkan Komentar