Oleh : Indah Kurnia Sari

Di sebuah dusun kecil yang terletak di lereng gunung, waktu berjalan lebih lambat dari kota. Di sana, suara ayam, desir angin, dan gemericik air dari pancuran bambu adalah simfoni sehari-hari. Di salah satu rumah panggung sederhana yang berdiri menghadap sawah, terdapat lumbung tua dengan teras kecil di depannya. Di situlah sepasang sandal usang bertengger, tak pernah dipindahkan, seolah menanti kaki yang tak lagi datang.


Sepasang sandal itu bukan sekadar alas kaki. Ia adalah kenangan. Sandal itu milik Pak Karta, seorang petani tua yang dikenal ramah dan ringan tangan. Sejak muda, Pak Karta dikenal sebagai penjaga lumbung desa atau tempat menyimpan gabah dari hasil panen bersama. Lumbung itu bukan miliknya secara pribadi, tapi seluruh warga sepakat menyerahkan kunci padanya. Di sana, hasil panen ditakar dengan kejujuran dan dibagikan dengan rasa cukup.


Setiap pagi, sebelum matahari menyentuh pucuk bambu, Pak Karta sudah duduk di teras lumbung. Sepasang sandalnya ia lepas dengan tertib, diletakkan berdampingan seperti tangan yang berdoa. Ia akan menyeduh kopi hitamnya, memandangi hamparan padi, dan mencatat siapa yang menitip gabah hari itu. Anak-anak sering datang mendengar kisah-kisahnya, tentang bagaimana dulu panen dilakukan gotong-royong, tentang burung hantu penjaga lumbung, hingga tentang janji yang tak boleh dilanggar: “Jangan ambil lebih dari yang kau butuhkan.


Namun, suatu hari Pak Karta tak lagi datang. Ia jatuh sakit dan tak lama kemudian berpulang. Lumbung desa itu kini dikunci, dan sebagian warga lebih suka menyimpan hasil panen di rumah sendiri. Tapi anehnya, setiap pagi, sepasang sandal tua itu tetap berada di sana. Tak ada yang tahu siapa yang menaruhnya kembali saat malam. Beberapa warga percaya itu tanda bahwa semangat Pak Karta masih menjaga lumbung, agar nilainya tak hilang: kebersamaan, kejujuran, dan rasa cukup.


Anak muda dusun kini mulai melirik kembali lumbung itu. Mereka berbicara tentang menghidupkan gotong royong, menanam bersama, dan menyimpan hasil panen sebagai simpanan bersama, seperti dulu. Sepasang sandal itu, meski tak bisa bicara, menjadi pengingat diam bahwa hal baik tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu dikenang dan dihidupkan kembali.


Maka ketika kita berbicara tentang kemajuan desa, tentang teknologi pertanian, dan tentang hasil panen yang melimpah, jangan lupa pada hal-hal kecil yang membentuk jiwa desa itu sendiri. Mungkin bukan pabrik pupuk atau mesin traktor yang paling penting, tapi sepasang sandal di teras lumbung, yang diam-diam menyimpan nilai, warisan, dan harapan.

Bagikan :

Tambahkan Komentar