Oleh: Audia Widyaningrum

Pak Karto bukan sekadar nama, ia adalah gambaran hidup dari tanah yang ia garap. Punggungnya yang sedikit membungkuk adalah saksi bisu puluhan tahun berjemur di bawah terik mentari dan menggigil diterpa angin malam. Di usianya yang menginjak enam puluh, tangan-tangannya tetap kokoh, kasar, dengan urat-urat menonjol seperti akar-akar tua yang merambat di permukaan tanah.


Setiap fajar menyingsing di Temanggung, sebelum ayam jago berkokok pun, Pak Karto sudah beringsut dari dipan bambu reotnya. Secangkir kopi hitam pahit dan sebatang rokok lintingan adalah ritual paginya, menemani pandangannya yang menembus embun tipis di persawahan di depan gubuk sederhananya. Pemandangan itu, baginya, adalah kanvas tak berujung yang selalu menawarkan harapan.


Hari itu, musim kemarau panjang sedang menggerogoti. Tanah persawahan retak-retak, menganga seperti mulut-mulut yang kehausan. Tanaman padi yang seharusnya menghijau lebat, kini layu, menguning, seolah putus asa menanti setetes air. Pak Karto menghela napas panjang. Bukan sekali dua kali ia menghadapi cobaan seperti ini. Dulu, pernah banjir bandang menghanyutkan semua impiannya. Pernah juga hama menyerang, mengubah bulir-bulir padi menjadi hampa. Tapi tak pernah sekalipun ia menyerah.


Dengan caping lusuh di kepala, ia melangkah ke sawah. Ditatapnya satu per satu rumpun padi yang merana. Ia sentuh daun-daun yang kering, seolah ingin menyalurkan sedikit kesejukan dari telapak tangannya yang hangat. Di sudut petak sawahnya, sebuah sumur tua peninggalan kakeknya masih setia berdiri. Airnya memang tak seberapa deras, tapi cukup untuk menghidupi beberapa ember.


"Sudah, Pak. Biarkan saja. Mungkin memang belum rezeki kita," suara Bude Jem, istrinya, lirih dari pematang. Bude Jem membawa bekal nasi bungkus sederhana untuk makan siang Pak Karto.


Pak Karto hanya tersenyum tipis, matanya memancarkan keteguhan. "Belum rezeki kalau kita tidak berusaha, Yu," jawabnya sambil mulai menimba air dengan ember. Satu per satu, ia siramkan air itu ke setiap rumpun padi, seolah sedang memberikan napas kehidupan. Peluh membasahi dahinya, mengalir, menyatu dengan debu tanah.


Bude Jem terdiam, memperhatikan suaminya. Ia tahu betul keras kepala Pak Karto. Keras kepala yang lahir dari cinta mendalam pada tanah dan takdirnya sebagai petani. Sore harinya, ketika matahari mulai condong ke barat, Pak Karto masih di sawah. Ia tak sendirian lagi. Beberapa tetangga petani lain yang melihat kegigihannya, kini ikut membantu menimba dan menyiram. Mereka mungkin awalnya datang karena kasihan, tapi akhirnya tergerak oleh semangat pantang menyerah Pak Karto.


"Memang airnya tidak banyak, Pak Karto," kata salah satu tetangganya, "tapi setidaknya ini bisa sedikit membantu."


Pak Karto mengangguk. "Sedikit demi sedikit, mas. Seperti rezeki, kalau kita sabar, pasti ada jalannya."


Malam harinya, Pak Karto terlelap dengan tubuh lelah, namun hatinya sedikit lega. Ia tahu, satu hari penyiraman itu mungkin tidak akan menyelamatkan seluruh padinya. Tapi ia sudah berusaha. Dan di atas segalanya, ia telah menyalakan kembali secercah harapan di hati tetangganya.


Beberapa hari kemudian, keajaiban kecil terjadi. Awan gelap mulai berkumpul di langit Temanggung. Aroma tanah basah mulai tercium tipis, disusul rintik-rintik hujan yang awalnya ragu, lalu perlahan menjadi deras. Hujan. Bukan sekadar air yang jatuh dari langit, tapi anugerah, jawaban atas doa dan kerja keras.


Pak Karto berdiri di depan gubuknya, membiarkan tetesan air membasahi wajah tuanya. Punggungnya yang membungkuk kini terasa sedikit lebih tegak. Di tengah sawahnya yang kini basah dan menghirup lega, ia tahu, tak ada yang sia-sia dari sebuah usaha dan ketulusan. Tangan kokohnya, kini bukan hanya menggenggam lumpur, tapi juga sebuah keyakinan abadi: bahwa tanah tak pernah mengkhianati mereka yang mau berusaha dan bersabar.

Bagikan :

Tambahkan Komentar