Oleh: Ghaida Mutmainnah
Gang kecil di ujung kampung selalu menjadi tempat favorit Aksa dan Naira bermain setiap sore. Gang itu sempit, hanya cukup untuk satu motor lewat, tapi bagi mereka, itu adalah “istana rahasia” yang penuh petualangan. Ada pohon jambu yang dahannya menjuntai, tembok rumah yang penuh coretan kapur warna, dan suara kicau burung yang terdengar seperti lagu.
Aksa, dengan rambutnya yang selalu berantakan, duduk di atas pagar bata sambil mengayunkan kaki. Di sebelahnya, Naira yang mengenakan pita biru di rambut, sibuk menggambar di buku sketsanya. Mereka berdua adalah sahabat sejak TK, dan kini duduk di kelas 5 SD.
“Naira, kalau kita sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?” tanya Aksa tiba-tiba.
Naira mengangkat kepalanya, tersenyum. “Aku mau jadi guru. Biar bisa ngajarin anak-anak membaca.”
“Kalau aku jadi pilot, aku akan antar kamu ke mana saja gratis!” kata Aksa sambil tertawa.
Naira ikut tertawa. “Janji ya? Jangan lupa. Kamu pilot, aku guru. Kita tetap sahabat!”
Aksa mengulurkan kelingkingnya. Naira menyambut dengan kelingkingnya juga. Mereka membuat janji, janji yang mereka kira akan selamanya.
Tapi musim hujan membawa kabar yang tak mereka duga. Ayah Naira mendapat pekerjaan di kota besar. Dalam dua minggu, Naira harus pindah.
Hari itu, Naira berdiri di ujung gang, menatap Aksa yang mendengar kabar itu dengan wajah muram. Hujan rintik turun pelan, membasahi ujung rambut mereka.
“Kamu beneran pindah?” suara Aksa serak.
Naira mengangguk pelan. “Iya… tapi aku nggak akan lupa janji kita. Kamu pilot, aku guru. Kita sahabat selamanya.”
Aksa menggigit bibir. “Tapi kalau kita jauh, kita nggak bisa main lagi di sini. Siapa yang bakal nemenin aku manjat pohon jambu?”
Naira menatap pohon jambu yang daunnya basah. “Kita tulis surat, ya? Biar tetap bisa cerita.”
Aksa diam. Ia menunduk, lalu mengulurkan kelingking lagi. “Janji di ujung gang. Kamu harus balas semua suratku!”
Naira tersenyum, meski air matanya ikut jatuh bersama hujan. “Janji!”
Hari-hari berlalu tanpa Naira di ujung gang. Aksa sering duduk sendirian di pagar bata, menulis surat untuk sahabatnya. Ia bercerita tentang nilai ulangan, tentang pohon jambu yang berbuah lagi, tentang kucing liar yang kini punya anak. Surat-surat itu ia masukkan ke kotak pos, berharap Naira membacanya sambil tersenyum.
Surat balasan Naira pun selalu datang. Ia bercerita tentang sekolah barunya, teman-teman barunya, dan rindunya pada gang kecil tempat mereka dulu bermain.
Hingga suatu hari, surat balasan berhenti datang. Sebulan, dua bulan, tiga bulan—tak ada kabar. Aksa mulai gelisah. Ia menulis lebih banyak surat, tapi semua kembali tanpa jawaban.
Tahun demi tahun berganti. Pohon jambu di ujung gang sudah tumbang. Tembok rumah penuh coretan kapur kini dicat ulang. Dan Aksa, yang kini sudah SMA, masih sering berjalan ke ujung gang. Ia berdiri di sana, mengenang masa kecilnya.
“Kalau aku jadi pilot beneran, apa Naira masih ingat janji kita?” gumamnya.
Suatu sore yang cerah, di ujung gang yang kini sepi, seorang gadis dengan pita biru di rambutnya berdiri sambil tersenyum. Ia menatap Aksa yang berjalan pulang dengan seragam SMA.
“Aksa…” suaranya lembut, tapi cukup untuk membuat Aksa menoleh.
Aksa terdiam. Gadis itu… rambutnya masih sama, pita biru yang sama, tapi kini ia terlihat lebih dewasa.
“Naira?” Aksa hampir tak percaya.
Naira tersenyum lebar. “Maaf, aku lama nggak balas surat. Waktu itu aku sakit lama… sampai harus berhenti sekolah sebentar. Tapi aku selalu simpan semua suratmu.”
Aksa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Semua rindu yang tertahan seakan meledak. “Aku pikir kamu lupa sama janji kita.”
“Mana mungkin,” jawab Naira sambil tertawa kecil. “Aku kan sahabatmu. Janji di ujung gang itu sakral!”
Mereka berdua berdiri di sana, di tempat yang penuh kenangan. Pohon jambu memang sudah tumbang, tapi hati mereka tetap menyimpan masa kecil yang tak pernah hilang.
Aksa tersenyum. “Jadi, kamu masih mau jadi guru?”
Naira mengangguk. “Dan kamu masih mau jadi pilot?”
“Masih. Supaya aku bisa antar kamu gratis ke mana saja,” jawab Aksa.
Naira tertawa. Mereka lalu mengaitkan kelingking kali ini dengan perasaan yang lebih dalam. Janji yang dulu mereka buat sebagai anak kecil kini terasa lebih berarti.
Di ujung gang itu, mereka tak hanya menemukan kembali sahabat lama, tapi juga menemukan bahwa janji masa kecil bisa jadi benih rasa yang tumbuh diam-diam.
Tambahkan Komentar