Oleh: Audia Widyaningrum
Langit mulai menguning saat Andra menapakkan kaki di pos terakhir. Napasnya berat, keringat mengucur dari pelipis, dan jaket gunungnya penuh debu jalur. Di belakangnya, bayangan Gunung Rinjani menjulang bagai raksasa sunyi, menantang setiap jiwa yang berani mendakinya.
"Apa kamu yakin masih kuat?" tanya Bima, sahabatnya sejak SMA, sambil meneguk air mineral yang tinggal setengah botol.
Andra mengangguk. "Kita sudah sejauh ini. Aku enggak mau menyerah sekarang."
Pendakian kali ini bukan sekadar hobi. Bagi Andra, ini adalah perjalanannya menepati janji—janji kepada ayahnya yang telah tiada.
Dulu, ketika Andra masih kecil, ayahnya sering membawanya mendaki gunung-gunung kecil di Jawa Barat. Tapi satu janji yang belum pernah terpenuhi: mendaki Rinjani bersama. Namun ajal menjemput lebih dulu. Kini, Andra mendaki dengan membawa abu kremasi sang ayah di dalam kantong kecil di ranselnya.
Malam tiba dengan angin yang menggigit. Mereka berkemah di Plawangan Sembalun, di bawah langit penuh bintang. Suara gemerisik dedaunan dan bisikan angin menyelimuti tenda mereka, membuat suasana hening tapi hangat.
Pagi buta, dengan senter di kepala dan semangat yang menyala, mereka mulai summit attack.
Langkah demi langkah, Andra merasa tubuhnya makin lemah. Tapi ketika kabut tipis mulai menipis dan cahaya jingga mentari mulai menari di ufuk timur, semangatnya membuncah. Di puncak, dunia seakan membeku. Di hadapannya, danau Segara Anak tampak seperti cermin raksasa yang memantulkan langit.
Andra berdiri di titik tertinggi, memejamkan mata, lalu membuka kantong kecil di tangannya. Angin membawa butiran abu itu melayang, menari di udara sebelum menghilang di cakrawala.
“Ayah, kita sampai,” bisiknya.
Bima menepuk pundaknya pelan. Tak ada kata yang keluar. Hanya senyum dan mata yang berkaca-kaca.
Di puncak sunyi itu, Andra tidak merasa sendiri. Ia tahu, ada seseorang yang turut mendaki bersamanya—dalam kenangan, dalam setiap langkah, dan dalam setiap tarikan napas yang memeluk langit.
Tambahkan Komentar