Oleh Sumanto Al Qurtuby
Penulis adalah Guru Besar di King Fahd University for Petroleum and Gas, Arab Saudi

Seperti saya tulis sebelumnya, menurut catatan sejarah, tradisi atau budaya cadar di kawasan Timur Tengah awalnya bukan diperkenalkan oleh masyarakat Arab maupun Yahudi. Tetapi berasal dari peradaban Assyria, sekitar 25 abad Sebelum Masehi, jauh sebelum kelahiran Islam di Semenanjung Arabia di abad ke-7 M. Umat Islam Arab, kelak, hanya mengadopsi tradisi bercadar yang diperkenalkan oleh peradaban neo-Assyria, terutama Persia.

Baca juga: Cadar Yahudi Menurut Sumanto Al Qurtuby

Assyria adalah sebuah kerajaan/imperium Mesopotamia kuno yang paling utama di kawasan Timur Tengah (dan Suriah atau Levant). Di kawasan inilah kelak menjadi pusat utama komunitas Kristen Syria dan embrio lahirnya "Gereja Timur" dan "Kristen Timur" yang menggunakan Syriac sebagai "bahasa suci" dalam liturgi atau acara-acara ritual keagamaan.

Dalam tradisi masyarakat Assyria dulu, cadar merupakan simbol kelas sosial elit masyarakat. Cadar adalah penanda "status sosial" seorang perempuan. Hanya kalangan bangsawan dan perempuan aristokrat saja yang menggunakan cadar ini.

Para perempuan budak dan "wong cilik" haram memakai cadar, dan kalau ketahuan memakainya, maka mereka akan dihukum cambuk di hadapan massa. Disini kita juga lihat, hukum cambuk yang diadopsi Islam sebetulnya juga berasal dari tradisi non-Islam dan non-Arab.

Dalam perkembangannya, cadar ini mengalami proses evolusi pemaknaan sehingga mengalami perbedaan makna dan fungsi dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Di zaman Afganistan dan Asia Tengah kuno, seperti yang pernah ditulis oleh Professor Muhammad Qadeer dari Queen's University, cadar adalah perlambang "kelas menengah": bukan "kelas elit" maupun "kelas bawah". Perempuan "kelas elit" malah haram bercadar.

Dalam konteks masyarakat Arab pra-Islam, kata "burqa" (yang kini merujuk pada salah satu bentuk "cadar") pernah dipakai di awal abad ke-7 M, tetapi merujuk pada pengertian "sehelai kain pelindung tubuh khususnya di musim dingin". Kamus Bahasa Arab "Lisan al-Arab", memberikan dua contoh pemakaian kata "burqa" dalam tradisi Arab pra-Islam, yaitu semacam selimut untuk binatang di musim dingin dan kain semacam syal untuk perempuan desa.


Di masyarakat Arab pra-Islam, perempuan, baik perempuan "kelas bawah" maupun "kelas elit" tidak bercadar. Pada awal-awal perkembangan Islam, cadar hanya eksklusif dikenakan para istri Nabi Muhammad pada waktu di ruang publik sebagai "pembeda" dan "penanda" antara perempuan istri Nabi dan bukan.

Praktik bercadar ini baru cukup marak di kalangan perempuan Arab ratusan tahun setelah Islam lahir, yaitu sekitar abad ke-9/10 pada waktu lahirnya banyak hukum Islam (fiqih) dan mazhab yang mengatur "tetek-bengek" (maaf, menyebut kata ini lagi he he) tentang kehidupan perempuan. Aturan-aturan hukum Islam itu dalam banyak hal merugikan kaum perempuan.

Baca juga bagian dari artikel ini: Cadar Bukan Ajaran Islam (1)

Puncaknya kelak di zaman Kesultanan Mamluk di Mesir dan Afrika Utara di mana kebijakan ketat bercadar itu diterapkan dan perempuan dilarang melakukan aktivitas di ruang publik. Disini, cadar bukan lagi sebagai penanda "kelas elit" perempuan seperti di zaman Assyria tetapi sebagai "simbol ketertindasan", korban kebijakan politik rezim Sunni Mamluk yang mengatur tentang "syariat tubuh".

Bukan hanya "rezim Sunni" saja yang ketat dalam mengatur tubuh perempuan lewat cadar (dan tata-busana). Rezim Syiah juga sama. Sangat ketat dalam bertata-busana. Kelak, Raja Amanullah di Iran di awal tahun 1920an pernah membuat kejutan di masyarakat Iran dengan membolehkan istrinya, Ratu Soraya, membuka cadar di tempat umum.

Dia mengatakan, "Islam tidak mengsyaratkan perempuan untuk menutup kaki, tangan dan wajah mereka. Menutup wajah dengan cadar hanyalah budaya sebagian masyarakat di Timur Tengah bukan doktrin dan ajaran keislaman" (Bersambung)
#CadarBukanAjaranIslam
Bagikan :

Tambahkan Komentar