TABAYUNA.com - Saya perhatikan ada sejumlah pihak, khususnya golongan Mamat-Mimin-Momon, yang salah paham, gagal paham, dan nggak paham-paham atas postinganku tentang "Cadar Bukan Syariat Islam". Karena salah paham, gagal paham, dan nggak paham-paham dengan ponstinganku ini, mereka menuduhku anti-Islam, nggak paham Syariat Islam, dan nyinyir kepada perempuan bercadar.

Baca juga: Cadar Yahudi Menurut Sumanto Al Qurtuby

Saya puluhan tahun belajar Islam, baik di pondok pesantren, madrasah (MTs & Aliyah) (di Pekalongan dan Semarang) maupun di IAIN (kini UIN) Walisongo. S1-ku adalah di bidang Hukum Islam di Fakultas Syariah. Meskipun S2/S3-ku (di Salatiga, Virginia, dan Boston) bukan di bidang Islamic Studies tetapi fokus studiku tetap di bidang Muslim Studies.

Fokus utama PhD-ku di Boston University adalah di bidang "Antropologi Islam dan masyarakat Muslim" (di berbagai kawasan). Selama bertahun-tahun, saya mempelajari sejarah, keragaman, dan dinamika masyarakat Muslim di berbagai negara: Afganistan, Turki, Indo-Pakistan, Iran, Arab & Timur Tengah, Tiongkok, dlsb., termasuk Asia Tenggara tentunya. Jadi, dikit-dikit tahulah tentang seluk-beluk sejarah Islam dan pluralitas Muslim, dan nggak bego-bego amat soal kajian keislaman he he. Meski begitu ya saya tahu dikit aja, nggak tahu banyak karena kepinteran ada batasnya, beda dengan kebegoan he he.

Baca juga: Gus Nur Semakin Gendeng, Lecehkan NU Karena Diundang Tak Dikasih Amplop 

Nah, sebagai antropolog budaya, maka yang saya tulis bersifat diskriptif-informatif menggambarkan sebuah fakta dan fenomena sosial di masyarakat, baik dari aspek kesejarahan maupun sosial-kultural, termasuk soal percadaran ini. Dalam konteks ini, saya hanya menggambarkan, menguraikan, memaparkan, dan menganalisis sejarah dan dinamika pemakaian cadar dalam kebudayaan manusia.

Sebagai antropolog pula, saya tidak ada urusan soal "halal-haram" sebuah fakta atau fenomena sosial itu. Yang suka bilang halal-haram kan golongan "klerik", agamawan, dan "ahli pekih" atau minimal Mamat-Mimin he he. Saya hanya tertarik: kenapa ada orang dan kelompok yang bilang halal, dan ada orang dan kelompok lain yang bilang haram atas sebuah fakta/fenomena itu.

Pula, sebagai antropolog, saya tidak berurusan dengan dalil ayat ini-itu, Hadis ini-inu, kitab ini-itu dan seterusnya. Dalil ini lebih sahih dari yang itu, dlsb. Urusan yang ini bagiannya Kiai, Ajengan, Tuanku Guru, dlsb.

Yang saya perhatikan dan pentelengi adalah: kenapa sebagian orang dan kelompok menggunakan dalil ayat/hadis/kitab ini, sedangkan yang lain memakai dalil ayat/hadis/kitab itu. Kenapa mereka mengklaim dalil ayat/hadis/kitab tertentu yang paling valid, sahih dan otentik? Kenapa bukan dalil ayat/hadis/kitab yang lain? Bukankah "dalil naqli" itu sangat plural dan kompleks? Apa maksud, tujuan, dan motivasi orang-orang ini? Adakah "udang di balik glepung" dari pernyataan dan argumen mereka? Itu saja.

Begitu pula dalam soal percadaran ini. Yang saya perhatikan adalah keragaman pendapat dan praktek tentang pemakaian cadar ini yang bukan hanya dijumpai di kalangan Muslimah saja tetapi juga non-Muslimah di kawasan Arab dan Timur Tengah dan berbagai belahan dunia lain. Kenapa soal percadaran ini juga termaktub dalam teks-teks keagamaan diluar Islam? Kenapa masyarakat pra-Islam sudah mempraktekan cadar? Ada apa dengan ini? Bagaimana sejarah dan perkembangannya? Bagaimana proses evolusinya? Dan seterusnya.

Baca juga artikel: Cara Bukan Ajaran Islam (bagian 1)

Apakah dengan penjabaran model ini, saya anti-cadar? Bagaimana mungkin saya anti-cadar wong para istri teman dan kolegaku di Arab, banyak yang bercadar. Saya sangat menghormati pilihan masing-masing individu. Mau bercadar kek, berhelm kek, bermasker kek, tekek kek. Emang gue pikirin. Bahkan di Semarang, tetanggaku juga bercadar dan berteman baik dengan istriku. Saya juga berteman baik dengan suaminya yang aktivis "Islam kanan". Bahkan sering saya mintai bantuan untuk reparasi ini-itu karena kebetulan dia ahli di bidang elektrik/elektronik.

Apakah Kang Mamat dan Mbak Mimin sekarang sudah jelas dan mudeng? Kalau belum jelas dan mudeng juga, coba periksakan dengkul kalian ke dokter siapa tahu otak kalian sedang korslet. (*)

Sumber: Status Facebook Kang Sumanto Al Qurtuby

Bagikan :

Tambahkan Komentar