Oleh : Vinanda Febriani
Penulis merupakan aktivis IPPNU Magelang

Bagi mayoritas penduduk berdomisili Magelang, pastinya sudah tidak asing lagi dengan nama KH Chudlori. Seorang Ulama Islam Moderat pendiri Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang. Beliau terkenal dengan fatwanya yang sangat moderat, beliau selalu memilih suatu jalan tengah dalam kebenaran untuk menjaga keseimbangan dalam segala aspek.

Diceritakan pada suatu hari, masyarakat suatu desa mendapatkan bantuan dana yang cukup besar. Rencananya, dana itu akan digunakan untuk pembuatan masjid di daerah tersebut. Namun, mayoritas masyarakat daerah menolak dan mengusulkan supaya dana itu dibelanjakan untuk keperluan kesenian masyarakat. Para tokoh-tokoh Agama di daerah itu dilema dengan keputusan yang diperoleh mereka.

Akhirnya para tokoh Agama memilih jalan untuk bersilaturahmi kepada KH Chudlori dan menanyakan fatwa mengenai penggunaan dana untuk desa tersebut. Lebih baik untuk dana pembangunan masjid atau untuk membelanjakan peralatan kesenian masyarakat.


"Mohon maaf Kyai, di desa kami ada bantuan dana yang cukup besar. Kami berniat untuk menggunakan dana tersebut untuk pembangunan masjid di desa kami. Namun, mayoritas masyarakat di desa kami menolak dan menginginkan supaya dana tersebut digunakan untuk membeli perlatan kesenian. Menurut panjenengan bagaimana Kyai ?" tanya seorang tokoh Agama kepada Kh Chudlori.

"Sebaiknya dana tersebut digunakan untuk membelanjakan alat-alat kesenian" jawab Kh Chudlori. Bagi orang awam mungkin masih bingung ketika mendengar jawaban Kh Chudlori tersebut. Begitu pula dengan para tokoh Agama ini, mereka kebingungan. Kemudian beberapa tokoh Agama yang bersilaturahmi kepada Kh Chudlori itu berpamitan untuk pulang. Namun, ada salah satu dari mereka yang belum puas dengan jawaban Kh Chudlori. Akhirnya orang tersebut kembali bersilaturahmi ke rumah Kh Chudlori.

"Kyai, mohon maaf. Kenapa keputusan panjenengan mengenai dana di desa kami tersebut lebih baik digunakan untuk pembelian peralatan kesenian masyarakat?" tanyanya sambil sedikit terheran-heran.

"Jadi begini, apabila dana tersebut digunakan untuk pembangunan masjid. Maka dana yang tidak seberapa itu tidak akan cukup hingga pembangunan masjid selesai. Namun, jika dana tersebut digunakan untuk keperluan masyarakat terlebih dahulu, maka masyarakat akan merasa lega, mereka akan bersemangat membantu pembangunan masjid di desamu itu" jelas Kh Chudlori.

Benar dawuh Kh Chudlori. Dana tersebut kemudian dialokasikan kepada masyarakat untuk pembelian peralatan kesenian masyarakat desa. Selang beberapa hari, ada proyek pembangunan masjid yang dipelopori oleh tokoh yang menerima dana tersebut.

Masyarakat dengan senang hati membantu, menjadi donatur jasa, tenaga maupun dana supaya pembangunan masjid tersebut cepat terselesaikan. Bahkan bantuan masyarakat melebihi dana yang dialokasikan untuk pembelian peralatan kesenian desa tersebut. Berapa bulan kemudian, masjid itu telah selesai dibangun dan menjadi masjid yang indah.

Dari cerita ini dapat kita simpulkan bahwasanya para Kyai dan Ulama NU menanamkan sikap Moderat. Mementingkan apa yang sekiranya lebih bermanfaat untuk masyarakat supaya masyarakat berbondong-bondong mencintai Islam khususnya Ahlusunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah seperti sepenggal cerita diatas. Karena NU faham betul bahwa Islam itu menjunjung tinggi sikap Tawasuth, Tasamuh, dan Ta’adul, tidak egois dan serba menang sendiri. Islam mengutamakan musyawarah mufakat demi kesejahteraan Ummat.

*Cerita ini di ambil dari pemaparan Ustad Dimyati (Guru Aswaja NU di MA Maarif Borobudur) pada Kamis, 10 Agustus 2017.

Borobudur, 11 Agustus 2017.
Bagikan :

Tambahkan Komentar