Ilustrasi
Oleh : Vinanda Febriani

Kekacauan di dunia pendidikan, mungkin begitulah sekiranya. Akhir-akhir ini Nahdlatul Ulama (NU) tengah digemparkan dengan keputusan Kemendiknas yang menginginkan sekolah-sekolah formal di Indonesia menggunakan sistem belajar yang Five full day school. Tentu banyak kalangan yang menentang dan menolak keputusan tersebut. Pasalnya, di Indonesia ini masih banyak sekolah formal yang belum difasilitasi dengan baik. Sehingga, perlu dipertimbangkan kembali untuk penggunaan sistem belajar Full day school.

Seperti yang dituliskan denny siregar, Menteri Pendidikan Nasional (Muhadjir Effendy) gagal "Story telling" kepada rakyat, terutama kalangan Nahdliyyin. Sehingga, alih-alih proyek pendidikannya di terima di masyarakat, malahan ditolak mentah-mentah dan didemo karena diklaim nantinya akan mematikan Madrasah diniyyah yang ada. Ya, pendidikan dasar sekolah diniyyah (Madrasah Diniyyah) memang sangat penting. Apalagi, untuk kalangan usia belia (Usia Sekolah Dasar) yang masih belajar Baca Tulis Al-Qur’an. Sebab, dimana lagi dia mau belajar ilmu pendidikan Al-Qur’an jika tidak di TPQ atau Madrasah Diniyyah. Kalaupun di sekolah ada, tidak akan bisa se-maksimal pendidikan di madrasah diniyyah. Sehingga, NU sangat menjunjung tinggi madrasah diniyyah yang sudah ada jauh sebelum berdirinya lembaga pendidikan formal di Indonesia.

Pernyataan presiden mengenai penerapan Full day school sedikit membuat hati lega. Pasalnya, pak Jokowi mengatakan bahwasanya tidak semua sekolah wajib menerapkan sistem Full day school. Lembaga pendidikan NU berbasic Pesantren, ada beberapa yang sudah terlebih dahulu menerapkan sistem pendidikan Full day school. Bahkan, berjalan secara ’Sempurna’ hingga saat ini. Begitu juga sekolah-sekolah lainnya. NU tidak perlu terlalu mengekang Full day school, sebab di Lembaga Pendidikan NU sudah ada beberapa yang menggunalannya. Mengenai penerapannya, kan sudah ada keterangan dari Pak Jokowi bahwa Full day school ’tidak wajib’ jadi, boleh diterapkan bagi yang mampu, boleh juga tidak diterapkan.

Soal FDS, NU jangan mau jadi ’tumbal’.

Setelah munculnya keputusan Kemendiknas yang menginginkan sekolah formal di Indonesia menggunakan sistem pembelajaran secara full day, ini menjadi polemik baru untuk NU, Pendidikan dan Pemerintah. Sehingga untuk kalangan yang kontra terhadap NU dan Pemerintah, ini menjadi suatu ’bumbu lezat’ untuk dijadikan bahan peracun bernama ’Hoax, sara dan fitnah’. Belakangan ini, saya sendiri sudah banyak mendapati berita-berita miring tentang problematika ini (Full day school). Berita yang telah dibumbui dengan racun hoax, fitnah dan sara dan mengarah tepat pada NU dan pemerintah. Ini tentu akan meracuni pemikiran kalangan Nahdliyyin supaya lebih jauh dari pemerintah dan pada akhirnya pemerintahan berhasil dilengserkan dan diambil alih oknum yang tidak bertanggung jawab.

NU tidak perlu terfokus kepada polemik Full day school (FDS).

Kegagalan Mendiknas melakukan ’story telling’ kepada masyarakat terutama kepada kalangan Nahdliyyin, membuat banyak oknum ’gagal faham’ full day school yang dimaksud Bapak Muhadjir Effendy. Mengenai bagaimana sistemnya, bagaimana penerapannya, apa keuntungan dan kerugian pendidik, yang dididik, hingga keluarga dari mereka, dan lain sebagainya. Belum selesai Bapak Muhadjir ’menerangkan’ mengenai programnya dengan baik, sudah banyak yang menolaknya karena ’gagal faham’ atau kembali ke statment Denny siregar "Kemendiknas gagal ’story telling".

Jangan jadikan perbedaan pendapat mengenai Full day school menjadi suatu polemik yang terus berlarut, karena ini dapat merugikan kalangan Nahdliyyin itu sendiri. Dan ini akan sangat memungkinkan bagi para pembesar ’hoax’ para ’haters’ NU akan sangat terbantu untuk menyebar berita-berita negatif mengenai hal ini. Jadi, alangkah lebih baiknya sudahi polemik perbedaan pendapat tentang full day school atau NU dan Pemerintah akan menjadi target empuk kepungan ’bani hoax dan fitnah’. Lagipula, pemerintah sudah tegas menyatakan sikap bahwa Full day school tidak wajib bagi sekolah-sekolah di Indonesia yang dirasa tidak mampu menerapkannya. Jadi, mengapa harus terlalu ’spaneng’ menanggapinya. Madin masih terselamatkan. Walaupun, ada beberapa yang sudah gulung tikar. Bisa diperbaiki lagi, kan?.

NU jangan mau jadi ’tumbal’ sasaran ’bani hoax’ terkait tanggapan perbedaan pendapat tentang full day school. Sebab, ini akan banyak merugikan Nahdliyyin yang saat ini tengah menjadi sasaran empuk golongan ’umat Islam’ radikal dan intoleran. Jadi alangkah baiknya, sudahi polemik ini sebelum berlarut dan akhirnya NU sendiri yang menjadi kacau. Silahkan dipertimbangkan kembali statment saya.

Borobudur, 14 Agustus 2017.

-Penulis merupakan kader IPPNU Magelang

Source: Vinanda Febriani
Bagikan :

Tambahkan Komentar