Judul: Senandung Keluarga Sastra (Serpihan Cinta dan Enigma Rasa)
Prakata: Niam At-majha
Penulis: Hamidulloh Ibda
Penyunting: Hidayatun Ulfa
ISBN: 978-602-50465-9-9
Cetakan: I, 2018
Tebal: 21 x 14 cm,  xiv  + 32  Halaman
Penerbit: CV. Pilar Nusantara
Harga: Rp 30.000 (sudah termasuk ongkir di wilayah Jawa)
CP: 08562674799 / 085740145329


Manusia tercipta memiliki potensi besar. Bisa dari aspek logika, etika, dan estetikanya. Manusia sebagai animal symbolicum sangat bergantung pada bahasa, kata, dan rasa. Begitu pula dengan cinta, dan enigma rasa. Manusia, tidak mungkin bisa hidup tanpa kata. Begitu pula yang dialami Nabi Adam yang berumur 930 tahun. Atau, Nabi Idris yang berumur  865 tahun, Nabi Nuh yang berumur 950, dan ada yang berpendapat lebih dari 3500 tahun. Namun, karena kita adalah umat Nabi Muhammad yang umurnya hanya 63 tahun, akan sia-sia jika kita tidak bisa merawat kata dan mengasah logika dengan umur yang singkat itu. Secara sederhana, hidup terlalu singkat jika tak bersastra.

Hidup di dunia yang singkat ini, tentu akan terlalu singkat lagi jika kita hanya menjadi manusia yang tak memaksimalkan potensi bahasa. Saya sendiri sebagai orang yang bergelut di dunia kata, merasa getun (menyesal) ketika mengenal dunia kata dan luasnya bahasa sejak 2008. Padahal, lewat kata, saya mendapatkan semuanya. Ya, forma, materia, juga cinta.

Saya menikah pada 1 Juni 2014 lalu, semua berkat kata-kata, bahasa, dan rasa. Lewat buku yang kutulis, ada perempuan bernas dan cerdas mau melirikku yang akhirnya menjadi ibu dari anakku sekarang. Lewat buku Stop Pacaran, Ayo Nikah!, ia kulamar dan kunikahi. Buku itu sekaligus menjadi mahar pernikahan yang paling mahal bagiku, mungkin juga baginya.

Berkat buku itu, saya pun kaget ketika membaca sebuah berita di salah satu media siber, dan juga beberapa blog, serta website tentang pustaka buku. Berita itu muncul kurun 2015-2016 lalu. Saya kaget lantaran ditempatkan tokoh inspirasi yang menjadikan buku sebagai mahar pernikahan. Sesuai berita itu, orang pertama yang menjadikan buku sebagai mahar adalah Moh. Hatta Wakil Presiden Indonesia pertama yang memberikan mahar buku ‘Alam Pikiran Yunani” kepada istrinya Rahmi Rachim.

Tokoh kedua adalah Prof. Dr. H. Sirajudin Syamsudin atau yang lebih akrab disapa Din Syamsuddin. Mantan Ketum Muhammadiyah ini menikah untuk kedua kalinya sepeninggal sang istri selama delapan bulan. Beliau menikahi Novalinda Jonafrianty. Dalam pernikahannya Din Syamsuddin menghadiahkan mahar berupa mushab Alquran dan satu set buku Islam.

Tokoh ketiga adalah Apung Widadi yang saat menikah ia masih menjadi peneliti korupsi politik ICW. Ia menikah pada 1 September 2012. Apung menikahi wanita yang bernama Arnedia. Arnedia diberi mahar berupa buku berjudul “Korupsi Politik, Gurita Politik Transaksional” yang kebetulan, saat menjelang Pilgub Jateng 2013 silam, saya ikut hadir dalam bedah buku itu bersama Bang Budi Setiyono, Ph.D.

Tokoh terakhir, di blog dan berita media siber itu, adalah Hamidulloh Ibda. Saya sendiri. Di berita itu, saya ditulis terinspirasi dari Mohammad Hatta dan Apung Widadi, yang menjadikan buku Stop Pacaran, Ayo Nikah yang terbit pada 1 Januari 2014 untuk istri yang dinikahi pada tanggal 1 Juni 2014. Selain dari buku tersebut, saya di ulasan itu juga ditulis memberikan uang sebesar Rp 161.400 dan sepeda motor beat merah. Entah lah.

Perlu saya klarifikasi, saya tidak terinspirasi dari Mohammad Hatta atau Apung Widadi. Bahkan, saya baru tahu kalau tokoh-tokoh di atas yang memberikan mahar berupa buku. Justru, saya menulis buku itu karena niat pribadi dan permintaan istriku.

Atas berita dan ulasan di blog itu, banyak sekali orang yang menjadikan kami inspirasi. Katanya sih begitu. Sampai sekarang pun, tren buku menjadi mahar mulai ramai dan menjadi bukti cinta pada sang kekasih. Oleh karena itu, Anda yang membaca buku ini bisa menirunya kalau memang mau.
Maka dari itu, atas nama buku, kutulis kembali karya kecil ini untuk sang istri dan anakku. Ini adalah kumpulan puisiku pertama kali terbit, meski sejak dulu suka menulis puisi. Saya sejak dulu, bersama istri memang ingin menjadi sastrawan, bukan sekadar ilmuwan sastra.

Saking demennya dengan sastra, anak kami yang pertama yang lahir pada 28 Februari 2015 pun, kami namakan Sastra Nadira Iswara. Perhelatan yang cukup panjang untuk menemukan nama itu. Sebab, akhir kata adalah “ra”, dan jika dibuat akronim adalah SNI. Hal itu tanpa saya sadari, dan saya baru tahu saat diberi tahu salah satu teman.

Namun, ya sudahlah. Semua kehidupanku akan berjalan rimik dan melodik sesuai nada, serta menyesuaikan fana dan baqa. Lewat buku ini, penulis ingin membongkar dan merawat rahasia. Lewat rahasia, kebesaran Tuhan akan semakin besar meskipun tanpa dibesar-besarkan.

Saya tegaskan lagi, manusia bukanlah Nabi Muhammad Saw yang maksum dan derajatnya sudah keluar dari “kuasa kata”. Oleh karena itulah, Tuhan menjadikannya “ummi” yang terbebas dari kata lewat tidak bisa baca-tulis. Namun, ilmu yang dihempaskan Tuhan pada Muhammad langsung ke hati Sang Baginda Nabi. Masalahnya, kita bukan nabi karena sampai matipun, kita tidak mungkin mendapatkan sertifikat “nubuwwah”. Maka dari itu, kita tidak bisa terlepas dari kata untuk kepentingan identifikasi, informasi, dan menyerap ilmu pengetahuan lewat inderawi kita. Sekali lagi, kita bukan nabi!

Akhirnya, buku ini spesial saya tulis untuk istriku dan anakku, sekaligus menjadi kado ulang tahunnya yang jatuh pada 1 Januari 2018 ini. Sekali lagi, merawat sastra adalah merawat dunia. Sebab, dalam sastra menyimpan serpihan kehidupan dan sel-sel angin yang harus dikendalikan arahnya.(adm).
Bagikan :

Tambahkan Komentar