Oleh : Muhammad Lutfi

Di halaman masjid agung yang indah, lantunan tasbih masih menggema di suarakan dzikir para jamaah yang sedang merenung atau berdiam diri di halaman masjid ini. 

Di Sumenep, di Masjid Agung Sumenep yang penuh simbol perjuangan dan kemerdekaan ini, hatiku bersemi dan berbunga-bunga. Bagaikan bunga yang sedang berada di musim semi, inilah perasaanku saat ini. 

Kusandarkan tubuhku pada tiang masjid dan duduk menyemai pemandangan yang indah nan permai. Hatiku tak bisa bohong, perasaan ini tak bisa memungkiri suatu kalimat yang ingin kusampaikan kepada seseorang nanti atau bahkan diriku sendiri sedang mengucap syukur dan merasakan syukur dari sang Maha Pencipta dapat kurasakan kembali.

Kedua pandanganku tak jemu melihat anak-anak yang mengaji dan para wanita solehah yang berhijab putih. Jilbab itu mengingatkanku pada kota ini. Di kota Sumenep ini, aku pernah terpana pada santriwati yang dulu sangat manis senyumnya. Wajahnya permai bagaikan permata.  Dia nampak anggun ketika berwudhlu. Kealiman dan ketaatannya mengingatkanku pada ibuku. Wanita yang senantiasa sabar dan penuh kasih sayang terhadap kami sekeluarga.

Tiba-tiba, aku melihat sosok wanita dalam benakku melintas depan ku. Dia nampak tergesa-gesa dan berwudhlu. Saat wanita ini berwudhlu, aku mengikutinya. Kuperhatikan dari tempat masuk wudhlu. Sungguh berkah, tanpa hijab dia adalah wanita yang mengepakkan sayapnya pertama kepadaku. Dan dengan berhijab dia adalah bidadari utusan tuhan yang ingin kusambut.
“Fatimah, ayo kita segera mengaji! Teman-teman sudah menunggu.”
“Iya, ayo.”

Teman-temanya memanggil bidadari tersebut. Baru kutahu nama seorang wanita cantik tersebut adalah Fatimah.

Kuikuti kembali kemana arah dia pergi. Dia sedang mengaji tadarus bersama para santriwati yang lain dan dibimbing seorang kiyai. Di belakang pintu Masjid aku mendengarkan suaranya membaca Al-Quran. Sungguh merdu ibarat angin semilir di siang hari. Suaranya melantunkan ayat suci penuh khidmat dan dengan tartil tajwid yang sangat jelas. Bahkan aku sampai-sampai tertidur di balik pintu dan dibangunkan oleh kakakku, “Ahmad, bangun mad. Mengapa tidur di belakang pintu masjid? Kutunggu di depan gapura masjid malah tidur di sini.”

Kakakku membangunkanku dan membawaku ke pondok pesantren Nurul Yaqin. Ya, sebenarnya aku ke Sumenep untuk menengok kakakku yang sedang belajar agama di pesantren Nurul Yaqin, Babbalan, Sumenep. 

Aku sudah lama menahan rinduku ingin melihat dia yang sedang menekuni tasawuf di sini dan menemui guruku terhormat sebagai Kiyai pengasuh Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Tangannya membawaku ke alun-alun Sumenep dan berhenti pada sebuah gerobak nasi goreng. 

Orang ini mengajakku makan, barangkali sudah tahu kalau perut ini sudah lapar semenjak aku menungunnya di halaman masjid sampai tertidur.

Wah, rasa nasi goreng spesial Sumenep ini sungguh luar biasa. Perut yang lapar dibuatnya menjadi kenyang dan tenaga dipulihkan kembali. Sungguh luar biasa.

“Mengapa kamu tadi tertidur di dekat pintu masjid?”

“Ada seorang wanita solehah bang, dia anggun dan manis. Senyumnya sungguh jelita dan menawanku.”

“Memang siapa namanya?”

“Namanya Fatimah, tapi aku tidak tahu dia tinggal di mana.”

Dalam pembicaraan kami, kutunjukkan jari telunjukku memberi petunjuk pada kakakku, “Ini dia, ini lah wanita yang kusebutkan tadi bang.”

Wanita itu sedang membeli es dawet bersama teman-temannya. Pandanganku hanya bisa melihat kibasan hijab yang selalu menambah kecantikannya tersebut. Hingga aku tersadar dari perbuatan apa yang telah dilakukan mata ini. Sebuah larangan agama seharusnya dijalankan dengan taat sebagai seorang santri. Bukan malah nyeleweng seenaknya, “Astagfirullah.”

Ya, dia sekarang sudah pergi jauh. Fatimah hilang entah kemana. Sepertinya harapanku sia-sia menjadi abu. Ah, perasaan ini seperti mendorong diri untuk mengikutinya. Tiba-tiba saja tepukan tangan kakak menepuk pundakku, “Ayo!”

Aku jadi malu tersipu-sipu, bengong tanpa alamat. Menyuarakan mega-mega kebodohan diriku yang suka berkhayal, “Haha.”

Akhirnya perjalanan kaki ini sebagai musafir yang juga rindu pada guru dan saudara terus berlanjut menuju Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Kami berjalan kaki, melewati seluruh pedagang, pemuda yang sedang hingar-bingar, melihat mega, matahari, dan berada dalam lingkup waktu kami. Kaki ini terus berjalan hingga sampai pada tempat tujuan mulia kami, Nurul Yaqin. Karena rindu yang menggebu pada Abah Kiyai aku segera menemuinya dan mengecup berkah pada tangannya yang mana pancaran kealimannya selalu teringat dalam ajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya. Subhanallah, sungguh luar biasa hari ini. Tidak sia-sia perjalanan ini, sungguh menakjubkan bisa sampai pada rinduku.

Kami melanjutkan mengaji, dan talqin Al-Quran. Bersalawatan penuh khidmat dan selalu mengharap kedatangan Rasul pada salawat kami di Sumenep ini. Barakallah, barakallah, barakallah.
Saat selesai dengan lelah dengan kegiatan yang mengisi kekosongan ruhaniku, Fatimah lewat depan halaman masjid Nurul Yaqin dan sedang membawa bungkus-bungkus nasi yang akan didagangkannya.

“Fatimah, Assalamualaikum.”

“Waalaikumusalam kak. Ada keperluan dengan Fatimahkah?”

“Bolehkah, aku membeli dua bungkus nasi daganganmu ini?”

“Alhamdulillah, iya.”

Sambil menikmati nasi bungkusan yang didagangkannya, aku selalu menabur pertanyaan-pertanyaan yang agar sengaja dijawab oleh bidadari ini. Dia nampak malu dan tersipu-sipu, seakan-akan menunjukkan kehormatan sebagai wanita yang menjaga batasannya. Aku pun mengerti dan menyudahi perbincangan kami, dan membiarkannya meneruskan perjalanan sore ini.

Ternyata, baru kutahu bahwa Fatimah adalah seorang santriwati di sini. Rasanya jodohku datang menurut firasatku. Atau mungkin hanya perkiraaan saja.

Siang malam aku terus memikirkannya dan tak bisa tidur. Bahkan air wudhlu hanya bisa mengantarkan ketentraman hati. Tapi ingatan tentang Fatimah si gadis Bidadari terus terngiang di hati. Bagaimana tidak, aku seorang remaja yang sudah aqil baligh dan tentunya sudah seharusnya mencari pendamping hidup. Sedangkan, kakakkku sudah menikah dua tahun yang lalu dan mempunyai seorang anak lelaki yang diberi nama Mustofa. Mustofa adalah keponakan tersayang, dia mirip dengan abangku, Solikhin. Pendiam dan penurut, sungguh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada kami, Subhanallah.

Di siang hari, saat aku beri’tikaf di masjid dan merenung, aku bermimpi dan teringat pesan ayahku untuk mencari istri yang solihah seperti ibu, dan seorang santriwati. Mimpi ini semakin membuat jiwaku terdesak di tengah kebimbangan, “Apa yang harus kulakukan Ya Allah?, tunjukkanlah hamba jalanmu.”

Sambil terus merenung dan menyelesaikan dzikir di siang hari ini, aku memutuskan untuk menemui Abah Kiyai dan meminta restunya untuk menjodohkanku dengan Fatimah. Langkah kaki ini tak bisa tegap seperti biasanya, dan aku terus mencoba keberanian dan memaksakan keberanian dalam jiwa paling dalam ini. “Aku harus berani, berani dan dengan niat, Bismillah.”

Niatanku dalam hati sudah bulat dan tekadku kuat, langkah ini tak bisa diundurkan atau bahkan dihalau oleh siapapun untuk melangkah menuju restu guruku.
“Assalamualaikum abah guru.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Abah guru menyambut kedatanganku dengan ramah dan senyum bahagia. Sepertinya, guruku ini sudah tahu maksud kedatangan murid kesayangannya ini. Aku mulai menceritakan maksud kedatanganku dan bertanya tentang Fatimah.

“Fatimah itu keponakanku, dia anak seorang kiyai. Kalau kamu memang berniat untuk melamar Fatimah, maka aku merestuimu. Dan kalau bisa secepatnya saja pernikahan ini dilaksanakan dan dilangsungkan acara resepsi dan doa bersama di pondok pesantren di Sumenep ini.”
“Alhamdulillah abah, alhamdulillah.”

Doaku siang malam bermunajat kepada Allah terkabul hari ini. Perasaan kasmaran seorang pemuda ini sudah mencapai syukur dan menuai kebahagiaan. Diriku yang hanya anak dari seorang guru sekolah SMP bisa mendapat istri dari anak seorang kiyai. Hatiku paling dalam selalu bersyukur dan memanjatkan syukur kepada Allah SWT. Ternyata Allah menjawab doaku dan memberi petunjuknya di Sumenep ini. Alhamdulillah.

Surakarta, 14 November 2017

Penulis bernama Muhammad Lutfi. Lahir di Pati pada tanggal 15 Oktober 1997. Menulis puisi dan sajak yang terangkum dalam berbagai antologi bersama para penyair lainnya. Mempunyai dua buah buku puisi. Sekarang berstatus sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Bagikan :

Tambahkan Komentar