Oleh Hamidulloh Ibda
Kaprodi PGMI STAINU Temanggung

Sampai sekarang, aku tak paham asal kata mahasiswa. Apa sekadar "maha" dan "siswa". Ngono karepmu? Ah, itu kan cuma otak-atik-gathuk para ahli bahasa. Tanpa ahli bahasa pun, mahasiswa bisa ditadabburi dari kata siswa yang besar. Siswa yang maha gitu? Ah... apa sajalah tadabburmu. Bukan kapasitasku untuk menjadi penafsir.

Setahu saya, di negara kafir liberal begundal kayak Amerika saja, mahasiswa ya "student" bukan "student hight" atau "student advance". Mentoknya "student in university". Tapi ya tetap student. Catat ya, student.

Saya nggak tahu, yang menamakan mahasiswa pertama kali kayaknya kok nggak "pakewuh" sama Gusti Allah. Wong cuma Allah yang pantas memanggul kaliber "maha".

Resmi punya KTM atau Kartu Tanda Mahasiswa sekitar tahun 2008 lalu. Sepuluh tahun silam lah, selepas saya lulus MA. Madarijul Huda Pati angkatan 2007/2008. Saat itu, saya nekad saja menjadi "mahasiswa" karena bapak saya ngotot ingin mengirim saya mondok lagi di Sarang, Rembang, setelah saya boyong paksa dari Ponpes Mambaul Huda yang diasuh Alm. KH. Zabidi Hasbullah yang kala itu masih menjadi Rais Syuriah MWC NU Dukuhseti sekaligus Mursyid Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah.

Singkat cerita, saya punya KTM. Dengan modal nekad, saya bisa kuliah. Sontak, kehidupan ndeso saya masih terbawa. Saya tidak bisa ngekos karena dana mepet dan akhirnya diajak Mas Saya, Minan (bukan kakak biologis), menjadi takmis sekaligus merbot di Masjid Attaqwa Perum Karonsih Ngaliyan, Semarang.

Saya pun agak "ngerdaten", karena harus jalan kaki sekitar 4 km ke kampus II Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo kala itu. Dengan dalil-dalil dan modal hafal Alquran 7 juz dan alfiyah ratusan bait, saat diskusi di kampus pun saya terlalu konservatif. Kiranya, santri ndeso yang gagap dengan bahasa kampus lah. Masih rasa siswa. Saya semester satu, mendefinisikan diri ya kelas IV SMA.

Maksud saya, kampus memang tak mengantarkan mahasiswanya cerdas. Kecuali dosennya muda, cerdas dan bernas. Tapi kalau biasa-biasa saja ya tadi, kita hanya anak SMA kelas IV.

Justru, saya banyak mendapatkan ilmu-ilmu dan daya kritis liar dari diskusi-diskusi pinggiran di pojok-pojok. Saya aktif dan plural terhadap semua aktivis. Dari mereka yang PMII, KAMMI, HMI, IMM kecuali GMNI karena nggak ada orangnya kala itu.

Dari diskusi-diskusi itu, lumayan untuk mengantarkan ide-ide sableng yang bisa menjadi bahan tulisan di koran sejak 2009 silam. Saya sering nulis di berbagai koran karena jasa-jasa senior. Saking lintas tema tulisan saya itu, teman-teman tidak percaya kalau jurusanku saat kuliah adalah PGMI. Hah? Dikiranya, jurusanku ya PAI yang paling populer kala itu sekaliber Tadris Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Tadris Kimia.

Singkat cerita, hobi tetap jalan, saya terpaksa lanjut kuliah S2 Prodi Pendidikan Dasar (Dikdas) konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia di Pascasarjana UNNES. Jadi dosen? Babar blas saya nggak punya impian jadi dosen. Wong alasan S2 saya kala itu ya agar tidak disuruh pulang Bapakku karena sudah disuruh ngajar MI dan ngrumati musala, yayasan dan ngurus desa. Eh ada satu lagi, aku dijodohkan dengan tetanggaku sendiri. Ini alasan paling ilmiah kenapa aku nekad S2. Hehe

Usai lulus, aku pun sempat mengajar di STAI Alhikmah Tuban meskin hanya satu semester. Di sela-sela itu, saya sudah diterima (ada yang tinggal tahap wawancara) di sejumlah kampus (tidak saya sebutkan, pokoknya sekitar 10-12 kampus).

Pada 2017, saya menginjakkan kaki di STAINU Temanggung. Padahal, babar blas saya nggak tahu kampus ini. Tapi nggak tahu kenapa, di sini saya cocok.

Tidak banyak harapan dari awal mengajar sejak 2017 kemarin. Saya ingin menjadi siswa lagi. Ya, siswa yang rasa mahasiswa daripada mahasiswa rasa siswa. Setidaknya, impian lanjut S3 Prodi Pendidikan Dasar akan saya lalu entah kapan. Semoga secepatnya. Tapi intinya, aku ingin menjadi siswa S3.

Sama kayak santri. Tidak ada mahasantri. Masak kata maha bisa dipakai semua variabel? Lalu apa bedanya Tuhan dan manusia?

Siswa kok mahasiswa!
Bagikan :

Tambahkan Komentar