Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia

Blusukan itu pilihan. Tapi jelas bukan kecerdasan. Apalagi dentuman. Keadilan itu keniscayaan. Tapi jelas bukan pemberian. Apalagi janji pulsa dan palsu. Melihat postulat itu, tuan Doktor Saafroedin Bahar mengetik tesis, "sangat jelas terlihat bahwa keamburadulan Indonesia dewasa ini disebabkan oleh tiga hal: 1)Kekonyolan pemimpinannya; 2)Intervensi dari luar negeri, dan 3)Bungkamnya orang-orang baik dan idealis."

Maka, sejak tiga tahun ini warga negara gentayangan: hidup segan, mati blusukan. Tak ada duit. Tak ada kepastian. Semua berhutang dan mencari hutangan: dari tukang becak (ke rentenir) sampai presiden (ke lembaga keuangan internasional; cinong).

Entah sejak kapan, indonesia menjadi mesin raksasa yang luar biyasa memeras harta rakyatnya sampai miskin semiskin-miskinnya sambil melipat gandakan harta konglomerat sampai tak masuk akal hingga membentuk oligarki kapital yang tiada duanya dalam sejarah kita sebagai negara modern. Korupsinya tidak menurun. Problemnya tak bisa diselesaikan oleh seluruh sarjana, apalagi dukun dan tentara.

Sesungguhnya, ia dihadirkan dengan pancasila untuk menghancurkan penjajahan di atas dunia; memastikan ketertiban umum; membagikan kesejahteraan dan mengkurikulumkan tegaknya keadilan. Tetapi kini, misi suci itu terbalik.

Sayang, fungsinya sebagai negara makin hari makin tumpul jika berurusan dengan konglomerasi dan makin tajam jika bergulat dengan kaum melarat. Hadirnya tak menggenapi kebaikan dan perginya tak mengurangi keburukan.

Sejak lalu, makin banyak anak-anak muda berprestasi yang tak mengerti Indonesia mau ke mana. Sejak kemarin, bahkan memastikan memberi beasiswa buat warga negaranya yang serius belajar dan bekerja saja tak bisa.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar