Ilustrasi foto pantai. (dok- tabayuna.com)
Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Tanpa ingatan, tak ada masa lalu. Tanpa gagasan, tak ada masa kini. Tanpa harapan, tak ada masa depan. Manusia Indonesia dan negara-negara postkolonial kini menghadapi punahnya ingatan dan hancurnya harapan. Padahal, tanpa hadirnya ingatan dan harapan, negara bagaikan tubuh tanpa nalar. Goyah dan tak tentu arah.

Di sini, subtansi kemerdekaan akan menemukan relevansinya jika kita menghadirkan "politik ingatan" dan "politik harapan." Sebab tanpa keduanya, kemerdekaan menjadi irrelevan: pekik paria dan nestapa; takbir tanpa kebesaran; yesus tanpa roma.

Politik ingatan yang hadir akan memberikan waktu kebersamaan dan kesatuan tujuan serta kebermaknaan. Karena itu, kita jadi ingat bahwa Indonesia adalah negara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara Benua Asia dan Benua Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Ini menjadikan kita sebagai bangsa bahari dan negara maritime terkaya SDAnya di dunia.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau. Oleh karena itu, Indonesia disebut juga sebagai Nusantara pada masa lalu, dan disebut Atlantik di masa purba.

Dengan kesadaran nusantara itu, model pembangunannya dari pinggiran, menyeluruh, merata, lautan-daratan-udara, keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, bhineka, multikultural, serbuksari, serta hibrida. Inilah nalar sadar waktu karena kita mewarisi Singasari, Padjajaran, Sriwijaya dan Majapahit sebagai bangsa bahari-negara maritim.

Tetapi, itu semua tak akan digdaya di zaman global kecuali tumbuhnya prakarsa modernitas. Sebuah prakarsa hidup yang bersendikan iptek dan imtak hingga menjadi wordview. Satu peradaban rasionalistis yang humanis dan humanis yang rasionalistis.

Singkatnya, politik ingatan dan politik harapan itu membawa konsekwensi bagi terbentuknya negara kelautan modern, poros maritim dunia, jalur rempah nusantara, sehingga dunia bagian dari Indonesia: bukan sebaliknya.

Politik ingatan dan politik harapan itu merasionalkan kita untuk mendesain pada upaya raksasa menghadirkan ideologi dunia yang akumulatif. Pancasila; keadaban publik; civilitas agnostik, subtantif-progresif; nasionalisme berkeadaban. Ide yang memelihara kecerdasan masa lalu sambil mengerjakan dentuman peradaban agung di masa kini dan mendatang.

Apa sejarah peradaban kita? Adalah takdir bahari, takdir maritim. Apa buktinya? Pertama, kita ahli waris bangsa laut. Sehingga, kerajaan-kerajaan lautlah yang telah mengilhami kita. Kedua, kita memiliki yurisdiksi atas wilayah laut seluas 3,2 juta km2, jauh lebih luas dari daratan yang luasnya hanya 1,9 juta km2. Sehingga lautlah yang telah menyatukan kita.

Inilah mengapa Bung Karno mengatakan bahwa Indonesia ibarat lautan yang ditaburi pulau-pulau. Keberadaan 17.508 pulau menjadikan kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Garis pantai sepanjang 95.181 km menempatkan Indonesia sebagai negara keempat yang memiliki garis pantai terpanjang setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia.

Dengan wilayah panjang mencapai 5.200 KM dan lebar mencapai 1.870 KM, di mana selat malaka menjadi penghubung ke jalur dunia, potensinya menjadi luar biasa. Selat ini menjadi jalur utama pelayaran kontainer global sehingga berakses langsung ke enam wilayah dunia lainnya.

Dus, kita bukan hanya poros maritim dunia (PMD) karena berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, tetapi juga poros benua dunia (PBD) karena berada di antara Benua Asia dan Benua Australia.

Sebagai bangsa bahari kita memiliki kekayaan ikan yang potensial ditangkap sebesar 6,4 juta per tahun. Terumbu karang tempat ikan 60 ribu hingga 85,7 ribu km2. Ada tambang pada 70% kawasan pesisir dan laut serta 40% cekungan lepas pantai.

Saat bersamaan, perbedaan pasang-surut, matahari, angin, gelombang, gas hidrat metan, ocean termal dan arus laut juga potensial dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan.

Kita juga punya pariwisata bahari, farmasetika laut, dan garam hingga peranannya sebagai landasan atau platform berdasarkan hasil Konnas 1996. Total nilai ekonomi kelautan US$ 388,7 milyar per tahun berdasarkan data 1997, yang kemudian diperkirakan berkembang hingga mencapai US$ 1,2 atau 1,32 trilyun per tahun.

Dengan potensi sebesar itu para pengusaha kita harus mengantisipasi dan merebut peluang pasarnya. Selanjutnya kita harus mulai melirik ke Asia Tengah sebagai alternatif pasar di Asia. Tentu, ini memerlukan presiden yang dahsyat, elite yang cakap dan pemerintahan yang kuat. Tanpa itu, negara ini hanya jadi tempat berak dua gajah (China versus Amerika) yang berkelahi memperebutkan dunia yang penuh birahi.

Memang, akibat kolonialisme dunia, kita lebih mengenal jalur sutra dan jalur orientalisme. Padahal, kita punya jalur rempah yang memberi pengaruh pada kehidupan Indonesia dan dunia di masa lalu dan masa kini.

Karenanya, jalur rempah berbasis hasil bumi dan laut harus direkapitalisasi. Ini tugas mulia; merealisasikan proklamasi, menjalankan konstitusi, menggemukan APBN, menghancurkan kemiskinan dan ketimpangan, memartabatkan negara di mata dunia. Inilah negara kelautan modern yang harusnya kita tuju bersama.

Itu artinya, aneh jika membangun pulau buatan di negeri kepulauan. Pasti ini program kaum buta sejarah. Aneh jika membangun tanah air via pertumbuhan dan utang. Pasti ini program alpa dan rabun konstitusi. Aneh jika membangun warganegara dengan menggusur mereka. Pasti ini program kompeni, para pengkhianat dan begundal peradaban. Aneh jika menghormati para koruptor dan pengemplang pajak. Pasti ini program pelacur dan pengibul kemanusiaan.

Agar ingatan dan harapan kita benar dan rasional, kita harus merealisasikan bangsa bahari-negara maritim. Bangsa bahari adalah bangsa yang ditakdirkan memiliki laut dan bersahabat dengannya. Sedang negara maritim adalah negara yang memanfaatkan laut bagi kepentingan nasionalnya.

Jika ontologi sebagai bangsa bahari dan negara maritim sudah disadari maka epistemnya menjadikan laut sebagai ruang hidup dan lokus juang. Aksiologinya nanti berupa ekonomi maritim, kawasan maritim, kawasan minapolitan, kawasan aquapolitan, gugus maritim, pariwisata bahari, riset bahari, pendidikan dan pelatihan maritim, pertahanan dan kemandirian bahari.

Inilah takdir dan anugerah Indonesia. Inilah kreasi kita yang harus hadir. Inilah kejayaan yang akan kita songsong bersama.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar