Ilustras foto Tabayuna.com
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Nusantara tiada. Sirna. Ambruk bersama kisahnya: keagungan dan datangnya penjajahan. Ratusan tahun via VOC, Portugis, Belanda, Jepang dan Amerika. Maka, sejarah indonesia purba adalah sejarah kerakusan dan penjajahan. Ilmu indonesia adalah ilmu penyesatan dan pengaburan. Ekonomi indonesia adalah ekonomi ilusi dan sok ilmiah.

Warga indonesia adalah warga kesusahan dan kepahitan. Elite indonesia adalah elite kebajinganan dan kekufuran. Agama indonesia adalah agama kepasrahan dan eskatologisme. Ya. Ini jenis indonesia purba yang diulang-ulang hari ini.

Padahal, masalah dan problema negara Indonesia hanya dapat dipecahkan dengan cara Indonesia, dengan jalan Indonesia dan dengan gaya Indonesia. Jalan, cara dan gaya Indonesia adalah Pancasila. Satu yang lima dan lima yang satu.

Hibridasi itu bernama mental konstitusional: berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, bermusyawarah atau bergotong royong dan berkeadilan.

Problemnya kini adalah yang menjalankan Pancasila tidak ada. Bahkan yang ada adalah yang mengkhianatinya. Kini, surplus bajingan di Indonesia Raya, itulah kenyataannya.

Bagaimana dengan Indonesia yang dicita-cita? Dimulai perang Jawa dan Sumatra, disubsidi lewat Sumpah Pemuda dan dikokohkan via Proklamasi 1945, cita-cita Indonesia jelas: melenyapkan penjajah dan membangun jiwa (mental, karakter, kepribadian) baru membangun badan (infrastruktur, struktur, fisik).

Rentetan mula Indonesia adalah menetapkan menara Pancasila, Bung Karno dkk yang membuat pondasinya. Pramoedyalah yang membangun temboknya. Kitalah yang akan memastikan terpasang atapnya agar tugas presiden berikutnya tinggal membawa kejayaan-kemakmuran-keadilan di dunia.

Kini, agar cita-cita dan janji proklamasi itu bisa diwujudkan, mari kita fokus pecahkan warisan penjajahan itu. Yaitu kumpulan kurikulum kolonial dalam bentuk 9K: 1)Keterjajahan baru; 2)Kemiskinan; 3)Kepengangguran; 4)Ketimpangan; 5)Ketergantungan; 6)Kebodohan; 7)Kesehatan dan kesakitan; 8)Konflik; 9)Kepunahan.

Jika kita merealitaskan solusi sembilan problema itu, jadilah mercusuar Indonesia Raya. Satu peradaban yang layak dijadikan kekasih, rumah, sorga sekaligus sekuntum mawar yang semerbak indah.

Kita harus bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam nusantara itu agar ia menjadi tumpah-darah; air udara dan zamrud pengabdian. Kita harus mengabaikan duri-duri yang muncul dan mengganggu.

Duri-durinya adalah para pengkhianat konstitusi dan warganegara. Dengan membunuh duri-duri itu, kita akan terpacu untuk membuat mawar merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Sangat indah dan sedap dinikmati mata hati.

Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri kita tentang mawar-mawar itu dan mengabaikan sampai menghilangkan duri-duri yang muncul di sekitarnya.

Akhirnya, di dalam negara Indonesia yang raya terdapat agama publik yang multikultural. Dan, dalam agama publik yang multikultural terdapat ilmu pengetahuan yang mencerahkan. Serta, dalam ilmu pengetahuan yang mencerahkan terdapat mental merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Inilah mental konstitusional yang anti kolonial. Ia menghancurkan warisannya: oligarkis, kleptokratis, kartelis, fundamentalis, fasis dan predatoris.

Adakah kita sudah sampai ke sana? Indonesia perlu agensi dan kurikulum raya. Kita segera ke sana.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar