Oleh M Yudhie Haryono, Direktur Ekskutif Nusantara Centre

Sungguh, "kejahatan terbesar di dunia ini bukan seberapa banyak harta rampokan yang telah ia kumpulkan, tetapi mewariskan mental merampok dan KKN bagi generasi berikutnya." Karena itu, jika kalian mencopet, kalian cukup dihajar warga. Jika mencuri, cukup dibui. Jika merampok, kalian dihormati.

Bagaimana membuktikannya? Mari kita mulai dari pepatah, "knowledge is worth as much as gold" (pengetahuan lebih berharga daripada emas). Dengan pengetahuan yang luas, kita tahu bahwa Raffles dianggap pahlawan. Padahal ia perampok yang tiada duanya. Thomas Stamford Bingley Raffles (1781-1826) adalah Gubernur-Letnan Hindia Belanda yang terbesar. Ialah warganegara Inggris yang mendirikan kota dan negara Singapura. Ia dikenal sebagai pencipta kerajaan terbesar di dunia.

Mengutip riset James (ahli sejarah kolonial/1999), selama lima tahun menjajah Jawa, Raffles berhasil membawa harta rampokan sebesar kurang lebih Rp. 17.666 Trilyun. Di mana dua pertiganya dipakai untuk menghidupi kerajaan Inggris dan sepertiganya untuk membangun kota Singapura. Jadi, negara Inggris dan negara Singapura itu jelas-jelas dibangun dari harta rampokan yang perampoknya harum namanya.

Juga kalau kita baca hasil riset Huningan (2014), harta rampokan VOC selama menjahah Nusantara setara dengan USD 3,2 Trilyun atau Rp 31.718 Trilyun. Harta itu dipakai buat menghidupi negara Belanda dan membangun 15 kota di seluruh dunia plus perlengkapan perang terbaik yang dimiliki sebuah perusahaan di dunia. Tetapi, adakah para perampok (para Gubernur Jenderal) itu dibui dan dinista? Tidak ada. Mereka jadi pahlawan bangsat Belanda.

Bagaimana dengan perampokan oleh warganegaranya sendiri? Ini juga mencengangkan. Perampokan BLBI menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) hingga 2015 bisa mencapai Rp 2.000 Trilyun. Dan, ini meningkat terus bisa menjadi Rp 5.000 Trilyun pada 2033. Nilai itu belum termasuk nilai guna dan nilai tambah dari aset yang seharusnya dikembalikan obligor dari SKL (surat keterangan lunas). Artinya kalau dihitumg lebih cermat bisa sangat besar (24 April 2016). Tetapi, adakah para obligor itu dibui dan dipenjara? Ada satu dua. Selebihnya diundang ke istana, diampuni via tax amnesty dan minum wine bersama presiden sambil dansa-dansi.

Makin gurita rampoknya, makin istimewa perlakuan pada mereka. Pengetahuan merampok mereka kini lebih mahal dari harga emas bukan? Kekayaan para perampok itu lebih mulia dari para pedagang emas bukan? Praktis yang ikut serta membiayai Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo dan Jokowi serta partai-partai peserta pemilu adalah mereka yang merampok negara via BLBI, Century, Indover dll.

Jadi, dengan total kira-kira Rp. 44.385 Trilyun (hampir 25 kali jumlah APBN kita kini) jumlah perampokan itu, apa yang bisa dikerjakan pemerintah? Tak ada, kecuali jadi babu dan jongos mereka.

Seperti di mana-mana, kolonialisme dan perampokan itu telah menjadi sepatah kata yang tak dipahami. Sebaliknya, ia dijilati hasilnya. Sekalipun oleh kaum kiri yang dulu melawannya. Bukankah PDIP dan Mega-Jokowi itu representasi Marhaenis yang menjadi penikmat hasil perampokan itu? Bukankah Golkar dan para priyayi itu juga ikut menjadi penikmat dan kreator pinggirannya? So, kiri-kanan sami mawon.

Tragis. Abangan dan priyayi kini bersekutu menerima tradisi KKN serta bersengaja mewariskan ke seluruh penjuru negeri via kurikulum-kurikulum sialan di semua sekolah (formal, informal dan non formal). Mereka bahagia dan tertawa mengelola negara seperti pelacur yang dapat receh hasil jual tubuhnya. Tak ada martabat. Tak ada daulat.

Dalam logika dan mental perampok yang memerintah, kita rasakan berbagai progresifitas kepadatan, kesumpekan dan ketercekikan. Miskin, timpang dan sakit.

Kita juga kehilangan “mental spiritualis." Hingga tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis, sebagaimana kita kehilangan harga diri, konstitusi, ruang angkasa, atlantik, yang kini terlepas dari misteri keagungan. Dangkal dan hambar.

Lalu, bagaimana dengan para santri? Mestinya dan harusnya berbeda. Sebab, kalau tak salah, al-Qur’an memerintah ummat untuk syahid (saksi), mubasysyir, amar makruf nahi munkar dan siraj. Saksi berarti punya ilmu dan pengalaman yang peka pada realitas timpang. Tetapi saksi tidak akan cukup tanpa mubasysyir, yaitu sikap tidak meresahkan masyarakat. Sikap mubasysyir tidak cukup tanpa sikap amar makruf nahi munkar.

Sikap amar makruf nahi munkar perlu sikap siraj (uswah hasanah/teladan), yaitu manusia yang tidak hanya pandai mengkritik, tetapi memberi solusi atau jalan terang (QS. al-Ahzab [33]:45) dan teladan yang idealis.

Sudahkah kaum santri bermental demikian? Ayok kita bertobat dan menghitung hari.
Bagikan :

Tambahkan Komentar