Ali Syariati. (Foto: Berdikari Online).
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia

Tak jemu-jemu aku menuliskanmu. Seperti sore yang ingin menjumpai malam. Terpisah sebelum bertemu. Pertemuan yang direncanakan. Pembacaan yang dilakukan. Pembrontakan yang dikerjakan. Engkaulah tuan Ali Syariati. Tokoh kedelapan yang kami bahas di Nusantara Centre setelah Karen, Dawam, Hitti, Hauroni, Hanafi, Rahman dan Syahrur.

Jika kyai-kyai purba sibuk menjual doa dan menjadi politisi busuk, kyai-kyai dulu sibuk poligami dan korupsi, kyai-kyai modern sibuk berfatwa haram dan bermimpi, kyai-kyai debutan sibuk selfi dan masuk tivi maka kyai Ali Syariati justru berkata, “Saya memberontak maka Saya Ada."

Jejak kepeloporannya luar biasa. Dapat diteladani kita semua. Salah satu ungkapan lainnya yang sangat terkenal adalah, “Setiap hari adalah Assyura dan setiap tempat adalah Karbala.”

Kyai ini lahir di Kahak, Razavi Khorasan, 23 November 1933. Ia meninggal di Southampton, Inggris 19 Juni 1977 pada umur 43 tahun. Sepanjang hidupnya didedikasikan untuk pengetahuan dan kemerdekaan ummat. Zuhud dan jihad menjadi cirinya.

Sebelum mati, ia menjadi sosiolog revolusioner Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karya dan sikapnya dalam bidang sosiologi agama. Pengetahuan yang dalam, sifat yang terpuji, sikap yang istiqamah serta visi-misi besar pada bangsa-negaranya membuat doi jadi 'ideolog' Revolusi Iran.

Adakah kita temukan kyai seperti itu kini di republik kita? Kyai yang berkarya dan zuhud serta melawan neokolonialisme dan neoliberalisme. Kyai yang satunya kata dan perbuatan. Rasanya kita defisit kyai-kyai seperti Syariati.

Menurut Syariati, menjadi merdeka itu penting. Tetapi lebih penting lagi adalah memerdekakan islam. Dan, islam yang merdeka harus punya basis epistemologis, filosofis, historis dan sosiologisnya. Ini penting agar semuanya tumbuh dari dialektika pengamalan dan pemikiran terus-menerus demi kebebasan dan kedaulatannya.

Dari basis itu Syariati menulis, "berpikir benar adalah pengantar kepada pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar menjadi pengantar kepada iman. Dan, iman yang benar menghantarkan kita pada revolusi." Dus, jika kita tak melakukan revolusi, jangan harap iman dan pengetahuannya sudah benar.

Tentu saja bagi Syariati, iman yang dangkal mudah berubah menjadi fundamentalisme, fasisme, fanatisme dan takhyul. Semua itu akan menghambat jalan pembangunan sosial-projek nasional. Dus, iman harus kokoh. Sebab, tanpa iman yang kokoh, tak tumbuh ideologi yang dahsyat. Tanpa keduanya, tidak akan mungkin ada perubahan sosial yang berarti.

Singkatnya, reformulasi ideologi dan rekapitalisasi intelektual yang mendalam teramat diperlukan sekarang: setiap saat. Terutama, di dunia modern, dunia global dan dunia profan yang serba tunggang langgang.

Syariati adalah metoda; salah satu jalan. Agar merdeka, menemukan jati diri. Kita tahu, yang masih mencari adalah yang miskin dan dahaga. Yang memberi adalah yang kaya dan berlimpah. Sedang yang tak mencari dan yang kaya tidak harus memiliki apa-apa. Tinggal memberontak membentuk nilai-nilai.

Umur pendek. Karya luas. Prestasi menonjol. Semua bisa kita lacak di beberapa bukunya. Ada sembilan yang menonjol dan sudah diterjemahkan dalam 15 bahasa. Kesembilan karya itu adalah: Ideologi Kaum Intelektual (1980); Membangun Masa Depan Islam (1988); Kritik Islam Atas Marxisme Dan Sesat Pikir Barat Lainnya (1991); Humanisme Antara Islam Dan Mazhab Barat (1996); Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi (1992); Tugas Cendekiawan Muslim (1991); Haji (1978); Agama Versus Agama (1994); Islam Agama Protes (1981).

Di mana kyai revolusioner seperti Syariati kini dapat kita temukan? Kok sepertinya kita sulit mereplikasi. Itulah mengapa kita sulit jadi negara merdeka, mandiri, modern dan martabatif.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar