Ilustrasi
Oleh M Yudhie Haryono

Demi waktu maghrib. Saat sang kakala datang memeluk selimut. Mata manusia terkantuk di antara mushala dan buka puasa. Naas. Sering aku memilih berdusta. Beberapa kali waktu mengkhianati suara nalar, akal dan pikiran. Hanya demi waktu isya yang mubazir karena busa-busa tarawih.

Kata ulama kejujuran dapat menangkal semua malapetaka. Tetapi, kini kita defisit ulama jujur. Semua takluk di bawah umur dunia. Demi masa. Mari kita mencoba bersahabat dengan sabda alam yang tak lagi sakti. Saat kita tak berdaya.

Sunia kawanku. Kaya raya karena salah zaman. Mendapati waris 21 bangunan. Diajaknya aku keliling melihat satu-satu. Rumah-rumah itu kotor dan dekil. Tanpa penghuni. Mirip rumah hantu. Saat kutanya kenapa tak diurusnya, ia menjawab tak perlu duit banyak. Saat kupinta satu untuk modal membangun kampus nusantara, ia menjawab dengan tertawa: anda filosof ambisius yang tak tahu diri.

Raja nama kawanku. Konglomerat karena hal-hal yang lucu. Punya 221 berlian berharga. Kerjanya tersenyum dan main kartu. Saat kutanya kenapa berlian itu tak diperjual-belikan, ia menjawab tak ada waktu. Saat kupinta satu untuk modal membangun kampus nusantara, ia menjawab dengan ketus: anda ilmuwan yang lucu, diajak main kartu kok mikirkan bangsa.

Karim adalah konglomerat janda. Kerjanya mengoleksi tas ternama. Ribuan jumlahnya. Rumahnya di komplek Menteng dan Pondok Indah. Sekitar 35 Triliun kekayaannya. Suatu kali ngajak ngopi. Sambil berdiskusi soal krisis ekonomi, kutanya kenapa tak menikah lagi, ia menjawab tak mau repot kembali. Saat kupinta satu rumahnya untuk modal membangun kampus nusantara, ia menjawab dengan senyum-senyum: anda tolol, diajak bercinta kok mikirin Indonesia.

Nusa adalah dukun aneh. Pasiennya berjubel. Tiap jam ia mendapat orang-orang bermasalah yang butuh tangan midasnya. Semua mobil mewah dikoleksinya. Punya 19 showroom mobil di Jakarta. Kami sering bincang dan main kartu remi kalau bertemu. Suatu kali kutanya kenapa koleksi mobil sampai mubazir, ia menjawab karena duit terlalu banyak. Saat kupinta satu mobil mewahnya untuk modal membangun kampus nusantara, ia menjawab dengan sinis: anda pemikir miskin yang pasti bingung jika mengelola harta.

Latif guruku. Bukunya banyak. Baru berkuasa. Ingin mempraktekkan Pancasila. Tetapi, pemerintah mempermainkannya. Sekitarnya menipunya. Rezim menertawakannya. Iapun mundur sebelum 10% niat idealnya terlaksana.

Widodo, raja tanpa mahkota. Kalau bingung, ia menangis dan minta ketemu. Kalau sehat, ia jualan warisan. Hidupnya menumpuk utang dan lempar-lempar sembako buat rakyatnya yang miskin paria. Kera-kera dan ular-ular mengelilinginya di istana.

Mengapa para konglomerat dan penguasa bingung bergentayangan di sekitar kita? Sebab kita hidup di negara postkolonial yang warganya mewarisi kurikulum multifokus dan pikiran miopik demi kebingungan-kebingungan berikutnya.

Kini, sepertinya bumi mendekap mereka terlalu erat. Hingga di sini yang rindu terasa kiyamat. Rupanya alkitab menyihir mereka sampai lelap. Hingga di sini yang kangen, mati sepi terterjang pengap.

Wahai jiwa-jiwa lucu yang hidup sendiri-sendiri. Sibuk menjumlah deposito syorga padahal itu asuransi neraka. Kapan ngopi dan jumpa lagi mentertawa dunia dan takdirnya?

Aku sadar. Sahabat itu seperti bintang, walau jauh tetap bercahaya. Meski kadang menghilang, sahabat tetap ada. Tak mungkin dimiliki, tapi tak bisa dilupakan. Kalian sahabat terbaik yang kukenal.

Jagad dewa kehidupan. Begitu beragam sahabat-sahabatku. Banyak yang superkaya. Beberapa berkuasa. Tentu, tidak semua sahabatku bergelimang harta dan jabatan karena ortunya maupun karena salah zaman. Beberapa justru karena born with a silver spoon in their mouth. Tetapi semua gila. Tak punya visi besar kebangsaan. Tak punya misi serius kemanusiaan. Hampir semua sakit jiwa. Membingungkan tiada tara.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar