Farid Esack 
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Bagi Esack, islam hadir sebagai agama pembebasan. Jika kita masih dijajah, tak layak mendaku muslim. Jika kita suka menjajah, nasibnya sekelas haram jadah. Dus, tugas kaum muslim yang paling utama adalah "menikam mati para penjajah yang menjarah."

Ia juga memastikan keadilan, membuang ketidakadilan. Memastikan kebahagiaan, menghempaskan kepariaan. Itulah pesan inti Alquran. Itulah jantung islam.

Jantung islam itu Alquran, bukan arabisme. Dari Alquran kita jadi tahu bahwa ia merupakan wahyu yang memihakan kepada kelompok lemah atau mustadh’afin. Maka, segala hal yang berkaitan dengan Alquran harus berpihak kepada kaum lemah, miskin, cacat dan renta. Beralquran adalah realisasi revolusi: melenyapkan penjajahan, memastikan kemerdekaan, kedaulatan, kemodernan, kemartabatan, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan.

So, komitmen membangun negara dan warganya yang egaliter, berkeadilan, berkesetaraan, pluralis dan multikulturalis harus menjadi barometer baku dalam setiap penafsiran Alquran. Tanpa itu, kita buta teks, rabun kitab suci dan mengkhianati sebab-sebab turunnya wahyu.

Esack menjadi pemikir dunia kesepuluh yang kami bahas di Nusantara Centre. Dan, membaca tesis Esack seperti mengingat guru Tan Malaka. Kita tahu, Tan sering berkata, "kupersembahkan hidupku hanya untuk rakyat miskin dan terjajah. Sudah kurelakan, hatiku pada kalian yang dinista. Namun kalian masih terus membisu, diam seribu bahasa. Saat portugis, velanda dan jepang memperkosa.

Kini, hati kecilku bicara. Bahwa, baru kusadari cintaku bertepuk sebelah kaki. Kalian menampikku untuk revolusi. Kalian buat remuk seluruh hati dan jiwaku. Sampai nalarku berkata, 'revolusiku mati muda.' Seperti nasib cinta perempuan-perempuan perkasa di seantero nusantara kepada hamba."

Kalian yang dimiskinkan, maukah datang dan bergandengan tangan. Menyusun barisan perlawanan. Sambil sadar, kalau bukan kita lalu siapa? Ya. Melawan adalah islam. Melawan penjajahan adalah Alquran.

Nama lengkapnya Maulana Farid Esack (1959), adalah pemikir progresif asal Cape Town, Afrika Selatan. Posisinya adalah juru bicara bagi solidaritas atas nama kemanusiaan bagi semua orang. Ia adalah ahli kerukunan yang memfokuskan hermeneutika sebagai jalan memahami teks dan memproduksi konteks.

Untuk menujunya, Esack merumuskan kunci-kunci dalam memahami hermenutika Alquran sebagai perangkat untuk memahami masyarakat yang diwarnai penindasan dan perjuangan antariman demi keadilan dan kebebasan, khususnya masyarakat Afsel.

Kunci pertama adalah takwa dan tauhid. Keduanya merupakan batu penguji moral dan doktrinal. Kunci ini bersifat teologis tetapi harus selalu diterapkan pada konteks historis.

Kunci kedua adalah al-nas (manusia) dan al-mustadh’afuna fi al-ardl (kaum tertindas di dunia). Ini adalah wilayah interpretatif sang penafsir.

Kunci ketiga adalah ‘adl wa qisth (keadilan) dan jihad (perjuangan) sebagai tuntutan reflektif terhadap metode dan etika yang menghasilkan paradigma kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat tertindas.

Ketiga kunci tersebut terhubung dan dihubungkan secara mutualisma, bersambung dan saling menopang.

Untuk menguatkan tesis-tesisnya, Esack menulis sejumlah buku antara lain, "Qur’an, liberation & Pluralism: An Islam ic Perspective of Interreligious solidarity againts Oppression, (1997); On Being a Muslim; Finding a Relegious Puth in the World Today, (1999);

Beberapa ada di jurnal seperti, "Muslim in South Africa: The Quest for Justice," dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987); Contemporary Religious Thought in South Africa and Emergence of Qur’anic Hermeneutical Nation, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.5 No.2 (1991); Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect, dalam The Muslim World, Vol.83 No.2 (1993); Three Islamic Strands in the South African Struggle for Justice, dalam Third World Quarterly, Vol.10 No.12 (1998); The Exodus Paradigm in The Light of Re-interpretative Islamic Thought in South Africa, dalam Islamochristiana, Vol. 17 (1999); Muslim Engaging Apartheid, dalam James Mutawirma (ed,), The Role of Religion in the Dismantling of Apartheid, (Geneva: Council of Churches & UNESCO, 1992); From The Darkness of Oppression into the Wildness of Uncertainly, dalam David Dorward, South Africa-The Way Forward (Victoria: African Research Institute, 1990).

Kini, bisakah kaum muslim membaca, memahami dan mempraktekkan ide-idenya yang progresif tersebut? Hanya kita yang harus menjawabnya.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar