Ilustrasi: Makam Presiden RI Soekarno. (Foto: indonesiakaya.com).
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia

Apa senjata terkuat dari para pendiri republik? Gagasan. Cita-cita. Hasrat merdeka. Tiga serangkai nuklir itulah inti senjata mereka. Kini, ketiganya disulap oleh para penggantinya menjadi: pencitraan, blusukan dan kejahiliyahan. Tiga epistema yang menjadi agama baru Indonesia. Tiga mental yang tumbuh subur di istana.

Karena itu pertanyaannya adalah, “bagaimana keluar dari takdir bisu nyanyi sunyi sang begundal elite istana?” Kita harus mulai dari studi geneologi para pendiri republik. Dus, kita akan menelaah pemikiran Tan Malaka, Nyoto, Soekarno, Syahrir, Tjokroaminoto, Natsir, Yamin, Hatta, Musso, Soedirman, Kartosoewiryo, Aidit, Daud Beureuh, Sjam Kamaruzaman, Wahid Hasyim, Njoto, Ki Bagus Hadikusumo, Ki Hadjar Dewantara, Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Cik Ditiro, Amir Syarifoedin, Wilopo, Soekiman Wirjosandjojo, Burhanuddin Harahap, Ali Sastroamijoyo, Djoeanda Kartawidjaja, dll.

Sebab, akar geneologi pikiran mereka yang muncul di Indonesia tidak bisa dilepas dari proses historis dan transformasi besar ekonomi-politik-sosial-budaya-agama pra-Indonesia guna mengkreasi filosofi dasar negara kita, gambaran masa depan, plus cara mencapai dan mempertahankannya.

Artinya, ontologi Indonesia adalah hasrat merdeka. Epistemnya, pikiran yang hibrida (pancasila). Aksiologinya, revolusi, menyempal dan crank. Inilah arsitektur purba Indonesia yang membedakannya dari negeri-negeri lainnya.

Jadi, apa maksud kita belajar studi geneologi pendiri republik? Adalah cara melacak akar-akar pikiran kebangsaan mereka sehingga merupakan perbincangan yang fokus pada perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam suatu negara: pra kolonial, kolonial dan postkolonial (merdeka).

Secara spesifik, studi ini membahas tentang apa yang menyebabkan sesuatu terjadi dan apa akibat yang ditimbulkannya. Sebab, geneologi sendiri berasal dari kata genealogy (bahasa Yunani: γενεά, genea, "keturunan" dan λόγος, logos, “pengetahuan”). Artinya kajian dan penelusuran jalur pemikiran, ide, gagasan serta sejarah dan implikasinya.

Di dalam arsitekturnya nanti, terbagi atas perubahan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Perubahan jangka pendek merupakan pergerakan masyarakat dari hari ke hari, hingga tahun ke tahun. Perubahan jangka menengah merupakan pergerakan masyarakat dari tahun ke tahun hingga dekade ke dekade.

Sementara perubahan jangka panjang merupakan pergerakan masyarakat dari dekade ke dekade hingga abad ke abad.
So, menziarahi pikiran para pendiri republik Indonesia adalah meneladani dendam positif yang ada di mana-mana: di jantungku di jantungmu, di jantung hari-hari rakyat jelata untuk menikam mati begundal internasional yang berzina dengan begundal lokal.

Mempelajari pikiran mereka adalah praktik dari demokrasi Pancasila. Ini tentu upaya deliberatif karena menyatukan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat yang heterogen dan plural. Tanpa mempelajari pikiran cerdes mereka, sesungguhnya kita semua benar-benar berada dalam kebodohan dan keterjajahan, kecuali orang-orang yang merealisasikan cita-cita mereka, konstitusi yang diwariskannya dan saling nasihat menasihati untuk berbuat adil dan bekerja secara gotong-royong.

Dus, belajar dari mereka mengharuskan setiap kebijakan publik kita hendaknya lahir dari musyawarah mufakat bukan paksaan. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya konflik kepentingan. Harus ada proses fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas kebijakan publik demi ketertiban sosial dan stabilitas nasional yang berdampak keadilan, kemerataan, kesejahteraan dan kegotong-royongan.

Belajar dari mereka adalah praktik ideologi Pancasila yang cerdas dan jenius sehingga terdapat agama publik yang multikultural. Dan, dalam agama publik yang multikultural terdapat ilmu pengetahuan yang mencerahkan, memerdekakan, mendaulatkan, memodernkan, memartabatifkan semuamya.

Serta, dalam ilmu pengetahuan yang mencerahkan terdapat mental merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Inilah mental konstitusional yang anti kolonial. Mental yang menghancurkan warisannya: oligarkis, kleptokratis, kartelis, fundamentalis, fasis dan predatoris.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar