Ilustrasi Potret News
TABAYUNA.com - Amplop menjelang Pilkada adalah umumul balwa (realitas umum yang sulit dihindari) yang dilarang negara karena mencederai esensi demokrasi yang mengharapkan pemimpin dipilih karena integritas dan kapabilitasnya.


Namun, bagaimana Pandangan agama, khususnya fiqh ?

Saya mengikuti dua forum yang hasilnya berbeda. Pertama, MWCNU Trangkil Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang mengharamkan menerima amplop itu karena jelas-jelas suap (risywah) yang diharamkan dlm agama.

Suap adalah memberikan sesuatu kepada hakim (pemutus perkara) supaya menetapkan kebatilan dan menggugurkan kebenaran.

Dalam konteks ini, jika suap bertujuan menetapkan hak kebenaran yg dirampas seseorang hukumnya boleh, meskipun yang menerima dilarang.
Sesuai kaidah agama:
ما ادي الي الحرام حرام
Segala sesuatu yang menjurus kepada keharaman, maka sesuatu itu menjadi haram.

Menghraamkan menerima amplop adalah bagian menutp pintu keharaman (سدا للباب).

Kedua, MWCNU Margoyoso Kabupaten Pati yang membolehkan menerima amplop tersebut sebagai hadiah. Masyarakat tidak meminta amplop tersebut, karena amplop tersebut datang dari tim sukses. Masyarakat yang menerima juga tidak ada keharusan mencoblos orang yang memberikan amplop tersebut.

Masalah ini termasuk khilafiyah dalam agama, sehingga produk hukumnya berbeda. Ada yang bercorak idealis dan ada yang bercorak realistik. Meskipun demikian, penulis lebih cenderung keputusan MWCNU Trangkil yang mengharamkan menerima amplop Pilkada.

Dlm konteks ini, ingat statement Imam Syafi'i:
راءينا صواب يحتمل الخطاء وراءي غيرنا خطاء يحتمل الصواب
Pendapat kami benar, tapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar.

Senin, 25 Juni 2018
Dr. Jamal Ma'mur
Dosen IPMAFA Pati
Bagikan :

Tambahkan Komentar