Ilustrasi: Foto tabayuna.com
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia

Pendidikan Indonesia masih belum merdeka. Pendidikan Indonesia masih menjalankan kolonialisme terhadap bangsanya sendiri. Sistem pendidikan Indonesia masih dibayang-bayangi oleh asing, materi-materi pelajaran kita masih didominasi oleh asing, dan karakter-karakter para guru dan anak didiknya masih memuja-muja apa saja yang datang dari luar.

Sehingga, mental bangsa Indonesia yang dibentuk oleh pendidikan menjadi mental inlander, mental yang selalu rendah diri dan tunduk pada kepentingan asing. Pendidikan kita bukanlah pendidikan yang merdeka, karena tidak ada kemerdekaan ketika masih ada ketertundukan.

Padahal, pendidikan adalah pencetak para pemikir dan cendekia yang mengabdikan diri mereka untuk ilmu dan kesejahteraan umat manusia. Sebuah tempat agung terjadinya persimpangan ide dan gagasan. Sebuah jalan menuju manusia yang beradab. Di dalam proses itu, setiap peserta didik dihargai sebagai individu yang unik dan didorong kreativitasnya untuk berkembang.

Sebetulnya, arah pendidikan Indonesia telah diuraikan dengan gamblang dalam tujuan pendidikan nasional. Disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Selain itu, hakekat dan garis arah pendidikan Indonesia juga telah terbentang jelas dan termaktub dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional, dijelaskan hakekat pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”

Dengan demikian sudah sangat tegas dan jelas bahwa pendidikan yang dijalankan di sekolah harus mengimplementasikan dan mencerminkan hakekat pendidikan nasional yang luhur tersebut. Namun sangat disayangkan, pada tataran realitasnya pendidikan yang dilakukan di sekolah telah dirancang untuk melayani kepentingan penguasa dan sangat tunduk pada hegemoni asing dan kapitalisme.

Jika ditinjau lebih dalam, memang benar apa yang dikatakan Paulo Freire bahwa materi yang diajarkan di sekolah mengakibatkan peserta didik tercerabut dari lingkungannya. Di sekolah, peserta didik diajari materi-materi yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Pembelajaran telah didesain oleh punguasa, di mana bertujuan untuk mencetak tenaga kerja murah dan individu-individu yang patuh.

Label-label internasional yang disematkan pada beberapa sekolah alih-alih membuat anak tanggap pada tantangan zaman, peserta didik justru semakin kehilangan karakter kenusantaraannya. Mereka bangga ketika cas-cis-cus berbahasa asing namun malu dengan bahasanya sendiri. Inilah ciri nyata dari mental terjajah.

Bukan maksud menjadi orang yang terlalu text book, namun melek konstitusi sangat penting. Sehingga kita perlu merujuk lagi pada UU Sisdiknas, bahwa kita perlu membuat pendidikan yang bernuansa ke-Indonesiaan, sebuah pendidikan yang berbasis dan berkarakter nusantara, bukan pada kapitalis yang hendak menjadikan peserta didik kita menjadi buruh terampil yang mau dibayar murah dan individu yang memuja-muja asing.

Karenanya, dalam UU sisdiknas tertulis bahwa “Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.” Sekali lagi, pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat, bukan dari, oleh, dan untuk penguasa dan pihak asing!

Maka, melalui pendekatan poskolonial, perlu kita melihat lebih dalam tentang praktek-praktek kolonialisasi yang ada pada pendidikan Indonesia. Selain itu, dari pandangan teori kritis ini, kita akan mendapat gambaran bahwa pengetahuan menjadi sama dengan kepentingan. Termasuk pengetahuan-pengetahuan yang terkandung dalam pengajaran sekolah.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan Indonesia merupakan objek yang terjajah namun sekaligus sekaligus menjadi penjajah. Pendidikan Indonesia terjajah oleh asing/westernisasi, dalam aspek muatan materi pelajaran yang terkandung dalam kurikulum. Mater-materi tersebut mengandung bias orientalis yang mengakibatkan anak bangsa memuja segala yang datang dari Barat. Pendidikan yang memberikan rasa rendah diri sebagai bangsa sendiri dan selalu berserah diri pada bangsa luar.

Pendidikan Indonesia menjadi penjajah artinya pendidikan yang harusnya membebaskan justru menindas peserta didik. Hal ini dikarenakan pendidikan Indonesia beroperasi dengan logika kolonialisme. Karateristik kolonial telah merasuk dalam aspek sistem pendidikan yang mewujud pada konsep pendidikan yang sekolah sentris, model pengajaran yang menindas, dan guru yang otoriter bahkan amoral.

Tiada kata seindah Pendidikan. Sebab, kemanusiaan, kehormatan dan peradaban kita dibentuk oleh proses pendidikan. Semua pendidikan adalah proses yang luhur, sakral dan indah. Pendidikan adalah proses yang mengantarkan kita ke dalam kemanusiaannya. Pendidikan adalah persembahyangan, proses pergulatan raga dan pikiran demi menggapai kedekatannya dengan keillahiannya.

Karena pendidikan itu suci dan merupakan sebuah jalan menuju keintiman dengan Yang Mutlak, maka sama sekali tidak dibenarkan proses luhur ini dikotori oleh keserakahan, nafsu, hasrat dunia, penindasan dan penipuan.
Pendidikan kita akan menelisik sejauh dan sedalam mungkin soal kekayaan pengetahuan masa lalu, kini dan mendatang. Sebagai contoh, kita nanti akan bertemu dengan filsafat aksara dan angka.

Tetapi, aksara bukan hanya tanda, tetapi juga penanda dan petanda. Ada simulacra dalam studi tentangnya. Di dalam dirinya mengandung niat, postulat, cita-cita, pesan, doa, liturgi dan kreasi masa depan.

Louis Hjelmslev, menyebut bahwa, ”sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Tanda merupakan self-reflective yang menggambarkan ekspresi dan persepsi.”

Dalam aksara Jawa, misalnya, kita temui semua semiotika seperti yang dimaksud. Kita cek pengetahuan tersebut berikut ini:

HA=Hana hurip wening suci (Adanya hidup adalah kehendak yang Maha Suci). NA=Nur candra, gaib candra, warsitaning candara (Harapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi). CA=Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi (Satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal).

RA=Rasaingsun handulusih (Rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani).

KA=Karsaningsun memayu hayuning bawana (Hasrat diarahkan untuk kesejahteraan alam).
DA=Dumadining dzat kang tanpa winangenan (Menerima hidup apa adanya).

TA=Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa (Mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup). SA=Sifat ingsun handulu sifatullah (Membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan). WA=Wujud hana tan kena kinira (Ilmu manusia hanya terbatas namun bisa juga tanpa batas). LA=Lir handaya paseban jati (Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi).

PA=Papan kang tanpa kiblat (Hakekat Allah yang ada di segala arah). DHA=Dhuwur wekasane endek wiwitane (Untuk bisa di atas tentu dimulai dari dasar). JA= Jumbuhing kawula lan Gusti (Selalu berusaha menyatu dan memahami kehendakNya). YA=Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi (Yakin atas titah dan kodrat Ilahi). NYA=Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki (Memahami kodrat kehidupan).

MA=Madep mantep manembah mring Ilahi (Yakin dan mantap dalam spiritualisme). GA=Guru sejati sing muruki (Belajar pada guru sejati). BA=Bayu sejati kang andalani (Menyelaraskan diri pada gerak alam). THA=Tukul saka niat (Sesuatu harus tumbuh dari niat). NGA=Ngracut busananing manungso (Melepaskan egoisme pribadi).

Inilah pendidikan yang menusantara, berbasis pada konstitusi, membebaskan, mencerdaskan, menjeniuskan dan ramah-adaptif terhadap pengetahuan masa lalu, kini dan esok. Pendidikan yang menjaga warisan keadaban masa lalu sambil terus mencipta keadaban masa depan yang lebih baik, canggih dan waras.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar