Oleh Ahmad Fauzi

Cahaya terang mulai pudar. Bosan untuk bersinar. Yang gelap dan remang-remang nampak lebih menggairahkan. Menawarkan minuman anggur pemuas dahaga kebenaran. Putih tidak lagi berwibawa, tertelan kepalsuan dan kemunafikan. Suci tidak lebih bermakna selain dari pada ketidakwarasan. Iman sudah tercemar, berbau nanah dihinggapi aura kebusukan.

Zaman sedang menabuh genderang. Agama pewahyuan pucat pasi meradang. Marah oleh banyak serangan dari kritik dunia dan ilmu pengetahuan. Ateisme, kaum kafir-murtad, pendukung sekuler-agnostik bersekutu dengan kemanusiaan.

Menuntut agama pedang diadili di depan mahkamah sejarah keberadaban. Surga dicemooh dengan lantang, layaknya tempat perzinahan akbar yang disucikan. Sang nabi pun tidak lagi terlindungi dari kesalahan. Semangat zaman sedang melawan, menunjukkkan taring dan cakar merah pemberontakan.

Alam cenayang memang mempesonakan. Memperagakan tariang linglung kesurupan. Tak bisa ditebak dan membingungkan. Kenabian langit telah paripurna tugasnya dan kehabisan tenaga. Terseok-seok bertahan menghindari banyak serangan. Ketika terdesak, senjata dan pembunuhan menjadi pilihan. Atas nama iman dan ketuhanan, semuanya di atas bisa dibenarkan.

Patologi dan anomali dalam wahyu mengantarkan manusia untuk mencari sumber-sumber baru penyelamatan. Kedewasaan hadir melalui nalar dan ilmu pengetahuan, simbol peradaban dan kemajuan dengan para nabinya yang mengagumkan.

Sudah ratusan nabi ilmu pengetahuan muncul di permukaan. Mencoba menyerang kitab suci dan memberi arti baru bagi kemanusiaan. Tapi nabi langit sedikitpun belum tergoyahkan, apalagi terkalahkan.

Ini yang harus menjadi pertanyaan besar bagi kita, kenapa wahyu sang nabi tidak bisa mati? Mengapa ideologi pedang dan kematian tetap menang? Dan kewarasan sering berakhir sebagai pecundang?
Bagikan :

Tambahkan Komentar