Ilustrasi foto Nusantara.news
Oleh Nur Kholik Ridwan

Gus Dur berkata:

Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “Menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan (dar’ul mafâsid muqoddam ‘alâ jalbil masholih) (Gus Dur, Islamku Islam Anda Islam Kita, hlm. 22).


Perkataan di atas, dalam versi lain berbunyi “dar’ul mafâsid aulâ min jalbil mashôlih”, merupakan kaidah fiqh cabang, dari kaidah pokok “adh-dhororu yuzâlu” (Bahaya haruslah dihilangkan). Al-Mafâsid adalah berbagai hal yang menimbulkan bahaya, dan bahaya itu sendiri, atau “dharar” atau “dhirar”, sesuatu yang melukai, menimbulkan kesulitan, kesempitan, atau berdampak buruk pada diri seseorang; atau berdampak pada masyarakat luas atau orang lain

Hal ini, sejalan dengan hadits Nabi Muhammad yang menyebutkan: “Lâ dhororo walâ dhirôro” (jangan membahayakan diri dan orang lain). Artinya menjadi jelas, Islam melarang untuk melakukan tindakan yang membahayakan dirinya atau orang lain. Imam Jalaluddin as-Suyuthi al-Jâmi al-Kabîr (juz XI: 540-541), menyebutkan 3 hadits soal ini:

Hadits pertama, “lâ dhororo walâ dhirôro”, tanpa ada tambahan, melalui jalan sahabat Ibnu Abbas dan sahabat Ubadah bin Shomith. Dalam catatan kakinya disebutkan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (No. 2441); ath-Thobroni dalam al-Mu’jamul Kabîr (No. 11576); dan al-Baihaqi dalam as-Sunânul Kubrô.

Hadits kedua, ada lafazh tambahannya, “lâ dhororo walâ dhirôro, man dhôrro dhôrrohullohu, waman syâqqo syâqqollohu `alaihi”. Hadits ini, dalam catatan kaki pada al-Jâmi al-Kabîr di atas, diriwayatkan Imam Malik dari jalan sahabat Abu Sa`id; dan al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrok dan menyebutnya sebagai “shohih”. Arti hadits ini, “Janganlah membahayakan diri dan orang l,ain, barangsiapa yang membuat mudharat niscaya Alloh memudharatkannya, dan barangsiapa mempersulit niscaya Alloh akan mempersulitnya.”

Hadits ketiga, ada lafazh tambahannya, “lâ dhororo walâ dhirôro, walirrojûli an yadho`a khosyatan fî hâ’iti jârihi wath thorîqul mitâ’u sab`atu adzru`in.” Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dari jalan sahabat Ibnu Abbas. Arti hadits ini, “janganlah membahayakan diri sendiri dan orang lain, dan bagi seorang janganlkah meletakkan/membuat ketakutan di sekitar (jalan) tetangganya, dan jalan yang dilalui itu adalah 7 dzira’.”

Dari hadits-hadits ini dirumuskanlah kaidah oleh para ahli Ushul Fiqh dalam kitab-kitab mereka, seperti oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Asybâh wan Nazhô’ir, dan kitab-kitab lain-lain, dengan redaksi “adh-dhororu yuzâlu” (bahaya itu harus dihilangkan) dalam melihat berbagai persoalan. Dari kaidah ini lahir kaidah-kaidah cabang, yang di antaranya adalah perkataan yang dikutip Gus Dur di atas.

Kaidah-kaidah cabang dari kaidah ini adalah: “adh-dororu yudfa`u biqodril imkân” (bahaya harus ditolak semampu mungkin); “adh-dhorûrot tubîhul mahzhûrot (kondisi darurat bisa membolehkan sesuatu yang dilarang); “mâ ubiha liddorûroti yuqoddiru biqodriha” (sesuatu yang diperbolehkan karena dharurat disesuaikan dengan kadar dharuratnya); adh-dhororu lâ yuzâlu bi adh-dhorori (bahaya tidak bisa dihilangkan dengan (menciptakan) bahaya yang lain); “al-idhtirôr lâ yuzâlu haqqol ghoir (keadaan dharurat tidak membatalkan haqnya orang lain); al-hajjah qod nuzilat manzilatadh dhorûrah `âmmatan kânat au khossotan” (keburuhan disetarakan dengan keadaan dharuat, baik kebutuhan umum atau khusus); “yahtamilu adh-dhororul khosh lidaf`I dhororin `âmmin (bahaya khusus harus ditempuh untuk menolak bahaya umum); dan “dar’ul mafâsid muqaddam ‘alâ jalbil masholih” (menolak keburukan-keburukan lebih diutamakan daripada menarik kebaikan darinya.”

Kaidah yang dikutip Gus Dur di atas, sebagai kaidah cabang dari “adh-dhororu yuzâlu” berlaku dalam berbagai persoalan, kecuali dalam beberapa persoalan, yang dapat diketahui melaluai analisis cermat. Penerapan dari kaidah ini, di dalam berbagai persoalan, ketika berkumpul dua jal antara mafsadat dan maslahat. Sebagai contoh. apabila seseorang memiliki harta yang bercampur antara yang halal dan yang haram, maka lebih utamanya ditinggalkan, agar tidak terjerumus makan uang yang haram; apabila seseorang meletakkjan pasir atau batu-batu yang membahayakan orang di pinggir jalan uangt dilewati banyak orang, meskipun meletakkan pasir dan batu-batu itu syah menurut adat untuk bangunan di sekitar jalan itu, maka meninggalkan yang mafsadat lebih utama, yaitu dengan meletakkan batu-batu di tempat yang tidak menimbulkan mafsadat bagi orang lain dan masyarakat.
Sementara apabila mashlahahnya terlihat lebih besar, maka mashlahahnya yang dimenangkan.

Sebagai contoh, orang setelah menikah, kemudian melihat pasangnnya gila, maka membatlkan pernikahan itu lebih utama; atau ada orang sengaja sholat, tetapi tidak memenuhi sebagian rukunnya atau syaratnya, misalnya tidak berwudhu, tidak membaca surat al-Fatihah, tidak menurutp aurat, tidak menghadap ke kiblat, dan sejenisnya. Dan, karena meninggalkan sholat itu sendiri adalah mafsadaat, maka dalam keadaan seperti itu, berhenti menjalankan sholat harus diutamakan, untuk menyempurnakan kembali sesuai dengan syarat dan rukunnya.

Gus Dur mengutip kaidah ushul fiqh di atas, dalam konteks menjelaskan bahwa gerakan-gerakan Islam, dan juga para ulama di kalangan Nahdlatul Ulama dan yang sefaham dengan mereka, selalu menggunkan pertimbangan mencegah mudharat yang lebih besar; dan berusaha mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar, dalam memutuskan sikap kebangsaannya. Gus Dur menunjukkan dua hal, yaitu pertama soal Piagama Jakarta, dan kedua soal pencalonannya sebagai presiden.

Dalam kasus Piagam Jakarta, umat Islam rela dan menyetujui pencoretan tujuh kata, dari ide yang awalnya telah dimusyawarahkan oleh sebagian wakil-wakil di BPUPKI, tetapi kemudian dihilkangkan setelah melihat bahaya lebih besar mengamcam, yaitu bahaya keretakan, perpecahan, dan ketersendatan dalam merumuskan kemerdekan Indonesia. Maka, dengan prinsip menolak kemudharatan yang lebih besar, lebih utama dipilih menghilangkan 7 kata itu, daripada tetap kukuh.

Gus Dur sampai mengatakan:
“Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta tersebut dari UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal-usul mereka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia.”

Kasus berikutnya adalah, pencalonan Gus Dur sebagai presiden oleh Amien Rais CS melalui kekuatan Poros Tengah. Gus Dur mengatakan: “Adagium inilah yang digunakan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima Pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu. Karena Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati) sebagai Presiden negara, hingga dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.” Meski pada akhirnya Gus Dur dijatuhkan oleh Amin Rais CS.

Artinya, menjadi jelas, bahwa kaidah di atas dan dasar-dasar dari rasionalitas Ushul Fiqh seringkali menjadi pijakan dalam melihat persoalan, bahkan untuk memecahkan persoalan umat; lebih-lebih hal ini menjadi semakin sering digunakan, bila berkaitan dengan persoalan individual atau antarpersonal. Hal ini semakin relavan, apabnia pemilihan sikap terhadap persoalan itu memang menimbulkan mafsadat yang besar, dan hanya dilihat sedikit ada kebaikannya, maka yang lebih utama, adalah menempuh untuk meninggalkan mafsadat itu.

Hal ini tentu saja, sikap-sikap yang dipilih berdasarkan pijakan dengan kaidah di atas, yaitu dalam kerangka hidup bernegara, tetap tunduk pada UUD dan UU. Harus ada peluang legal dan legalaitasnya dari sudut UU, bila bekaitan dengan relasi kelompok masyarakat dan bernegara, bukan hanya dari sudut rasionalitas Ushul Fiqh semata. Wallohu a’lam.
Bagikan :

Tambahkan Komentar