Foto Ahmad Shaleh

Gus Dur berkata:
“Sometimes, a statement that has no certain meaning rationally interpreted by Muslim: The prophet once thold his followers: “Find knowledge in the land of China (uthlubul `ilma walau bish shin) (Gus Dur, “Islam in Democratic State: A Lifelong Search”, dalam Asrori S Karni (ed.), A Celebration of Democracy (Jakarta: WI & Gatra, 2006).
Perkataan di atas, menurut catatan kaki yang diberikan Gus Dur (catatan kaki No. 16 dalam tulisan itu), disebut dengan keterangan: “This dhaif hadith is told by Uqaily in adh-Dhu`afâ’, al-Baihaqi in Syu’bul Îmân, and Ibnu Adi in al-Kâmil. See Jalaluddin as-Suyuthi, al-Jâmi ash-Shaghir, I: 44.
Hadits ini diperselisihkan oleh para ahli hadits: sebagian menyebutnya palsu dan sebagian memberinya sebutan dhaif. Gus Dur menyebutkan dalam kutipan di atas adalah dhaif. Orang Indonesia yang bersemangat menganggap hadits ini palsu adalah Prof Dr. KH. Musthafa Ali Ya’qub, dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012: 1-6). KH. Ali Musthafa Ya’qub, menyebutkan begini: “Setelah diketahui bahwa hadits di atas adalah palsu, maka kini tidak perlu lagi menjawab pertanyaan, kenapa Nabi Muhammad menyebut China dan bukan Eropa.”
Di antara yang menyebut hadits itu palsu adalah Ibnu Hibban, yang disebut juga oleh KH. Mustafa Ali Ya’qub: “Imam Ibnu Hibban mengatakan hadits ini palsu. Tidak ada dasarnya. Pernyataan Ibnu Hibban ini diulang oleh as-Sakhowi dalam kitabnya al-Maqôshidul Hasanah. Sumber kepalsuan hadits ini adalah rawi yang bernama Abu Atikah Tharif bin Sulaiman.” Setelah itu KH. Mustafa Ali Ya’qub, menyebutkan 3 sanad lagi dari hadits ini, tetapi setelah menelitinya dari riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhû`ât dan as-Suyuthi dalam al-La`âli al-Mashnu`ah, tetap saja, menurutnya tidak bisa meningkatkan status hadits itu, karena sebagian perawi di situ di kenal pembohong, dan karenanya tidak mengubah kedudukannya sebagai hadits palsu.
Al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab himpunan hadits Jam`ul Jawâmi atau al-Jâmi al-Kabîr, memasukkan hadits ini pada No. 3401 (pada jilid I: 673), dan menyebutkan beberapa perawi yang semua dari jalur sahabat Anas. Dan dalam catatan kaki di situ disebutkan: “Hadits ini juga disebutkan dalam al-Jâmi ash-Shoghîr, No. 1110, dan mengisyaratkan dengan kata adh-dho’fu. Al-Baihaqi berkata: “Isinya masyhur dan isnadnya dha`îf, dan telah diriwayatkan dari berbagai jalan semuanya dhaî`fatân.” Dan Ibnu Hibban berkata: ”La ashla lahu”, dan Ibnul Jauzi menghukuminya sebagai maudhu’, dan disebut “wa nûzi`a biqoulil al-Mizzi” (al-Hafizh): “Hadits itu memiliki sebuah jalan, yang bisa jadi dengan mengumpulkannya bisa sampai pada derajat al-hasan.”
Sedanghkan adz-Dzahabai dalam Talkhîshul Wâhiyât menyebutkan: “Hadits itu diriwayatkan dengan jalan yang banyak dengan perawi wâhiyah dan sebagian shalih.”
Sedangkan as-Sakhowi hanya menyebutkan dalam Maqôshidul Hasanah (hlm. 121), berbagai perawi yang sampai kepada sahabat Anas bin Malik dengan dua jalan, dan dari dua jalan itu semuanya disebut dha`if; dan mengutip juga pendapat Ibnu Hibban. Sedangkan Al-Ajluni dalam Kasyful Khofa’ (jilid I: 158) juga mengemukakan sebagaimana catatan kaki dalam al-Jâmi al-Kabîr di atas, sambil menambah beberapa keterangan yang intinya menyebutkan ada tiga penilaian: ada yang menganggapnya dha`îf (al-Hafizh al-Baihaqi), dan ada yang menganggapnya palsu (Ibnul Jauzi dan Ibnu Hibban); dan juga mengutip al-Hafizh al-Mizzi seperti di atas: “Hadits itu memiliki sebuah jalan, yang bisa jadi dengan mengumpulkannya bisa sampai pada derajat al-hasan.”
Sementara tentang isi hadits di atas, Gus Dur menyebutkan interpretasinya ada dalam dua pengertian: interpreted literally, yang berarti adalah “go to China”; dan “generally” yang bermakna “to be about the importance of seeking out knowledge in distand lands….”; dan atau dalam pengertian juga “to study the secular sciences”.
Jadi, Gus Dur tidak menyebut sampai pada ilmu-ilmu keagamaan dan tauhid. Bisa jadi, tidak disebut ini, karena memang pada saat ini, China belum menjadi kiblat dalam studi-studi ke-Islaman. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga, di masa-masa yang tidak bisa diprediksi dan tidak terduga di masa datang, China juga menjadi kiblat studi-studi Islam, artinya tidak hanya “to study the secular sciences”; tetapi juga dalam bidang keagamaan, meski pada saat ini belum.
Pada saat ini, belajar tentang aspek yang perlu dipelajari di China juga memerlukan sampai ke China (go to China); di samping belajar pada aspek-aspek “to study the secular sciences”-nya. Hal ini mengingat betapa China ternyata memang menjadi kekuatan dunia yang tidak bisa diremehkan lagi saat ini. Akan tetapi belajar ke China tentu hanya salah satu bagian, dan bagian-bagian lain, adalah juga belajar ke semua peradaban, yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Al-Qur’an melalui teologi “lita`arofu”, yang disebut oleh Al-Qur’an pada QS. Al-Hujurat ayat [49] ayat 13.
Bagi kita yang di Indonesia, adalah kenyataan, lebih dekat secara geografis dengan Negara China daripada Eropa, juga memiliki tetangga-tetangga negara beretnis China; kita sendiri memliki saudara-saudara yang beretnis China (atau Thionghoa); dan lautnya langsung berbatasan dengan laut China selatan. Hal ini menjadi penting untuk menjalin, belajar, dan mempelajari China, dari aspek yang kita perlukan untuk berhubungan dengan mereka.
Hal ini ditambah data-data, yang dikemukakan di antaranya oleh Michael Backman dalam buku Asia Future Shock (Jakarta: Ufuk, 2008), bahwa populasi China dan India pada tahun 2030-an, sudah mencapai masing-masing 1,5 miliar. Hal ini tentu memiliki arti, sebuah pasar konsumen, arus wisatawan ke Asia, dan ledakan sarjana yang besar. Selain itu juga disebut, China meningkatkan kekuatan militernya yang terus melonjak, dan pada saat ini di laut China selatan berani berkonfrontasi dengan Amerika Serikat.
Tidak hanya itu, minat militer China juga diperluas, dari hanya pada aspek politis juga ke komersial untuk melindungi investasi-invetasi mereka di luar negeri. China memperluas investasinya di negara-negara Afrika melebihi negara-negara lainnya. Mereka membangun teknologi persenjataan secara mandiri, karena diembargo AS. China juga merupakan kekuatan besar di wilayah Asia, terutama yang berkaitan dengan sengketa-sengketa laut di laut China Selatan; dan juga pada saat ini, kita melihat China berani melawan perang dagang dengan Amerika serikat, ketika Donald Trump (presiden AS) melancarkan perang dagang kepada China.
China, oleh buku itu juga disebut sebagai masa depan bagi penutur bahasa Inggris terbesar di dunia yang akan mengalahkan AS, tanpa menghilangkan bahasa China sendiri. Sekarang, menurut Backman dalam buku itu, China menghasilkan 20 juta penutur bahasa Inggris baru setiap tahun, jauh mengungguli semua negara, termasuk Amerika Serikat. Artinya, hal ini juga memperjelas bahwa China akan semakin membanjiri dunia dengan berbagai keahliannya yang didukung oleh para penutur bahasa Inggrisnya itu. Film-film berkelas yang mengambil latar China dan lahir dari para sineas China merupakan isyarat ini.
Meskipun China dikendalikan oleh Partai Komunis China, tetapi orang-orang Komunis itu juga tetap manusia. Mereka berinteraksi, menyesuaikan dengan keadaan lingkuangan global, berusaha mempengaruhinya, dan mengambil segi-segi luar yang positif bagi mereka. Apalagi mereka hidup dengan gaya komunis China yang berbeda dengan Eropa. Tetap ada banyak manfaat umat Islam Indonesia untuk mempelajari China, daripada mengabaikannya; tetap banyak manfaatnya untuk bekerjasama dalam bidang muamlah-dagang-militer, daripada memutuskan dan memusuhinya, sambil memperhatikan perubahan-perubahan global.
Paling tidak, manfaat berhubungan dan menuntut ilmu di China sangatlah besar: bila itu berkaitan dengan dampak buruk, segera dapat diketahui pola-pola dan metode mengatasinya; dan kalau itu berkaitan dengan aspek positifnya, segera dapat mengambil peran untuk mempersiapkan dan menjalin kontak dan komunikasi. Apalagi China modern, tidak seperti barat yang memiliki jejak dan catatan buruk sebagai penjajah umat Islam; dan tidak memiliki jejak buruk dalam melakukan destabiliasi di negara-negara berpenduduk Muslim, seperti di Yaman, Suriah, Iraq, dan Libya.
Maka, isyarat Kanjeng Nabi Muhammad tentang China, adalah dorongan agar umat Islam mengembangkan teologi “lita`arofu” terhadap peradaban lain, tanpa harus larut terserap ke dalamnya; dan dalam kerangka menjalin perdamaian dunia, saling menghargai dan menghormati; juga memperbanyak peluang kerjasama, terhadap apa yang bisa dikerjasamakan. Dan karenanya, menjadi jelas bahwa China adalah kekuatan besar Asia, bahkan juga dunia dalam jangka panjang, yang mutlak memerlukan sikap dan tindakan umat Islam dengan pikiran-pikiran yang besar pula dalam melihat China, bukan retorika-retorika menafikan China. Wallohu a'lam.
Bagikan :

Tambahkan Komentar