Ilustrasi
Oleh: Nur Kholik Ridwan

Suatu ketika, sahabat saya kedatangan tamu, seorang kyai muda, yang juga sahabat kami waktu masih di Banyuwangi. Tamu ini bercerita bahwa dia sedang menghadapi beberapa kesulitan. Sahabat saya ini adalah alumni pondok di Banyuwangi. Sang tamu bercerita bahwa dia memiliki saudara, yang dulunya hanya belajar ilmu agama di langgar, dan tidak meneruskan untuk mendalaminya di pondok. Kemampuannya sebatas bisa mengerti kewajiban-kewajiban elementer, puasa sunnah dan menjalankan sholat nawafil. Saudaranya itu adalah seorang perempuan.

Saudara sang tamu ini suatu ketika menjadi bahan topik diskusi di kalangan para elit kyai muda di kampung, yang semua adalah para lulusan pesantren salaf, mereka para ahli fiqh, dan para imam di mushola dan masjid, tetapi juga beberapa memiliki ijazahan wirid, termasuk hizib. Topik yang dibicarakan, adalah berkaitan dengan warid-warid yang datang kepada perempuan itu; juga kemampuan perempuan itu untuk membantu mengobati mereka yang datang sampai pada bertanya pada persoalan-persoalan hidup.

Pada perjalanannya, kemampuan perempuan ini diceritakan, warid-warid yang datang selalu mengubah-ubah dan menambah wirid yang harus diwiridkan, dan terakhir kembali kepada sholawat kepada Kanjeng Nabi, dan berakhir di sholawat itu. Setelah itu, perempuan itu dalam warid-warid yang diterimanya dan berakhir di sholawat itu, kadang diminta untuk berziarah ke makam-makam wali dari mulai Banten sampai Banyuwangi.

Para elit dari kalangan kyai-kyai muda yang berpijak pada fiqh, ada yang berpendapat orang ini mendapat bisikan-bisikan setan, dan sebaiknya ditinggalkan, dan diminta untuk ngaji. Sebagian lagi, meremehkan, karena dia tidak memiliki ilmu yang cukup dari pesantren, terutama ilmu-ilmu yang dipelajari berkaitan dengan tasawuf. Mereka menyangsikan, pertama, karena perempuan itu tidak memiliki pengalaman nyantri yang cukup. Perempuan itu kemudian sering ditemani oleh seorang kyai muda, sahabat saya, yang masih terhitung familinya yang agak jauh. Sementara para kyai muda di kampung itu, lebih dari 5 orang. Saya sendiri kemudian, sering berdiskusi dengan sahabat saya ini.

Apa yang dialami perempuan itu, menurut sahabat saya itu adalah mendapatkan warid, dari buah-buah pengamalan nawafilnya, faridhohnya, juga puasanya dan sabarnya menghadapi malapetaka di rumah. Dan sampai saat ini, sang perempuan itu, masih terus berpijak pada amalan syariat, sembahyangnya tekun dan puasa. Hanya saja, sang perempuan itu juga mengalami kebingungan, bahkan juga sahabat saya ini, karena warid-warid yang datang tidak berhenti, dan mengubah-ubah jenis dzikir.

Dalam soal seperti ini, orang yang tidak memiliki riwayat sakit di dalam tubuhnya, akan lebih mudah menghadapi kasus seperti ini, daripada, mereka yang punya riwayat sakit, sebab dia akan memiliki dua hal: menahan sakit yang dideritanya dan harus menghadapi warid-warid itu. Lalu, karena warid-warid itu terus menerus datang, dia sendiri mengalami kebingungan, dan bertanya dalam hatinya: apakah ini syaithoni atau Ilahi.

Dalam soal yang demikian, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, pernah ditanya yang diriwayatkan dalam kitab Bahjatul Asror, pad bagian “Wa Su’ila `an Shifati Mawârid al-Ilâhiyah wath Thowariqisy Syaithoniyah, yang disusun Syaikh Ali bin Yusuf as-Satanufi (versi ditahqiq Dr. Kamaluddin Falih al-Kailani, 2013). Syaikh Abdul Qodir menjawab demikian:

“Warid-warid Ilahi tidak datang karena diminta dengan doa, dan tidak pergi karena sebab, dan tidak datang melalui gerakan yang satu satu, dan tidak datang di dalam waktu yang khusus, dan warid syathoni datang dengan berbeda dari itu, dalam kebiasaannya” (hlm. 138).

“Tidak datang karena diminta dengan doa”, artinya adalah warid itu datang bukan dengan sebab doa yang dipanjatkan, akan tetapi juga tidak bisa dibatasi dengan sebab tidak berdoa. Doa bukan menjadi sebab datangnya warid, tetapi warid juga bisa datang setelah berdoa, tetapi bukan karena sebab doanya. Warid datang, sesuai dengan kehendak-Nya, setelah berdoa ataupun tidak berdoa. Semua bisa saja terjadi.

“Dan tidak pergi karena sebab”, adalah warid yang ada itu tidak dapat diusir, dihilangkan, dengan sebab-sebab, dan di antara sebab itu adalah wirid-wirid. Dzikir-dzikir sekalipun tidak bisa menghilangkan warid itu. Sementara jalan warid syaithoni dapat dikalahkan dengan wirid-wirid tertentu; jin yang datang dapat dikalahkan dengan wirid-wirid tertentu. Perginya warid Ilahi, dengan demikian adalah sesuai dengan kehendak-Nya.

“Dan tidak datang melalui gerak yang satu”, artinya Warid Ilahi itu tidak hanya datang dibatasi melalui gerak tertentu, misalnya dalam sholat saja, meskipun sholat disebut mi’rojul mu’min, tetapi dalam semua gerakan, sesuai dengan kehendak-Nya.

“Dan tidak datang di dalam waktu yang khusus,” artinya warid Ilahi tidak dibatasi hanya datang pada waktu tertentu, misalnya pertengahan malam terakhir, atau setelah shubuh, sebaliknya ia datang kapan saja yang dikehendaki-Nya.
Dalam penjelasan yang lain, Syaikh Abdul Qodir juga mengungkapkan di dalam kitab Futuhul Ghoib pada makalah ke-10, demikian:

“Bagi Alloh itu hal biasa untuk mengulang ilham itu, atau untuk membuka suatu tanda yang dibukakan bagi para Ahli Alloh, yaitu tanda yang hanya bisa dipahami oleh para Auliyâ’ yang bijaksana dan para Abdal. Janganlah terburu-buru mengerjakan perkara-perkara itu, karena kamu tidak mengetahui akibat dan tujuannya. Dan kamu tidak mengetahui ujian dan jalan yang merusak atau menguji kamu.”

“Bila engkau mendapati larangan dari Al Qur'an dan Sunnah Rasul tentang yang terlintas pada benakmu dan yang kau terima melalui ilham, maka engkau harus menjauhi gagasan dan ilham semacam itu. Yaqinilah bahawa gagasan dan ilham itu berasal dari setan yang terlaknat. Dan jika Kitab Allah dan Sunnah Rasul membolehkan gagasan dan ilham itu, semisal pemenuhan keinginan-keinginan yang dibolehkan hukum, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, dan lain-lain, maka jauhilah pula gagasan dan ilham itu, jangan menerimanya. Ketahuilah, hal itu merupakan dorongan nafsu hewaniyah, karananya, tentanglah dan musuhilah hal itu.”

“Bila engkau mendapati tiadanya larangan atau pembolehan di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tentang yang engkau terima, dan engkau tidak mengerti, semisal engkau diminta pergi ke tempat tertentu, atau menemui seseorang sholeh, padahal melalui kurnia ilmu dan pencerahan dari Allah kepadamu, engkau tidak perlu pergi ke tempat itu; atau tidak perlu menemui orang sholeh itu, maka bersabarlah. Jangan dulu melakukan sesuatu, dan bertanyalah kepada dirimu sendiri (dengan akal):

“Benarkah ini ilham dari Allah dan mesti aku laksanakan?” Adalah biasa bagi Allah, mengulang-ulang ilham semacam itu, dan memerintahkanmu untuk segera berupaya atau menyibakkan isyarat semacam itu bagi para ahli hikmah, suatu isyarat yang hanya bisa dimengerti oleh para wali yang arif dan para Abdal yang teguh. Kerana itu, engkau tidak harus segera berbuat, sebab engkau tidak tahu akibat dan tujuan akhir urusan, cobaan, bahaya, dan sesuatu rancangan ghaib dari-Nya.”

Maka, yang lebih mashlahah, bagi yang tidak memiliki guru, menurut yang pernah kami dengar dari seorang guru adalah terus istiqomah berdzikir sholawat, beristighfar, menambah ilmu, dan tetap beraktivitas seperlunya, sambil belajar memverivikasi warid-warid itu, melalui pertimbangan perintah dan larangan Kanjeng Nabi, dan menggunakan akal untuk tidak terlalu larut dalam alam itu, yaitu dengan terus berdzikir ke mana saja, dan di mana saja melalui sholawat.

Dari saudut ini, warid Ilahi itu, merupakan ujian yang diberikan Alloh, untuk mentarbiyah seseorang, agar yaqin adanya Rububiyah-Nya, agar tetap istiqomah dalam dzikir, dan amal-amalnya; juga agar dia menjadi ikhlas, setahap demi setahap, sampai mengistiqomahi sebuah dzikir tertentu, dan dalam kasus cerita di atas adalah dzikir sholawat.

Bahkan Syaikh Abdul Qodir menyebutkan dalam Risalatu fil Asma’ al-Azhimah, ada saatnya di mana setelah disiplin lama, ada yang masuk ke fase “hairat”, kebingungan-kebingungan, juga masuk fase tidak adanya warid sama sekali, bahkan ketika sebelumnya sudah setiap hari memperoleh warid. Ini pun juga ujian, yang diberikan Alloh dalam ubudiyahnya, apakah dia sanggup menjalani ubudiyah dengan ikhlas, atau karena hanya ingin mendapatkan warid.

Ketika warid tidak datang, dia diuji untuk istiqomah dalam ubudyah dan keikhlasannya.
Sementara, cerita sahabat saya tadi, karena perempuan tadi, memang tidak memiliki guru sebelumnya, tetapi memperoleh warid-warid karena Alloh melihat disiplinnya selama ini dalam sabar, faridhoh dan nawafil, maka warid-warid itu adalah ganjaran yang diberikan Alloh, karena kecintaan Alloh kepada-Nya.

Menurut salah seorang guru yang saya dengar, “fase-fase kebingungan adalah biasa dan selalu dilalui, bahkan oleh mereka yang ahli di bidang seperti ini sekalipun.”
Kalau dia tidak ditunjukkan kepada seorang guru dan tarekat dalam waridnya yang bertubi-tubi, maka warid untuk melanggengkan sholawat, sudah sangat mencukupi. Sebab warid yang memutar-mutarkan dirinya untuk dzikir dan mengubah-ubah dzikir, tujuannya agar dia yaqin dan teguh dalam dzikir yang diistiqomahi, dan biasanya kalau tidak memiliki ijazah dari guru, dalam situasi seperti itu, dia dirundung keraguan; dan kalau sudah ragu dengan wiridnya, sehingga berhenti wirid, akan membahayakan dirinya, karena dia sudah menentang nafsunya, maka nafsu melawannya dan dibawa ke sana ke mari tanpa wirid. Kalau sudah tidak berwirid, apa saja yang dia sanggup akan bahaya dan merusak.

Sementara dengan wirid sholawat, dalam keadaan seperti itu, adalah amalan yang langsung dibalas Kanjeng Nabi Muhammad, dan dinash Al-Qur’an dan banyak hadits. Dalam ilmu fase nafs, yang diajarkan Syaikh Abdul Qodir melalui Risalatun fil Asma’ al-Azhimah, memang ada fase di mana menentang Nafs Lawwamah akan terhubung dengan Alam Barzakh, dan hasilnya akan mendapatkan thoriqoh. Yaitu bertemu dengan guru wirid dan mengambil ijazah wirid tarekat, lalu mulazamah.

Kalau tidak sampai bertemu tarekat, dalam pengertian itu, tetapi berhenti dalam mulazamah sholawat dan istighfar, sudah mencukupi. Dan bersholawat secara istiqomah adalah termasuk bertarekat melalui jalan dzikir sholawat, meskipun jalan sebelumnya adalah muter-muter.

Wallohu a'lam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar