Oleh: Nur Kholik Ridwan

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, dalam ar-Risalah al-Ghoutsiyah menyebutkan bahwa: “Wahai Tuhanku, sholat seperti apa yang paling dekat kepada-Mu” Dia berkata: Sholat yang didalamnya tiada apa pun kecuali Aku, dan orang yang menjalankan lenyap dari sholatnya dan tenggelam karenanya.”

Sholat merupakan sarana yang sangat penting untuk memverivikasi kalam-kalam batin menjadi bersih, sehingga Syaikh Abdul Qodir dalam kitab al-Gunyah menyebutkan amal-amal sholat ini secara rinci. Para penempuh di jalan Alloh menjadikan sholat ini sarana yang bersih untuk masuk ke dalam keintiman-keintiman, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an wasta`inu bish shobri wash sholah.

Mereka yang sudah bisa pada tahap demikian, bukan orang yang sibuk dengan makna-makna setiap huruf dalam sholat. Karena ini hampir mustahil setiap huruf dan kalimat sang musholli mengerti makna sholat itu. Pada awalnya, kami mengira bahwa sholat yang terbaik untuk di lakukan, adalah dengan mencermati setiap makna dalam sholat. Tetapi, akhirnya ini difahami sebagai tahapan, tahapan mengerti makna-makna dari lafal lafal, dan disibukkan dengan makna-makna.

Apa yang disebut Syaikh Abdul Qodir itu, ternyata orang yang demikian adalah orang yang telah lenyap dan tenggelam bersama sholatnya. Orang yang demikian adalah orang yang dengan sholatnya tenggelam bersama kehadiran-kehadiran hati bersama-Nya. Orang yang tenggelam itu termasuk mereka yang tenggalam dari makna-makna huruf-huruf dan kalimat, menuju pada kehadiran-kehadiran. Makna-makna dan huruf dari lafal-lafal yang dilafalkan adalah tahapan untuk sampai pada ketenggelaman ini.

Kehadiran-kehadiran hati, adalah hati dan cermin ruhnya menjadi wadah kehadiran-kehadiran
masuk ke dalam Alam Syahadah, dan terus masuk ke dalam ketenggelaman bersama-Nya. Hal ini, dijelaskan Syaikh dalam Tafsir al-Jilani, sebagai shalatnya orang yang telah masuk ke dalam Alam Syahadah. Syaikh mengatakan dalam paragraf terakhir ketika menafsirkan surat al-Fatihah (jilid I: 66), demikian:

Maka bagimu, hendaklah engkau sholat menurut arah yang dikatakan, sehingga sholatmu itu menjadi mi’roj kepada dzarwat Adz-Dzat al-Ahadiyah dan mirqoh ke langit as-sarmadiyah, sebagai pembuka bagi orang-orang yang mengalami kesedihan abadi azali, dan itu tidak akan terjadi kecuali setelah mengalami “al-mautul irodi” dari tuntutan sifat-sifat basyariyah, dan berakhlak dengan akhlak yang diridhoi dan perbuatan-perbuatan yang baik. Dan tidak akan berhasil bagimu kecenderungan ini kecuali setelah melakukan uzlah, lari dari manusia sadar dari ghoflah-ghoflah, dan memutus dari mereka, dari waswas mereka, dan kebiasan-lebiasaan mereka, dan bila ini tidak dilakukan, maka tabiat itu menjadi sebagai sariqoh, dan sakit-sakit menjadi sebagai sariyah, dan nufus atau nafsu-nafsu menjadi sebagai amiroh bagi hawa yang condong dari Al-Maula. Semoga Alloh Menjaga kita dari kejelekan-kejelekannya, dan mengikhlaskan kita dari ghurur-ghurur “biminahi wujudihi”.

Oleh karena itu, para penempuh di jalan Alloh yang mengalami Alam Syahadah atau masuk ke
dalamnya, menutut dalam dirinya mampu menjadikan sholat sebagai wasilah kehadiran-
kehadiran hati yang bersih. Ini berbeda dengan mereka yang mendefinisikan dengan istilah sholat daim, dimana kehadiran hati itu dimana saja ketika berada. Maka yang yang dimaskud Syaikh tentang sholat di sini, adalah medium “yunaji robbahu”, karena inilah cara yang diletakkan Alloh melalui lisan dan praktik Kanjeng Nabi, yaitu sholat.

Akan tetapi untuk sampai ke situ, Syaikh menggariskan dengan jelas, ketika orang telah
mengalami “al-mautul irodi” (kematian-kematian kehendak, yang dalam tasawuf ada beberapa
jalan) dan masuk ke dalam Alam Syahadah. Setelah adanya al-mautul irodi dan masuk ke Alam
Syahadah, orang menjadi sadar arti pentingnya untuk uzlah dan tahapan tajrid meninggalkan manusia dari sudut al-ghoflah, berakhlak dengan akhlak yang baik, dan berperilaku yang baik.

Sholat yang demikian itu, pertama-tama difahami menjadi sarana untuk bisa memverifikasi kalam-kalam menjadi jernih dalam kehadiran-kehadiran hati, akan tetapi pada perkembangan berikutnya, itu adalah menjadi adab bagi seorang yang telah masuk Alam Syahadah, dan ingin meneruskan perjalanannya. Bahkan ketika sudah sampai sekalipun, adab-adab yang demikian tetap dijaga. Maka dari sini, dapatlah difahami kenapa Kanjeng Nabi Muhammad, yang sudah mencapai puncak spiritual itu, tetap menjalankan sholat yang panjang.

Syaikh sendiri memberikan beberapa terapi sholat untuk keperluan-keperluan dan penjagaan,
karena melakukan perjalanan bagi para penempuh di jalan Alloh adalah selalu menghadapi berbagai rintangan, dari setan (manusia dan jin), dari nafs, khoyal, ingatan masa lalu, dan dari perbuatan-perbuatan al-ghoflah dan al-farototh. Oleh karena itu memohon dan berhajat untuk diselamatkan Alloh dalam setiap ahwal dan maqomat, sangat perlu, diungkapkan melalui sholat hajat.

Dan untuk ini, para penempuh di jalan Alloh, memohon kepada Alloh bukan hanya dzikir dan munajat melalui sholat daim (istilah yang sering digunakan untuk mengungkapkan sembah dalam semua tingkah laku lahir batin melalui kehadiran-kehadiran hati), tetapi melalui adab dengan sholat itu dia mengemukakan hajatnya, baik itu hajat-hajat keselamatan, mendapat ilmu yang bermanfaat, penjagaan dari berbagai gangguan, dan lain-lain.

Pada tahap untuk memasuki hal demikian, awalnya juga melewati permohonan melalui sholat daim dalam semua tingkah kehidupan, tetapi kemudian disadari adab-adab memohon dan mengungkapkan hajat dan penjagaan. Alloh telah meletakkan itu dalam sholat, sebagaimana Kanjeng Nabi melakukan itu, dan disebut oleh hadits sebagai medium “yunaji robbahu”, dan itu diperuntukkan dengan amalan sholat.

Maka selain ada hizi-hizib dan wirid-wirid penjagaan, orang yang demikian harus mengerti adab-adabnya dengan mengemukakannya melalui sholat hajat ataupun sholat hajat yang dikhususkan untuk penjagaan.

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani merekomendasikan amalan sholat hajat berdasarkan riwayat sahabat Anas bin Malik. Setiap rekaatnya, setelah selesai membaca al-Fatihah, adalah membaca surat Qulhu 10 x, pada rekaat kedua surat Qulhu 20 x, pada rekaat ketiga surat Qulhu 30 x, dan pada rekaat keempat surat Qulhu 40 x.

Syaikh mengatakan dengan tandas: “Inilah sebenarnya yang disebut dengan sholat hajat.”

Sedangkan sholat hajat yangt biasa, Syaikh juga mengemukakan berdasarkan riwayat dari sahabat Anas bin Malik, dilakukan dengan 2 rekaat, pada rekaat pertama setelah surat al-Fatihah membaca “Ayat Kursi” dan pada rekaat kedua membaca “Amana Rosulu”.

Sedangkan sholat yang untuk dimaksudkan sebagai penjagaan, Syaikh merekomendasikan sholat melalui sholat kifayah (sholat hajat yang dimaksudkan secara khusus untuk penjagaan) dengan dua reakaat: pada rekaat pertama, setelah membaca surat al-Fatihah membaca surat Qulhu 10 x, lalu membaca “fasayakfikahumulloh wa Huwas Sami`ul Alim” 50 x, dan setelah salam kemudian berdoa.

Jadi, hal demikian itu tidak akan bisa terlaksana dan membuahkan hasil, tanpa kesungguhan para penempuh di jalan Alloh, untuk bisa sabar, lalu menjadi shobbar (dengan kesabaran yang sangat) dengan melakukan amal sholat, sebab perjalanan para penempuh di jalan Alloh mengharuskan melewati tahapan-tahapan, dan rintangan-rintangan. Dan Syaikh menadaskan dalam Ar-Risalah al-Ghoutsiyah begini: “Karena bila tidak bersabar, berarti engkau hanya bermain-main belaka.”

Kesabaran itu kemudian mewujud dalam istiqomah menjadikan sholat sebagai sarana memohon dan kehadiran-kehadiran hati bersama-Nya; dan pada tahap keluarnya adalah berakhlak mulia dan berkata yang baik, awas terhadap al-ghoflah (hal-hal yang melupakan kepada Alloh) dan al-farothot (hal-hal sia-sia). Wallohu a’lam.
Bagikan :

Tambahkan Komentar