Ilustrasi
Oleh: Nur Khalik Ridwan

Kanjeng Nabi Muhammad dalam hadits-hadits yang shohih (sebagian telah saya kutip sebelum ini), menyebutkan bahwa kalimat tahlil itu (atau yang jug disebut dengan kalimat tauhid), diperintahkan untuk dilafadzkan, dan didzikirkan. Dzikir lisan menggunakan kalimat tahlil; dzikir batin dengan muroqobah atas maknanya dalam kehidupan kita; dzikir aqal adalah bertafakkur, kemudian bertadabbur atasnya, melalui dalail ayat Al-Qur’an ataupun ayat kauniyah.

Kaum santri sering menggunakan kalimat di atas dengan sebutan “kalimat tahlil”, dari kata hallala yuhallilu tahlilan, yaitu membaca kalimat la ilaha illalloh. Sementara kalau menyebut kalimat tauhid, itu menegaskan kalimat yang menegaskan tauhid, untuk mengesakan Alloh. Dalam pengertian ini, kalimat hasbunalloh wani’mal wakil itu juga bermakna kalimat tauhid; kalimat hauqolah berbunyi lahaula wala quwwata illa billah juga kalimat tauhid; qul Huwallohu Ahad, juga kalimat tauhid; Dzikir “Huwalloh” juga kalimat tauhid. Dzikir “Alloh-Alloh-Alloh” juga kalimat tauhid. Dzikir Huwa juga kalimat tauhid; dan lain-lain.

Jadi, kalau kalimat yang diandaikan mengandung tauhid itu hanya lailaha illalloh saja, itu tidak tepat. Oleh karena luasnya cakupan kalimat tauhid, saya mengikuti guru-guru yang menyebut kalimat tahlil untuk la ilaha illalloh, dan hauqolah untuk la haula wala quwwata illa billah.

Hal ini mebawa pengertian bahwa makna kalimat tauhid itu, pada maknanya dan haqiqinya, dijalani dalam hidup: Tidak ada kekuatan sejati kecuali kekuatan Alloh; tanda yang member hidup sejati kecuali Yang member Hidup; tidak ada yang menjadi tempat bergantung sejati kecuali Alloh; dan lain-lain. Ia mengandung pengertian Huwalloh, sebagai Al-Ma’bud (Dzat yang disembah), Al-Maqshud (Dzat yang dituju); Al-Mahbub (Dzat yang dicinta); dan “lau maujuda illalloh”, tidak ada yang ada di dalam semesta ini kecuali “Alloh”. Yang selain-Nya dihidupkan oleh-Nya dengan kepengaturan-Nya dan kekuasaan-Nya, akan hancur dan kembali kepada-Nya, yang hidup dalam kerajaan Semesta. Sementara kerajaan semesta itu disebut dengan “biyadihil mulku”, ada dalam kekuasaan-Nya, dalam kepengaturan-Nya, dan tadbirot-Nya.

Kesadaran itu membawa pada makna “Illalloh”: hanya Alloh yang Ada dengan kekuasaan-Nya. Manusia, makhluk, bumi dan dunia ini hanya satu dari makhluk-makhluknya (yang tidak dikenali semua oleh manusia lebih banyak). Makanya, Dia Maha Kuasa dan Mengatur,yang memperkenalkan kepada makhluk melalui Asma (nama-nama) dan shifat-shifat, dengan ayat-ayat-Nya (kitab suci dan kauniyah). Orang santri, mengerti bahwa, kalau Alloh sudah berkehendak, memudharatkan atau membaikkan, maka tidak ada yang bisa menolak. Semua mkakhluknya pun bertasbih, kecuali sebagian jin dan sebagian manusia, sabbaha lillahi ma fissamawati wal ardh.

Oleh karena itu, orang santri, menjalankan perintah-Nya yang disebut ibadah, dan takdirnya sebagai kholifah untuk mengurus bumi; dan menjalani ini semua dalam hidup adalah perjalanan menuju-Nya. Kekuasaan-Nya tidak bisa dilingkupi oleh bendera, atau bahkan oleh lukisan-lukisan kaos tentang kalimat tahlil itu. Kekuasaan-Nya mencakup kekuasaan untuk merendahkan dan menghancurkan; sekaligus kekuasaan mengguyur kasih sayang, kelembutan, dan pemberian-pemberian nikmat, minal abad ilal azal.

Pengetahuan itu, membawa pengertian bahwa, kekuasan-Nya itu mutlak, yang diberikan melalui pengaturan-pengaturan, melalui ketentuan-ketentuan, kadar-kadar tertentu, juga hukum-hukum, yang kemudian oleh para sufi dirumuskan al-Marotib ar-Rububiyah. Dengan demikian, Alloh menyapa manusia dengan redaksi-redaksi “la`allakum yatafakkarun”, “afala ta’qilun”, “liyaddabaru”, “liyatadzakkru”, agar mengenal inti kepengeturan Alloh terhadap semesta. Karenanya pula, kasih saying-Nya itu mutlak, diberikan kepada kaum muslim dan kepada selain mereka; mukmin yang tulus atau yang tidak sekaligus. Demikian pula hukumannya.

Karena kekuasaan-Nya yang mutlak itu, Alloh menjadikan apa yang ada disekitar manusia itu sebagai tanda-tanda: tanda untuk meperingatkan, merenungkan, dan tanda mengenal-Nya. Makanya bagi santri, menjadi baik, memiliki ahwal yang baik, memiliki akhlak yang baik, itu disamping diusahakan, dan proses orang beragama untuk aslah tsummah ashlah, juga diminta melalui istirham (memohon kasih sayang), isti`an (memohon bantuan), istighfar (memohon ampunan).

Maka cara terbaik merealisasi kalimat tahlil itu, mendekati-Nya melalui dzikir; memuroqobahinya melalui makna-makna batin; dan mentadabburi dengan aqal atas ayat-ayatnya. Istighotsah dalam kumpulan jamaah, mengiba kepada Alloh adalah karunia besar, karena tidak semua muslim mengerti dan mau melakukan itu.

Sementara menjadikan kalimat tahlil dengan menulisnya dalam bendera, untuk mengancam dan menimbulkan kesusahan orang Islam lain adalah munkarot; untuk tujuan-tujuan politik mengorbankan keamanan ketentaraman umat Islam adalah mafsadat; digunakan untuk menjadi simbol mengganti bendera nasional tidak melalui musyawarah umat dan wakil-wakilnya dan untuk gerakan memecah belah negara yang diakui umat Islam adalah bagian tindakan bughot.

Kecuali bisa dijamin bendera dengan kalimat tahlil itu, tidak ada perendahan di dalamnya dalam praktiknya: tidak akan diduduki, tidak akan diseret-seret dalam becek-becek tanah; tidak digunakan untuk membunuh sesama muslimin; tidak digunakan untuk gagah-gagahan, mengejek orang lain yang tidak memakai itu; dan tidak untuk simbol mengganti Negara yang telah disepakati mayoritas kaum muslimin.

Bendera seperti itu di Suriah dan Iraq, telah memberi pelajaran kepada kita, untuk membunuhi sesama kaum muslimin, harusnya menjadi “ibrotun li ulil albab”. Kalau tidak bisa dijamin soal ini dalam praktik di kalangan anggota masyarakat ketika kalimat tahlil dicetak dalam hal bendera, atau yang lain, maka itu jelas menempatkan sesuatu kalimat agung pada tempat dan maqom yang merendahkan.

Maka, mendzikirkannya, menjadikan maknanya untuk muroqobah, dan tafakkur-tadabbur, sungguh
akan lebih membekas; akan menjangkau makna haqiqi beragama. Alloh sering mengingatkan kita dalam Al-Qur’an dengan “la’ayat li ulil albab” dan “wadzikro li ulil albab”, agar senantiasa seorang mukmin melakukan muhasabah. Kejadian akhir-akhir ini, telah mengingatkan kita, betapa kalimat tahlil itu sendiri, berbeda dengan bendera yang memuat kalimat itu. Wallohu ‘lam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar