Ilustrasi Facebook
Oleh Abdulloh Faizin

Pemikiran tekstual adalah meyakini dzahirnya nash ayat dan hadist atau berfikir hatfiah/teks saja tanpa mempertimbangka makna lain yang sesuai dengan dengan kebenaran maksud nash teresbut, dampak tentang pemikiran tekstual yakni dalam beberapa kasus sangat berbahaya memunculka radikalisme berfikir yang fatal, dimensi tataran yang dihasilkannya antara lain :

*Dalam tataran fiqih*
Sejatinya hukum dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia bukan untuk mempeesulit tak terkecuali hukum Islam yang hanya bersumber dari Qur, an dan sunah seperti yang digemborkan oleh kaum tekstual Nasshiyyin, padahal ada hal kasuistis yang dalam kenyataannya solusinya belum ditemukan dalam Qur, an dan sunnah, bagaimana menemukanya?

Maka tampillah seorang Maestro fiqih Imam syafii dengan konsep selain Alquran dan Sunnah yakni Ijmak dan qiyas para Ulama untuk menemukan dan mendiskripsikan hukum secara kompleks yang jelas mampu mengangkat kensep dan prinsip Agama yakni " Kulliyatul khoms (perlindungan Agama, nyawa, keturunan, harta, dan akal" maka ulama memunculkan kontekstual untuk melepaskan keterbatasan tekstual antara lain fiqih minoritas dan fiqih mauqiyyah....

Apa yang melatar belakangi persoalan pentingnya "fiqih Minoritas" ? karena saat ini Islam sangat diminati sehinga masuk ke negara negara yang Muslinya minoritas., secara praksis kondisi tempat serta keadaan dengan muslim mayoritas beda, sehingga penting mereduksi kembali produksi hukum menjadi hukum adaptatif, tidak keluar dari koridor syariat fiqih menoritas tidak bisa djawab dengan hanya keyakinan tekstual.

Selain fiqih minoritas ada fiqih persoalan mauqiyyah yang lain untuk menjawab persoalan sekarang yang belum ditemukan di Nas Quran dan hadist, artinya tekstual yang terbatas belum mampu menjawab kontekstual yang tak terbatas, dan Ulama kita sudah mampu itu...

*Dalam tataran politik*
Sehubungan peristiwa kekinian yang berhubungan dengan bela tauhid santri cerdas akan memanai bahwa demo itu hanya berhenti di teks formal lambang ketauhidan, namun dalam hal tindakan jauh dari memulyakannya bahkan diinjak dan dilecehkan disembarang tempat ini fakta! , dan juga nilai Tauhid kelihatannya tidak sampai pada wilayah sakral, bahwa mereka lakukan hanya bertaqiyah atas nama kesucian kalimat suci itu untuk orentasi kekuasaan dan politik.

Gelegak persoalan sudah menjadi perhatian para kiyai dan Ulama kita khususnya dipesantren Nahdliyah sehingga pandangan dan sikapnya tidak kaku seperti mereka yang memainkan Islam dan kalimat Tauhid sebagai inspirasi simbol gerakan politiknya, inilah yang dimaksud gerakan tekstualis dan sangat berbahya.

Maka tidak ayal lagi para Alumni pesantren yang cerdas dikalangan Nahdliyin akan moderat dalam menyikapi persoalan serta bijaksana dalam memutuskan permasalahan tidak asal bicara mereka mengerti betul strategi sekenorio lawan padahal skenarionya memecah serta membuat gaduh negara dan merongrong NU, hingga mereka (para santri) tak hanyut dan iku kegiatan itu, namun disisi lain ada juga santri yang masih membagun kejumudan berfikir serta konservatif dalam menyikapinya sehingga ritme politiknya labil dan bahkan lebih cenderung mendukung aksi simbol mereka, mereka yang dulu anti pati dengan santri dan habaib. Tapi entahlah pemikiran sebagian santri tersebut, mereka mungkin tahu jalanya sendiri katanya, tanpa melihat konsederasi pemahaman mursyid dan pendahulunya.

Alhasil mari kita lebih banyak belajar dari Guru dan Ulama kita, karena dari belajar tersebut kita mampu memahaminya dan bijak menghadapi persoalan serta melihat keadaan sehingga mampu mempertahankan pemahamannya dan mudah membangun konesitas ibadah kepada Alloh serta hubungan sosial sesama manusia dengan baik tanpa melukainya.

Lamongan 3 Nop 2018
Bagikan :

Tambahkan Komentar