Ilustrasi Islam Institute |
Namanya adalah Habib Abu Bakar bin Hasan al-Attas az-Zabidi, bertempat di Jakarta (tepatnya di Depok). Beliau sangat dekat dengan tokoh-tokoh NU di Jakarta dan Depok, tetapi juga memiliki majlis ta’lim yang banyak diikuti orang. Jamaahnya sampai ke pelosok negeri, dan sering melakukan perjalanan untuk melayani jamaahnya itu. Akan tetapi melalui unggahan Youtube dengan judul “Habib Abu Bakar Tutup Semua Majlis Ta’limnya”, 11 Oktober 2018, Habib Abu Bakar, mengumumkan menutup semua majlisnya.
Habib Abu Bakar, menghentikan ta’limnya, dengan alasan bahwa dia bermimpi ditemui Imam Ali karromallohu wajhah, sesepuh ahlul bait dan guru para ahli tarekat di seluruh dunia Islam, yang mengambil tarekat jahr dari Imam Ali, dari Kanjeng Nabi. Dalam mimpinya itu, Imam Ali memberi isyarat dalam ta’limnya, dengan isyarat jari dengan menutup mulut.
Mimpi itu kemudian dicarikan ta’bir kepada gurunya yang ahli ta’bir mimpi. Pada intinya, beliau berkesimpulan, bahwa majlis ta’limnya perlu berhenti, dan melakukan refleksi terhadap akhlak orang-orang yang dibimbingnya. Beliau mengakui, sebagian orang yang dibimbingnya, ada yang keras-keras, sehingga beliau mengerti mimpi itu adalah bagian dari koreksi cara dakwahnya, untuk dirinya, yang meski dihadiri ribuan umat, beliau akhirnya memilih untuk menutup semua majlisnya. Sampai kapan tidak dijelaskan. Dari sudut ekonomi, beliau mengatakan rugi. Akan tetapi dari sudut perkembangan spiritual, tentu berbeda.
Kejadian ini memberikan pengertian bahwa mereka yang masih ada dalam maqam al-kasbu wal ihtiyar dalam dakwah, akan dan selalu memegang spirit “ballighu `anni walau ayat.” Dalam maqom ihtiyarinya itu pilihan itu adalah yang terbaik. Dan, usaha-usaha mengampu majlis ta’lim adalah bagian dari ini, sebagai bagian nasyrul ilmi. Akan tetapi pengampuan majlis ta’lim dan pengajaran ta’lim, tidak jarang dilakukan oleh orang melalui petunjuk, baik mimpi atau ditemui gurunya, tidak lagi dalam maqom ihtiyari, tetapi maqom at-taslim.
Mereka yang beralasan mengimplementasikan spirit “ballighu anni walaui ayat”, tetapi belum dilandasi dengan pencapaian at-taslim, akan menyusun rencana-rencana, metode-metode, dan sejenis itu. Akan tetapi mereka masih tidak lepas dihinggapi oleh lilitan nafs yang selalu dikelilingi setan, sehingga harus awas. Nafs itu kadang mendorong orang, untuk senang sekali dengan begitu banyak murid; sedang sekali didatangi banyak orang; dan mengeluarkan metode-metode di luar dari akhlaknya Kanjeng Nabi Muhammad, sehingga dalam dakwah seperti ini, digunakan untuk mencela objek dakwah, dengan kata-kata kotor bahkan kepada sesama muslim sendiri, keramahannya pun tidak bisa dirasakan. Kalau kepada non muslim saja, harus bersikap adil, maka kepada orang Islam, yang sudah muslim, lebih-lebih, hal itu harus ditunjukkan. Mencela seorang muslim dan mengeluarkan kata-kata kotor dalam dakwah, akhirnya menjadi santapan jamaah majlis untuk meningkatkan amarah, kebencian, dan dendam di tengah umat Islam. Kadang-kadang julukan yang membanggakan sebagai “singa podium”, tidak terlepas dari hal semacam itu.
Maka yang bisa mengerem, dalam keadaan seperti itu adalah, aqal yang menjadikan nilai-niali al-Qur’an dan dan petunjuk Kanjeng Nabi sebagai dalail, dalam tindakan, bukan untuk adu dalil. Dari situ digunakan menimbang yang baik, lalu memilih yang terbaik, dampak dari dakwah-dakwah yang dilakukannya, bagi pendalaman spiritual si dai sendiri; dan bagi orang lain yang didakwahi.
Lain halnya dengan mereka, yang telah ada di maqom at-taslim, dia akan sangat hati-hati dalam berdakwah, dengan ngajinya dan dampaknya bagi pengetahuan umat. Dia akan mawas diri dan terus menerus muhasabah. Maka pada mereka, tidak penting berapa banyak murid yang mengaji kepada dia, baik jumlahnya hanya 10 orang, 2 orang, atau ribuan orang. Karena dia menggembleng muridnya bukan hanya saat ngaji saja, tetapi juga melakukan riyadhoh kepada Alloh agar menjadikan murid-muridnya memiliki ilmu yang bermanfaat, melalui puasa, sholat hajat, dan sejenisnya. Semakin banyak murid akan semakin berat pula riyadhohnya. Bagi mereka, menerima petunjuk adalah yang terbaik, sebab ketika mereka menggunakan ihtiyarnya, tidak mendengarkan suara nuraninya, atau petunjuk-petunjuk yang datang kepadanya melalui mimpinya, dia akan jatuh dalam martabat ihtiyar.
Kejadian ditutupnya majlis ta’lim Habib Abu Bakar bin Hasan al-Attas, Allohu yarhamhu, juga memberi pengertian kepada kita, betapa pentingnya memilih seorang guru yang benar-benar guru; antara guru yang masih bersolek dengan ketenaran dan aksi-aksi panggung, dengan guru yang benar-benar menjadi guru. Kadang-kadang memang sulit untuk membedakan. Apalagi kalau mereka sama-sama Kyai, atau sama-sama Habib, dan sama-sama muridnya banyak.
Orang yang masih berihtiar, tidak membedakan antara guru-guru yang muridnya banyak, ataupun sedikit, tetapi disertai ketidaktahuan mereka. Husnuzhon merekalah yang mendekatkan dirinya kepada Alloh. Orang yang pada maqam taslim, tidak peduli guru muridnya banyak atau sedikit, tetapi disertai pengertian dan petunjuk-petunjuk melalui mimpi atau instruksi guru rohani yang diperoleh melalui mimpi, dalam melihat seorang guru: dia akan selalu menghormati dan menimba ilmunya. Bagi seorang guru, memang ada yang memahami dalam dakwahnya itu, diperintahkan untuk membimbing murid yang banyak, dan ada yang memang hanya membimbing sedikit sekali orang. Seorang Afrod, bahkan dalam kitab-kitab tasawuf, tidak dimandatkan memiliki murid (makssudnya mungkin murid yang banyak), tetapi mencurahkan pengetahuannya, agar bisa diambil manfaatnya oleh umat, sejauh yang dia bisa.
Karenanya, adanya murid yang banyak bagi seorang guru, juga tidak selalu identik dengan orang yang masih ada di maqom ihtiyari. Maka yang paling hati-hati adalah, bagi murid memohon petunjuk kepada Alloh agar mendapat ilmu yang manfaat, dan mendapat guru terbaik yang bisa menjadi wasilah mencerahkan qolbunya; lalu menimbang dari materi-materi dakwah sang guru kepada ummat dan citra Islam, apakah semakin berguru kepadanya, justru menjadikan Islam yang dirasakannya semakin mampu menilai kesalahan-kesalahannya atau muhasabah kepada dirinya sendiri, ataukah dengan justru menjadikan dirinya melalui Islam menjadi sarana kemarahan, dan selalu mencari-cari kesalahan orang lain. Maka guru seperti itu, pada yang terakhir, sedang menanamkan amarah, dendam dan kebencian, bagi majlis umum, suatu yang akan memperburuk nafs sang murid.
Habib Abu Bakar memberikan pelajaran kepada kita, seorang mengikuti petunjuk-petunjuk batin. Saatnya pada saat ini, bagi kita adalah memperbanyak muhasabah, mengoreksi diri sendiri. Di tengah tahun politik, hal ini menjadi penting, daripada mengumbar kemarahan, menyulut pertengkaran, dan daripada seorang dai yang membangkitkan nafs ammarah pengikutnya. Diam dan muhasabah, bukanlah berhenti dan duduk-duduk. Diam adalah mujahadah, bukan hanya memahami pergerakan alam, tahun politik, munculnya para ustadz, kyai dan habib yang mengumbar kemarahan di muka umum. Lebih dari itu, diamnya adalah mujahadah agar Nusantara rinahmatan ilahi. Wallohu a’lam.
Tambahkan Komentar