Ilustrasi |
Oleh: NUR KHOLIK RIDWAN
Dalam bebagai sejarah babad dan cerita lokal, disebutkan bahwa para pendakwah Islam di kalangan para wali itu, menampilkan Islam melalui jalan yang baik, dengan perkataan-perkataan yang baik, melalui perguruan; melalui dakwah keliling; melalui ikatan pernikahan; melalui penguatan ekonomi, melalui budaya-seni, dan lain-lain. Melalui jalan kekuasaan politik, ditempuh setelah jalan kultural itu menjadi dasar utamanya, dan kekuasaan politik hanya menjadi salah satu jalan saja. Ketika jalan kekuasaan politik hancur, tidak masalah, dan dibangun lagi melalui cara-cara yang sesuai dengan keadaannya, karena fondasi utamanya diletakkan melalui jalan kultural dan dakwah yang damai dan ramah, melalui basis-basis kultural.
Dan, jalan inilah yang ditempuh umat Islam di Nusantara sejak awal, dan diteruskan para penerusnya hingga hari ini. Dalam dakwah mereka itu, para wali menampilkan ajaran-ajaran Islam, dan tidak mengungkapkan ungkapan-ungkapan kebencian, tidak bahasa olok-olok, dan tidak mencaci maki.
Syaikh Nurjati di Gunung Amaparan Jati, seperti disebutkan dalam PWSBC menyebutkan: “Bahwa tiap-tiap orang (Islam) harus memiliki empat pokok, yaitu kebaikan budi, kemurahan hati, sopan santun-merendah diri-jangan takabur–jangan congkak; melakukan pengetahuan dengan hati-hati, jangan sampai dikatakan orang bahwa ia tidak baik dan tidak benar.” Syaikh Nurjati juga memberi pesan kepada Ki Somadullah (Walangsungsang) bahwa “Perhiasan ilmu itu adalah perbuatan secara hati-hati tidak sembarangan…” (hlm. 25-26)
Agar hati-hati itu, menurut Sunan Ampel yang juga diceritakan dalam PWSBC: “Hendaknya kita membendung hawa nafsu, karena setan selalu menggoda manusia melalui hawa nafsu. Andaikata hawa nafsu dibiarkan dipengaruhi setan, niscaya segala peraturan akan dilanggar dan akhirnya segala peraturan akan dilanggar dan manusia akan berantakan.” (hlm. 111).
Sedangkan Syaikh Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) seperti dituturkan dalam Kropak Ferrara, menyebutkan dalam wejangannya: “Jangan takabur dan berbangga diri, jangan sombong dan meremehkan orang, dan jangan mengagungkan diri karena kekuasaan dan sebab berharta” (wejangan No. 22).
Islam yang disebarkan para wali, sejak awal digariskan melalui kehati-hatian dan tidak boleh meremehkan orang, sebab sikap meremehkan dan tidak hati-hati itu bagian dari hawa nafsu yang merusak. Hati-hati dalam menyampaikan kepada orang-orang dilakukan agar yang tampak dari Islam dan pemeluk Islam adalah akhlak yang baik. Sebegitu pentingnya arti para pendakwah dalam menyebarkan Islam, lebih penting lagi adalah kalau dia berdakwah dengan ilmu yang ditampilkan atau disampaikan secara hati-hati, awas, dan tidak meremehkan orang.
Mereka menyadari bahwa Islam yang didakwahkan kepada manusia Jawa, mengharuskan upaya melalui peramuan, pemahaman, dan kearifan. Jalan damai dalam Islam kultural di Jawa ini, sejauh kita pelajari dari berbagai wejangan-wejangan dan naskah-naskah, tidak disampaikan dengan kasar, sembrono, mencaci maki dan menghina orang. Sebab, hal-hal seperti ini, bukan hanya akan menimbulkan kerugian bagi penampakan Islam, tetapi juga bagi diri mereka sendiri dan masyarakat, bahkan akibat buruk pada saat kematian.
Memang dalam berbagai wejangan itu, ditampilkan hikmah-hikmah para wali di Jawa, dan tidak menjelaskan dari sudut pengutipan riwayat dan penafsiran dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini masuk akal, mengingat saat itu yang diperlukan adalah bimbingan-bimbingan ringkas, bersifat mendasar, tanpa harus menyebut-nyebut sumbernya, sehingga mudah dicerna. Mereka menyadari bahwa soal huda, petunjuk, memberi adzab, dan menjadikan orang baik, dan buruk, semuanya adalah atas kehendak dan perkenan Alloh, dan para dai hanya menyampaikan, dan menjalankan perintah-perintah yang diperoleh melalui apa yang difahami dari bacaan-bacaan mereka, dan juga ilham-ilham yang mereka terima atau mimpi-mimpi yang mereka alami, seperti mimpi Walangsungsang bertemu Nabi Muhammad.
Al-Qur’an Melarang Mendoakan Keburukan dan Melaknat
Ketika hikmah-hikmah para wali Jawa hal itu dibaca pada saat ini, ketika ilmu-ilmu keislaman berkembang (baik secara positif dan negatif sekaligus), maka hikmah-hikmah demikian dirasa memerlukan pencarian dasar-dasarnya, di tengah gempuran retorika kembali ke Al-Qur’an dan hadits cukup kuat, dan agar generasi baru tidak kehilangan pijakan oleh retorika Islam yang disebarkan dengan simbol-simbol yang membuat gaduh, melalui bahasa-bahasa yang mencaci mak, kasar, dan melaknati orang.
Dalam hal ini, Alloh menegaskan soal urusan orang bertaubat, memberikan keburukan, dan kebaikan sekalipun, itu hanya milik Alloh; dan karenanya, Nabi Muhammad hanya bertindak sebagai penyampai, penyeru, pengajak, dan kemudian menegakkan hukum-hukumnya dengan seimbang.
Alloh berfirman dalam QS. Ali Imron ayat 128, yang berbunyi demikian:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَاِنَّهُمْ ظٰلِمُوْنَ
Artinya:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.”
Penjelasan yang lengkap soal riwayat-riwayat tentang ayat di atas disebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil-Ma’tsur (Juz III: 760-763), begini:
Melalui jalan sahabat Anas
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad, Abdu bin Humaid, Imam al-Bukhori, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Abu Ya’la, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, An-Nuhas di dalam kitab Nashikh-nya dan al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab ad-Dala’il meriwayatkan dari sahabat Anas, bahwa Nabi Muhammad telah pecah giginya yang keempat, dan wajahnya dilukai sehingga mukanya berlumuran darah, maka beliau berkata: “Bagaimana bisa suatu kaum bahagia yang berbuat demikian terhadap kaumnya yang mengajak mereka kepada Tuhannya. Maka turunlah ayat surat Ali Imron ayat 128.
Perkataan Qotadah, Ar-Robi’, dan al-Hasan
Riwayat Ibnu Jarir dari Qotadah menyebut ayat ini turun dalam kasus perang Uhud, lalu Nabi berdoa sama dengan di atas. Riwayat dari Ar-Rabi’, menyebutkan ayat di atas berkaitan denga kasus perang Uhud, yang menyebabkan giginya Nabi pecah dan wajahnya dilukai, lalu berdoa untuk memperolah huda dan dholalah, dan mendoakan kepada mereka untuk masuk surga dan neraka, maka turunlah ayat ini. Riwayat Ibnu Humaid dari al-Hasan, menyebut ayat ini berkaitan dengan perang Uhud, yang menyebabkan gigi Nabi pecah dan wajahnya dilukai, lalu berdoa untuk mereka, lalu turunlah ayat ini (yang meluruskannya).
Melalui jalan Salim
Dalam riwayat Abdurrazaq, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dari Qotadah, menceritakan bahwa Salim Maula Abi Hudzaifah yang membasuh darah Nabi Muhammad (ketika wajahnya terluka), dan Nabi kemudian berkata: “Tidaklah bahagia sebuah kaum…. sampai turunnya ayat ini.”
Melalui jalan Ibnu Umar
Pertama, diriwayatkan Imam al-Bukhori, Imam Ahmad, Imam Nasa’i, Ibnu Jarir, dan al-Baihaqi dalam kitab ad-Dala’il, dari Ibnu Umar yang berkata, Rosulullah bersabda: “Ya Alloh, laknatlah Abu Sufyan, Ya Alloh laknatlah Suhail bin Amru, Ya Alloh laknatlah Shofwan bin Umayyah, maka turunlah ayat ini…” Maka diterima taubat mereka semua.
Kedua, diriwayatkan Imam Tirmidzi dan menshahihkannya, Ibu Jarir, Ibnu Abi Hatim dari Ibu Umar berkata: “Nabi Muhammad shollallohu alai wasallam berdoa selama 4 bulan (doa tentang keburukan kepada seseorang-kaum), maka Alloh menurunkan ayat ini. Maka Alloh memberi hidayah kepada mereka untuk masuk Islam.
Ketiga, ada juga riwayat Ibnu Ishaq, an-Nuhas di dalam kitab Nashikhnya, dari Salim bin Abdullah bin Umar berkata: “Seorang laki-laki Quraisy datang kepada Nabi: Engkau mencegah dari melakukan mencaci maki, sungguh telah mencaci maki orang Arab.” Orang itu sambil membalik dan menungging sehingga terlihat kemaluannya. Maka Nabi melaknat dan mendoakannya, maka turunlah ayat ini. Kemudian laki-laki itu menjadi Islam dan baik Islamnya.
Keempat, diriwayatkan dari Ibnu Umar juga bahwa, Nabi melaknat dalam sholat fajar setelah ruku di dalam raka`at yang akhir: “Ya Alloh laknatlah fulan dan fulan”, kepada manusia dari kalangan munafiqin dan mendoakan kepada mereka, maka turunlah ayat ini.
Melalui jalan Abu Hurairah
Diriwayatkan Imam al-Bukhori, Imam Muslim, Ibu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, An-Nuhas di dalam kitab Nashikhnya, al-Baihaqi dalam Sunannya, dari Abu Hurairah rodhiyallohu `anhu berkata “bahwa Rosulullah apabila hendak mendoakan dari seseorang atau bagi seseorang, maka beliau berkata setelah membaca sami`allohu liman hamidah: “Ya Alloh Pengatur kami, selamatkanlah Khalid bin al-Walid, dan Salamah bin Hisyam, Ayasy bin Abi Rabi’ah, dan al-mustadh`afin dari orang-orang mukmin … berkata dengan jahar dalam hal itu. dan Rasulullah berkata di dalam sebagian sholatnya pada sholat fajar: “Ya Alloh laknatlah fulan dan fulan, untuk kehidupan dari kehidupan orang-orang Arab”, sampai Alloh menurunkan surat Ali Imron ayat 128. Dan di dalam lafazh yang lain, Rosulullah berdoa: “Ya Alloh laknatlah Lihyan, Ri’lan, Dzakwan, Ushaiyyah, yang telah bermaksiat kepada Alloh dan Rosulnya, kemudian sampai kepada kami (berita) bahwa beliau meninggalkan itu (annahu taraka dzalika), ketika diturunkan ayat surat Ali Imron ayat 128.
Melacak riwayat pada Shohih al-Bukhori, dalam kitab tafsirnya, tentang ayat ini, yang bersumber dari riwayat Salim dari ayahnya (hadits No. 4559) dan dari riwayat Abu Hurairah (No. 4560), demikian bunyinya:
عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: حَدَّثَنِي سَالِمٌ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنَ الْفَجْرِ يَقُولُ: (اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا). بَعْدَ مَا يَقُولُ: (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ). فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَإِنَّهُمْ ظَا
Artinya:
“Dari az-Zuhri berkata, Salim mengabarkan kepadaku, dari ayahnya, bahwa Rosulullah apabila setelah mengangkat kepalanya dari ruku di dalam rakaat akhir sholat fajar, beliau berkata: “Ya Alloh laknatlah fulan, dan fulan, dan fulan, setelah beliau membaca samillohu liman hamidah robbana walakal hamdu,” maka Alloh mewahyukan (saat itu) ayat: “Laisa laka minal amri syai’un” sampai ayat “fa’innahum zholimun” (QS. Ali Imron [3]:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ، فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ: ((سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ)). يَجْهَرُ بِذَلِكَ وَكَانَ يَقُولُ فِي بَعْضِ صَلاَتِهِ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ: ((اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا)). لأَحْيَاءٍ مِنَ الْعَرَبِ، حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ} الآيَةَ.00
Artinya:
“Dari Said bin Mutsayyab dan Abi Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairoh rodhiyallohu `anhu: “Bahwasanya Rosulullah apabila hendak mendoakan dari seseorang atau bagi seseorang, maka beliau berkata setelah membaca sami`allohu liman hamidah “Ya Alloh Pengatur kami, selamatkanlah Khalid bin al-Walid, dan Salamah bin Hisyam, dan Ayasy bin Abi Rabiah… dan Rasulullah berkata di dalam sebagian sholatnya pada sholat fajar: “Ya Alloh laknatlah fulan dan fulan, untuk kehidupan orang-orang Arab”, sampai Alloh menurunkan surat Ali Imron ayat 128.
Riwayat-riwayat di atas menyebutkan ada beberapa sebab diturunkannya ayat ini, di antaranya ada yang berhubungan dengan perang Uhud, orang-orang non Islam Quraisy, perilaku seseorang yang mencaci maki di depan Nabi, dan doa Nabi untuk melaknat orang-orang munafiqin, termasuk juga doa kepada kaum Lihyan, Ri’il, Dzakwan, dan Ushaiyyah. Semuanya, disebut sebagai sebab-sebab turunnya surat Ali Imron ayat 128, melalui jalur riwayat masing-masing.
Keterangan yang menarik dari riwayat-riwayat yang dijelaskan Imam as-Suyuthi di atas adalah perkataan:
“Tsumma balaghona annuhu taraka dzalika” (kemudian sampai riwayat kepada kami, sesungguhnya Nabi meninggalkan doa yang demikian itu).
“Fahadahumullohu lil Islam” (Alloh kemudian memberi hiayah mereka untuk masuk Islam).
“Fatiba alaihim kullahum” (maka diterima taubat mereka semuanya).
“Tsumma aslama ar-rujulu fahasuna islamuhu” (Kemudian laki-laki itu masuk Islam, maka baik Islamnya).
Berdasarkan hal ini, menjadi sangat jelas, Nabi Muhammad kemudian menghentikan untuk mendoakan kejelekan kepada orang-orang, baik kepada orang-orang yang tidak Islam atau orang munafiq. Bahkan di antara mereka kemudian ada yang masuk Islam dan disebut sebagai “baik Islamnya”; dan disebut taubatnya diterima semua; dan Alloh memberi hidayah kepada mereka.
Imam al-Mawardhi dalam tafsir an-Nukat wal `Uyun Tafsirul Mawardhi (versi Darul Kutub al-Ilmiyyah dan Mu’assasah al-Kutub ats-Tsaqofiyah, Beirut, I: 420-421) menyebutkan, ayat ini mengandung perkataan-perkataan begini:
“Salah satunya, bukanlah termasuk urusanmu (Nabi Muhammad) untuk memberi keburukan dan kebaikan mereka, dan sesungguhnya itu (kembali) kepada Alloh, untuk menerima taubatnya atau mengadzab mereka; kedua, dan bukan urusanmu apa yang engkau kehendaki kepadanya dan berbuat kepadanya dalam persoalan sahabat-sahabatmu dan perkara-perkara mereka, dan sesungguhnya hal itu (kembali) kepada Alloh apa yang diperbuat-Nya dengan kelembutan kepada mereka di dalam taubat dan perbaikan atau mengadzab dan mencelanya.”
Perkataan ini memberi pengertian yang terang bahwa berdoa untuk keburukan atau kelaknatan secara khusyu’ kepada Alloh (tidak di hadapan orang yang dihina dan tidak dihadapan publik) yang dilakukan orang yang dicintai Alloh, yaitu Nabi Muhammad, pernah dilakukan, tetapi kemudian dikoreksi oleh Alllah; juga menghina kepada kaum non-Islam Quraisy, juga dikoreksi dan ditinggalkan.
Ayat di atas juga bukti adanya wahyu yang menghendaki dakwah dan ajakan kepada Islam itu dilakukan dengan damai dan ajakan yang baik, sebab soal mengadzab, melaknat, memberikan keburukan, dan juga sebaliknya soal hidayah, kelembutan, dan penerimaan taubat yang ada dalam diri orang-orang, hanyalah milik Alloh. Mereka yang menjadikan alasan Nabi melaknat kaum Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushaiyyah, untuk melaknat orang dan mencaci orang dalam dakwah, dikatakan oleh riwayat Imam as-Suyuthi di atas: “Tsumma balaghona annuhu taraka dzalika” (kemudian sampai pada kami riwayat, bahwa Nabi meninggalkan itu) dengan diturunkannya ayat itu, yaitu surat Ali Imron ayat 128.
Riwayat soal Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushaiyyah itu, dalam Shohih Bukhori disebutkan pada hadits No. 4088, dan akan diulas tersendiri. Ini memberi pengertian bahwa dalam kasus mendoakan keburukan kepada kaum Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushaiyyah itu, dilakukan Nabi setelah dibunuhnya 70-an qurra’ kiriman Nabi di Bi'ru Maunah, yang menggetarkan umat Islam dan Nabi. Akan tetapi praktik ini telah ditinggalkan karena ada ayat surat Ali Imran yang turun, sebagaimana disebut Imam as-Suyuthi di atas.
Oleh karena itu, menjadikan alasan kasus doa keburukan kepada Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan Ushaiyyah itu, pada saat ini untuk melaknati, mencaci maki, dan sejenisnya dengan kata-kata buruk itu di hadapan banyak orang, atau dilakukan kepada orang yang tidak Islam sekalipun; atau kepada orang yang sudah beragama Islam, tidaklah tepat, dan justru menjadi tanda dari perilaku buruk yang tidak mau mengambil perilaku Nabi Muhammad sebagai teladan, dan Al-Qur’an sebagai dala’il. Wallohu a’lam.
Bersambung.
Tambahkan Komentar