Ilustrasi
Oleh M. Ishom el-Saha

Penguatan pendidikan karakter (PPK) merupakan kebijakan presiden Jokowi untuk menopang gerakan Nawacita dan Revolusi Mental. Tujuannya agar tercetak manusia pembelajar yang memiliki nilai-nilai Nawacita: religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integrasi.

PPK telah dijalankan pemerintah dalam dua tahun terakhir ini. Melalui Permendikbud no. 23 Tahun 2017, PPK telah diterjemahkan dalam program sekolah 8 jam sehari selama 5 hari alias full day school. Program sekolah 5 hari ini telah banyak menuai protes masyarakat. Keberatan masyarakat didasari alasan, bahwa program sekolah 5 hari ini berdampak pada kelangsungan pendidikan keagamaan yang diselenggarakan masyarakat.

Akibatnya program full day school tidak berjalan efektif. Sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat pada umumnya tetap melaksanakan pendidikan 6 hari. Alasannya: ruang kelas terbatas, pendidikan keagamaan tergerus, tidak semua guru tersertifikasi, dll. Praktis hanya sekolah negeri yang konsisten menerapkan program full day school, sekalipun banyak penentangan dari wali murid.

Jujur, menerapkan full day school di Indonesia dengan meniru model pendidikan di luar negeri --yang semuanya dikelola negara- tak semudah dibayangkan. Jika PPK dipahami sebagai upaya membentuk secara formal kepribadian warga negara; maka bukan saja di batas kemampuan pemerintah tetapi juga menghilangkan spirit pendidikan itu sendiri.

Di negara-negara industri yang menerapkan full day school tujuannya adalah merekayasa masyarakat. Ada kepentingan lain, seperti rekayasa lalu lintas, disiplin kerja, pariwisata, dsb; yang tanpa disadari telah mengorbankan dunia pendidikan. Bandingkan dengan penduduk Indonesia: seberapa besar yang terserap di dunia industri?

Masyarakat Indonesia lebih banyak bergelut di sektor informal dan pertanian. Tak jadi soal mereka hidup dengan tingkat kesejahteraan yang pas-pasan sebab terpenting bagi mereka ialah hidup bergotong-royong dan kekeluargaan.

Sehari-hari anak-anak usia sekolah juga terlibat membantu orangtuanya agar kelak dapat hidup mandiri. Tapi dengan full day school yang formalistik itu, anak-anak hanya mendapatkan pengetahuan dari buku: dan minim praktek langsung. Setiap tahun bertambah tingkat pendidikan masyarakat hanya saja tak segaris lurus dengan ketrampilan anak.

Ironisnya lagi relegiusitas yang diharapkan tertanam melalui full day school jauh dari harapan. Anak-anak belajar agama pun bersifat formalistik untuk kepentingan pencitraan sekolah. Sekolah mengadakan program tahfizd, istighosah sebelum masuk kelas, kerohisan dsb tapi esensinya bukan untuk membentuk karakter anak tapi lebih mengutamakan citra sekolah.

Guru agama dan guru BK adalah alat untuk mempertahankan gengsi sekolah. Mereka tidak merdeka menjadi pendidik yang seharusnya dapat menyentuh spiritualitas anak didiknya. Akibatnya guru agama terjebak pada usaha mencetak profil peserta didik yang sangat formal. Padahal pendidikan agama bukan sebatas mewujudkan performa insan beragama, tapi yang lebih penting adalah kesadaran bertuhan dan beragama.

Performa insan beragama laksana pohon rimbun sesuai keinginan penanamnya: makanya tampak eksklusif. Sementara manusia yang memiliki kesadaran bertuhan dan beragama ibarat buah yang tidak hanya dinikmati pemiliknya tapi juga orang lain yang ingin merasakannya. Mereka cenderung berpikir dan bersikap inklusif.

Model pendidikan agama yang dirancang untuk memperkuat kesadaran bertuhan dan beragama sudah dipraktekkan lama di madrasah, Diniyah, pesantren, mushalla dan masjid. Tak ada yang meragukan jebolan lembaga pendidikan agama itu sebab jaminan mutu dan inklusivitas lulusannya telah mendapatkan pengakuan masyarakat. Jika demikian, kenapa ingin coba-coba yang lain? Bukankah lebih baik yang sudah ada diperkuat dan diberdayakan?

Kementerian Agama semestinya mengambil alih PPK. Khususnya yang berhubungan dengan cita-cita mewujudkan generasi muda yang berkepribadian religius dan bersikap inklusif. Sebab ini domain Kemenag.
Bagikan :

Tambahkan Komentar