Oleh Ahmad Fauzi

Menyelamatkan nalar masyarakat kita sama dengan menyelamatkan masa depan bangsa.

Demi Indonesia, untuk masa depan Nusantara. Rasa cinta pada bangsa dan negara adalah salah satu alasan untuk apa kita mengada. Kita bisa hidup layak dan berdiri tegak karena bertopang di atas bumi Nusantara. Sudah sepantasnya kita menjunjung tinggi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kita telah banyak berhutang budi pada ibu pertiwi. Padamu negeri, kami berjanji. Padamu negeri, kami mengabdi.

Buku ini merupakan refleksi keberagamaan atas kondisi masyarakat kita yang sedang terjangkiti delusi ketuhanan yang berpotensi menenggelamkan nalar dan mengusir kewarasan. Nalar kolektif bangsa terancam oleh ideologi kematian yang menari-nari dalam fanatisme dan teriakan atas nama tuhan. Keberagamaan yang tidak sehat terasa membebani dan menghambat proses-proses pembangunan ekonomi-politik negara. Agama pun turun derajatnya hampir-hampir identik dengan sentimen kebencian. Enersi kita pun terkuras hanya sibuk menanggapi hal-hal konyol dan menggelikan. Jantung masyarakat harusnya berdetak dengan semangat mencinta sesama, bukannya membenci sesama anak negeri sendiri.

Akhir-akhir ini banyak kejadian dan peristiwa di Indonesia khususnya kota Jakarta yang menunjukkan bahwa kemanusiaan dan akal-sehat mudah termanipulasi oleh kekuatan ideologis yang bersembunyi dalam sesuatu yang dianggap suci dan ilahi. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sedang diuji, apakah betul keduanya adalah falsafah dan kepribadian bangsa ini. Toleransi dan penghormatan atas perbedaan seharusnya menjadi kekayaan bukan ancaman. Pilkada Jakarta tahun 2017 membuktikan kalau nalar dan rasionalitas hanyalah igauan dan mimpi mewah bagi masyarakat bawah. Kita mudah ditakut-takuti oleh sesuatu yang delusif dan manipulatif, di mana keduanya bisa mengancam kestabilan mental masyarakat kita. Kawanan serigala pecundang politik dan gerombolan singa hitam pengumpul modal betul-betul memanfaatkan doktrin dan dogma agama yang mengendap dalam alam bawah sadar masyarakat untuk dijadikan senjata ideologis demi kuasa dan kepentingan terselubung.

Nalar adalah warisan kekayaan terbesar bagi bangsa manapun yang ingin maju dan memiliki masa depan. Aset negara bukan hanya cadangan devisa, kekuatan material atau pun perekonomian yang dapat dihitung dan dikalkulasi tetapi kekuatan psikologis dalam nalar dan mental juga merupakan warisan yang tidak kalah berharganya dengan semuanya yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, menyelamatkan nalar masyarakat dari kepentingan ideologis yang berkedok agama dan ketuhanan merupakan tujuan utama penulisan buku ini.

Terimakasih penulis haturkan pada malam-malam hening dan khusyuk di desa Tambah Subur, Lampung Timur. Untuk istri tercinta dan anakku yang sedang lucu-lucunya juga menggemaskan, Karen Vimala Fauzi Wahab, kalian berdua menjadi mata dan tanganku ketika menulis buku ini. Kakakku Muhammad Fathurahman, yang telah menyentuhkan ruhku pada badai. Terimakasih sangat untuk teman-teman FB budiman yang saya berhutang budi terlalu banyak pada panjenengan sekalian, saya tidak bisa menyebutkan panjenengan satu persatu. Ibu Saminem dan Bapak Samijo, Kakeknya Ayen Pak Wahidin, Mbah Jumangin, Mbok De Sari dan Pak De Ipo, Mas Pur, Mbak Desi, Ibnu, Lek Lasio, Mas Harno, Lek Diren, Lek Galingging, Lek Sardi, Lek Sogleng, Om Yudi, Lek Sukar, Mas Gatot, Bos Maryono, Mas Nur Hudi dan seluruh sedulur-sedulur Tambah Subur, kulo ngaturaken maturnuwun sanget. Desa ini betul-betul menyediakan habitat yang sangat ideal dalam proses penulisan buku. Hijaunya dedaunan, lambaian ranting pepohonan, suara kinjeng tangis yang bersautan, bau-bauan ladang, tetesan keringat akibat kerja seharian, penampakan kulit hitam gosong karena jamahan sinar matahari dan juga tak ketinggalan, aroma teletong sapi yang menggugah semangat agar bermanfaat pada sesama dan diri, merupakan kebun magis dan kekayaan eksotis nan mengagumkan dari desa ini. Semoga kita senantiasa dalam naungan teduh partikel-partikel kebajikan alam raya dan jiwa kosmis yang membuwana.

Rahayu untuk panjenengan semua.

PENDAHULUAN

Agama yang sehat dan dinamis akan mengarahkan umatnya menuju pembangunan kebudayaan dan peradaban, bukan sekedar klaim siapa paling benar dan kafir mengkafirkan. Agama berbicara tentang rasa cinta pada kehidupan dan kemanusiaan, bukannya mengumbar ancaman kematian dan kebencian. Seharusnya kita mengada dan hidup dengan naluri menghidupi kehidupan, dan bukannya hidup dengan naluri menebar kematian. Agama yang hidup (living religion) akan menyentuhkan jiwa manusia pada semangat dan kerja keras. Memandang alam, kenyataan dunia luar dan kedalaman diri merupakan salah satu sifat dari agama yang sebenarnya. Hal ini akan membawa pada pengembangan potensi dan aktualisasi diri yang bisa menjadi fundamen mental dalam membangun kembali masyarakat dan negara. Menyemai benih rasa ingin tahu dalam benak manusia merupakan imperatif awal bagi kreatifitas dan daya cipta. Kebudayaan besar dibangun oleh imajinasi dan ilmu pengetahuan yang memproyeksikan diri hingga 100 tahun ke depan atau pun lebih. Seharusnya kita sibuk memberi dengan berpikir dan bekerja, tidak sekedar meminta dengan beribadah dan berdoa semata. Ada sesuatu yang salah dalam keberagamaan kita yang membuat dasar-dasar kehidupan masyarakat dan negara menjadi terlemahkan dan terancam musnah. Apakah itu?

Bangsa ini sedang terpuruk dalam pusaran lubang hitam kebudayaan bebal yang menghantarkan kita pada kubangan kemiskinan, kebodohan, lemah mental, fanatisme dan amuk massal, kebencian SARA, kurangnya pendidikan, korupsi berjama’ah hingga intoleransi tak berdasar. Kekayaan alam, pluralisme dan ke-Bhinnekaan seolah bukan lagi berkah yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan justeru menjadi kutukan alam yang menggiring bangsa ini menuju kepunahan.

Dalam studinya yang mengagumkan, Max Weber menyatakan ada hubungan yang sangat kuat antara keberagamaan dan kebudayaan. The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism merupakan buku klasik yang menelusuri kebudayaan dan peradaban besar Barat yang ternyata memiliki asal-usul dalam etika keagamaan. Kristen di Barat telah menunjukkan keberhasilannya sebagai kekuatan dan impuls transformatif yang menghasilkan masyarakat dan negara maju. Studi ini bisa menjadi pedoman dan analogi bagi kita bahwa perubahan atas struktur dasar masyarakat dan negara dapat dimulai dari semacam Revolusi Kebudayaan atau juga bisa disebut Revolusi Mental. Dan agama menjadi pelabuhan penting dan jantung utama dalam proses revolusioner ini. Budaya yang sakit dan lemah merefleksikan bahwa stamina keberagamaan kita juga sakit dan lemah. Civic culture atau budaya sipil yang tak sehat mengakar dalam formulasi keberagamaan yang tak sehat juga. Oleh karena itu, apabila menginginkan perubahan yang menyentuh struktur dasar masyarakat dan negara, kita harus menilai dan meninjau kembali dasar-dasar keberagamaan kita.

Meninjau kembali keberagamaan masyarakat kita dapat dimulai dari kritik atas pondasi dan fundamen agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Kritik berfungsi sebagai daya dorong agar agama terus memperbarui dan mendewasakan diri ketika berhadapan dengan kenyataan zaman yang selalu berubah. Kritik mengajak agama untuk mengubah fundamen dan formulasinya yang pada gilirannya bisa memengaruhi nilai-nilai yang mendasari masyarakat. Diharapkan, dengan adanya perubahan formulasi keagamaan, hal ini akan merembet pada pergeseran kebudayaan yang menjadi sistem nilai sentral bagi kehidupan masyarakat dan negara.
Rahayu Nusantara.

BAB I
KRISIS AGAMA PEWAHYUAN

Dari masa ke masa, alam raya terus mengembang dan memuai. Ruang demi ruang makin melebar mengikuti kehendak tanpa jeda. Dimensi waktu pun ikut melengkung. Bintang antar bintang saling berlarian. Galaksi demi galaksi berkejaran. Tepian jagad raya selalu dilampaui. Alam semesta yang maha luas saling gulung menggulung dengan dunia dalam yang tak terbatas. Tak ada ujung atau pun tengah, tumpang tindih atas dan bawah.
Dunia bukanlah tumpukan benda-benda mati tetapi organisme hidup yang di dalamnya terdapat lintas gerak pikiran yang saling memengaruhi. Partikel alam terkecil juga tak kalah misteriusnya, loncat-meloncat tak menentu, dirasuki hantu remang-remang ketidakpastian. Ceruk alam fisik yang terkecil ternyata lebih mirip dengan pikiran dari pada benda mati, bersifat acak, tak teratur dan penuh kebetulan maka sebab-akibat menjadi kabur dan sulit terjelaskan. Subyek dan obyek pun luruh garis perbatasannya. Sang pengamat ikut menentukan nasib obyek yang diamatinya. Kita hidup dalam dunia yang centang perenang penuh ketidakpastian. Dan kebebasan betul-betul eksis di jantung dunia terdalam.

Ya, kita sedang melakukan perjalanan abadi melawan keterbatasan diri. Memekarkan dan mengembangkan potensi diri. Gaya tarik gravitasi juga tidak mampu memudarkan kehendak manusia untuk bisa terbang ke langit tinggi. Kecilnya bumi tidak menyurutkan semangat manusia dengan menjadikannya sebagai titik tolak melakukan pengembaraan menuju kumpulan bintang terjauh. Alangkah menakjubkan jagad raya ini, diselubungi misteri tanpa henti. Menopang dirinya sendiri, tanpa akhir juga tanpa permulaan. Keteraturan dalam ketidakteraturan.

Negeriku Indonesia sudah lama meradang. Tercengkeram oleh kutukan sumber daya alam. Menjadi daging rebutan para serigala cerdik dan otot singa pengumpul modal. Kemakmuran negeriku dikunci oleh hukum besi oligarki dan disandera para elit yang mapan bersirkulasi. Pancasila dan ke-Bhinneka-an terus menerus dirongrong dan diserang. Nalar dan akal-budi mendapat tantangan. Kekuatan yang berlindung di bawah payung ideologi kematian bersekutu dengan status-quo dan kaum pecundang. Mereka tidak rela Indonesia dipimpin oleh lelaki kurus hitam tinggi tapi pekerja keras dan sangat rendah hati. Jakarta pun menjadi ajang pertempuran. Agama dilacurkan, SARA dan hoax bertebaran. Ancaman fisik ditonjolkan dan demonstrasi besar-besaran dipertontonkan. Akhirnya Sang Gubernur dikorbankan untuk memuaskan hasrat kegilaan dan kebencian. Akankah ketidakwarasan ini berakhir? Belum. Ini baru permulaan. Selama agama menjadi komoditas ekonomi-politik dan sentimen kebencian, Indonesia akan terus membara.

Demi Indonesia, untuk Nusantara Raya. Kita tidak boleh diam saja hanya duduk termangu melihat perubahan dimentahkan oleh kekuatan-kekuatan manipulatif yang melapuki semangat kemanusiaan dan kebudayaan bangsa. Lakukan, apa yang bisa kita lakukan, tidak peduli itu besar atau pun kecil. Kita tidak perlu berkecil hati apabila hanya bisa berbuat atau berpikir dalam skala mikro dan nampak remeh sekali. Kadang dalam hal-hal kecil dan sepele terdapat perubahan besar yang sebenarnya. Pemikiran tidak kalah penting dari perbuatan. Pemikiran menghembuskan roh dan kehidupan bagi sebuah tindakan. Mengarahkan dan menjadi nyawa bagi gerak material. Theoria dan Praxis harus menyatu menjadi landasan paradigmatis bagi perubahan menyeluruh. Kemauan dan kerja keras, imaji-kreatif dan tekun dalam pemikiran, nalar kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, kesetiaan dan komitmen seharusnya menjadi modal utama dan pandangan dunia dalam membangun kembali masyarakat dan negara. Yakinlah, masa depan sedang melambai di ujung penantian.

Dunia tidak pernah berhenti untuk bergerak. Kita mengada dengan semangat perubahan, melintasi hukum kebekuan. Bergerak itu berubah, dan diam artinya musnah. Barang siapa yang tidak siap untuk mengantisipasi perubahan, ia harus rela tergeser ke pinggiran peradaban. Perubahan telah terpatri kuat dalam hukum sejarah bahwa manusia akan abadi dengan pikiran dan tangan-kakinya yang terus bergerak tanpa henti.

Semangat zaman sedang mengumandangkan gairah purba, bahwa hidup tanpa perubahan hanya berisi kebosanan dan beban yang menghambat masa depan. Kebudayaan identik dengan gerak susul menyusul dan saling berlarian, berlomba-lomba sampai di ujung kemajuan. Peradaban berarti bergerak, berkompetisi dan berjuang. Barang siapa yang hanya malas duduk termenung, suka menikmati dan sekedar mengais-ngais keberuntungan langit tanpa mau bersusah payah melakukan gerak-pikir dan bekerja, layak dikutuk sebagai penghalang laju perubahan. Ribuan doa akan dikalahkan oleh satu visi kuat dalam pikiran dan perbuatan. Ibadah masa kini terletak dalam berpikir dan bekerja.

Gerak diri ke dunia luar telah mengenalkan manusia akan nalar dan pengalaman. Manusia melihat pengetahuan dalam terang kehendak, dan pengetahuan tersebut ada di dunia pengalaman. Kenyataan dunia luar merefleksikan pikiran yang menyejarah. Pikiran ini mengembara terus, berdialektika dan berevolusi tanpa henti demi menemukan pelabuhan aktualisasi yang dinamakan dengan peradaban atau kebudayaan. Maka, peradaban sebenarnya mengakar dalam nalar dan kehendak kuat. Kebudayaan memiliki asal-usulnya pada kehendak atau dalam bahasa Hegel dan Weber dinamakan roh dan semangat. Tubuh dunia tersusun dari tumpukan-tumpukan pikiran dan semangat. Pikiran yang didorong oleh insting dan imaji-kreatif menjadi impuls untuk merayakan peradaban dan sejarah universal.

Nalar adalah simbol kemandirian dan kedewasaan. Ia mengada tidak dengan sendirinya tanpa usaha keras dan latihan yang panjang. Ia berevolusi semenjak kita lahir, melalui masa kanak-kanak kemudian remaja dan mekar ketika kita dewasa. Nalar muncul setelah melalui proses kegerahan dalam mengekang naluri kesenangan. Semenjak kecil, kita hanya tahu bagaimana memperturutkan kesenangan semata, tanpa mau tahu dengan kenyataan di luar. Sedikit-demi sedikit, naluri kesenangan mulai berbenturan dengan kenyataan eksternal yang tidak mengizinkan pemuasan naluri secara sewenang-wenang. Akhirnya, kita harus menunggu dan mengekang naluri kesenangan kemudian mencari solusi yang tepat agar naluri tersebut tidak melanggar kenyataan di luar. Kenyataan dihadapi dengan mengorbankan dan membekukan kesenangan untuk sementara waktu. Tanpa kegerahan yang diakibatkan dari naluri yang terbekukan, nalar tidak akan hadir dalam diri manusia. Kegerahanlah yang bertanggung jawab atas perkembangan rohaniah dalam psikis manusia. Ini yang disebut dialektika kepribadian.

Menggunakan nalar berarti siap untuk meninggalkan ketergantungan. Tanpa kerja nalar, hidup kita bergantung pada kekuatan asing di luar diri kita. Menggunakan nalar adalah cara manusia mengada. Tanpa itu, kita akan dipermainkan oleh kekuatan-kekuatan asing di luar kedirian manusia itu sendiri. Beriman dan percaya terhadap sesuatu tanpa didasarkan pada akal-budinya sendiri adalah salah satu bentuk keterasingan manusia. Mereka yang tidak percaya pada akal-budi sama dengan menyerahkan kewarasan pada dogma dan takhayul yang menyesatkan. Inilah awal dari alienasi atau keterasingan manusia atas kekuatan dalam dirinya sendiri. Nalar akan membawa kita menuju otonomi dan kemandirian. Menopangkan diri pada kekuatan sendiri membedakan kita dengan manusia yang bergantung pada kekuatan dari luar. Sesuatu yang digerakkan dari luar itu tidak otentik dan tak memiliki kualitas moral. Nalar yang mekar akan membebaskan kita dari ketergantungan eksternal. Pemekaran potensi diri salah satunya ditunjukkan dengan berani berpikir sendiri, mencurigai, mempertanyakan segala sesuatu dan tidak mudah percaya dengan dogmatisme yang sering bersifat tabu untuk dipertanyakan. Anehnya, penghalang terbesar masa depan umat manusia dalam proses pengembangan nalar ternyata bersumber pada sesuatu yang sangat kita puja, yaitu agama. Hal yang sangat kita akrabi, selalu kita anggap suci, luhur dan ilahi.

Agama yang mendasarkan pada iman dan kepercayaan sering menuntut penganutnya untuk sekedar pasrah dan tunduk semata. Banyak dogma dan ritus agama yang apabila diyakini dan dijalankan dapat mengaburkan nalar dan akal-budi. Penjaga agama begitu takut apabila penganutnya berani bertafakur dan mempertanyakan alasan dari mengadanya sebuah agama. Mereka sangat khawatir apabila umatnya mulai curiga kalau alasan mengada dari sebuah agama tidak lain adalah produk kehendak untuk berkuasa para pendiri agama atau nabi-nabinya. Kecurigaan ini tentu muncul dari berfungsinya nalar dan akal-budi. Oleh karena itu, agama sering menghalangi umatnya untuk berfikir kritis atas dirinya sendiri, kalau tidak ia akan segera ditinggalkan. Banyak doktrin agama menganggap pemikiran sama artinya dengan kesombongan, bahkan pemberontakan.

Mungkinkah terpikir di benak kita, bagaimana agama bisa merayapi dan menggerogoti masa depan akal-budi, melumpuhkan kewarasan dan memandulkan nalar, memperlambat dan mengganggu proses perkembangan dan pendewasaan psikis manusia. Oleh karena itu, agama berpotensi menjadi ancaman bagi kebudayaan dan peradaban. Zaman kegelapan ditandai dengan berkuasanya agama yang takut umatnya berpikir bebas dan mempertanyakan diri. Lalu apakah sebenarnya isi agama itu sehingga dianggap melemahkan kebudayaan dan peradaban manusia?

Tesis pertama kami sebagaimana yang telah dikemukakan oleh banyak ahli adalah, dasar yang menjadi fundamen agama-agama yang dianut oleh umat manusia sejak dulu hingga kini, bukan saja rentan atas kritik tetapi juga sarat dengan unsur-unsur patologi-abnormal yang mampu melemahkan nalar dan menggerogoti kewarasan berpikir orang yang mengimaninya. Agama-agama sebenarnya mendasarkan diri pada sesuatu yang sakit, tapi ditinggikan dan diilahiahkan. Karena agama adalah penyakit yang disucikan, maka susah bagi kita untuk mengoreksinya. Yang suci dan ilahi menjadi kedok bagi penyakit tersembunyi. Jadilah semacam kombinasi ideologis yang mempesonakan sekaligus mengaburkan kesadaran. Fenomena di atas ternyata sedang menggentayangi kehidupan keberagamaan saat ini, dan tidak hanya di Indonesia saja, tetapi telah mewabah ke seluruh dunia.

Yang Suci dan Ilahi, Layak Dicurigai

Lubang Hitam Pengetahuan mulai mempersiapkan keranda mayat bagi mitos yang sangat primitif dalam sejarah umat manusia, yaitu pewahyuan. Tidak banyak yang mengetahui bahwa wahyu merupakan konsep yang mengakar pada budaya perdukunan dan kesurupan. Budaya kesurupan yang meyakini ada roh gaib yang mampu merasuki tubuh manusia sehingga ia tidak lagi bisa mengendalikan diri, seolah ada kekuatan tak nampak yang memengaruhi dan mengontrol manusia, merupakan salah satu basis penjelasan asal-usul mitologi pewahyuan yang rumit dan gelap. Namun, bukan berarti tanpa jejak dan bekas petunjuk untuk menelusurinya.

Animisme E.B. Tylor, Magi J. Frazer dan Psikoanalisa Sigmund Freud, bisa sedikit membantu kita menjelaskannya dalam perspektif psikologis dan antropologis. Suasana animistik yang menciptakan perasaan kalau seluruh benda-benda dan alam raya ini memiliki nyawa dan kehidupan adalah proses tahap awal menuju kekuatan kemahakuasaan pikiran atau waham kebesaran yang ternyata banyak dialami para nabi dalam pengalaman-pengalaman mistiknya. Waham kebesaran mengakibatkan orang yang dihinggapi merasa kalau dirinya merupakan wujud maha kuasa penuh kekuatan mitis dan magis. Alam semesta seakan berpusat pada jiwanya dan tunduk akan perintah pikirannya. Hanya dengan kehendak pikiran pasti terwujud dalam kenyataan. Karena kekuatan tersebut bersifat impersonal, maka orang yang mengalaminya merasa bingung dan berusaha mencari penjelasan berdasarkan kemampuan pengetahuan yang ada pada waktu itu. Pengalaman mistik yang centang perenang, tidak biasa, penuh keganjilan, keterasingan dan misterius ini kemudian ditafsirkan oleh orang yang mengalaminya sebagai intervensi ilahiah atau pewahyuan. Pewahyuan yang meluncur dalam bentuk penglihatan vision dan pendengaran yang menelusup ke dalam otaknya memberi perasaan menegangkan, menakutkan tapi juga sekaligus menggembirakan, (Rudolph Otto; Mysterium Tremendem et Fascinocum). Tentu bentuk pendengaran dan penglihatan pewahyuan bersifat kabur, penuh ketegangan mental yang mengakibatkan rasa sakit fisik bagi orang yang mengalaminya, mengandung aroma spekulasi dan kode-kode simbolik karena memang memiliki asal-usul pada delusi dan halusinasi yang subversif dan manipulatif. Oleh karena itu, fenomena pewahyuan sarat dengan kekacauan psikologis-akut, (Ahmad Fauzi; Agama Skizofrenia: Kegilaan, Wahyu dan Kenabian, 2012). Ini yang menyebabkan kenapa para nabi yang mengalami pewahyuan dianggap oleh masyarakat pada waktu itu sebagai pribadi abnormal, gila dan kesurupan, meskipun ada satu misteri yang menyertai kegilaan para nabi tersebut, yaitu kejeniusan. Namun, agama diperuntukkan bagi masyarakat banyak bukan sekedar menciptakan individu-manusia super eksklusif. Apakah kita tidak merasa bahwa keberagamaan yang mendasarkan diri pada wahyu di atas sebenarnya ditopangkan pada fundamen yang sangat lemah dan mengandung penyakit psikologis? Apakah kita bisa menerima kalau nilai-nilai moral (kitab suci) yang kita tinggikan dan menjadi pedoman hidup manusia ternyata berasal dan ditopangkan pada sesuatu yang sakit dan patologis (pewahyuan)? Kalau pun menyadari itu, orang-orang beriman tentu susah untuk mengakuinya.

Di hadapan kemanusiaan dan kebudayaan, wahyu sedang diadili, dibongkar kedoknya dan dipertanyakan kebenarannya. Kepentingan, hasrat dan kehendak terbukti sering bersembunyi di balik ayat-ayat wahyu yang suci dan ilahi. Dalam bahasa falsafah modern (Psikoanalisa dan Materialisme-Historis), wahyu dinamakan semacam ideologi karena ia bagaikan sayap kupu-kupu halus nan indah yang bisa memanipulasi dan mengecoh kesadaran kita. Wahyu mampu menciptakan kesadaran palsu, yaitu dalam bentuk delusi ketuhanan yang melanda tidak hanya pada pikiran masyarakat awam tetapi juga para manusia cerdik cendekiawan. Di balik wujudnya yang terang benderang penuh kebenaran, ia menyembunyikan hasrat gelap dan remang-remang. Di belakang penampakan ayat-ayatnya yang sekilas menyeru pada nilai-nilai moral, ia dirasuki nafsu kekerasan dan insting kegilaan. Ideologi sering menampilkan diri seperti kedok atau topeng yang bercitra indah. Ia memang mitos yang dijaga oleh milyaran manusia. Mendarah daging melalui proses alam bawah sadar kolektif yang emotif dan sentimentil. Ditinggikan dan disucikan bahkan dengan darah dan nyawa para martir dan syuhada. Dikelilingi oleh tabu dan pantangan yang membuatnya tidak mungkin tersentuh dan terjamah. Kebun magis yang menakjubkan lagi penuh misteri. Fundamen yang mendasari alasan mengada dari munculnya agama dan para nabi. Di sinilah iman kembali mendapat tantangan yang serius dari keragu-raguan. Apakah iman mampu memperbarui diri di hadapan perubahan kebudayaan? Mungkinkah iman mengakui bahwa dirinya bisa keliru?

Tidak ada sesuatu yang berdiri di antara kolong langit ini yang terbebas dari kritik dan asam karat sejarah. Semua wujud yang mengitari kehidupan kita, ia harus diperlakukan layaknya produk kebudayaan manusia. Ia bisa salah dan berubah. Ia dapat digugat dan dituntut di hadapan mahkamah sejarah. Para nabi yang dianggap istimewa karena bebas dari segala dosa sudah tidak lagi sesuai dengan selera peradaban modern dan tidak tahan dari uji kritik dan falsifikasi. Semua yang menganggap dirinya ilahiah dan suci layak dicurigai. Tulisan ini mengumandangkan syahadat masa depan bahwa agama yang mendasarkan dirinya pada wahyu tuhan lambat laun akan tertelan tantangan zaman.

Mungkinkah manusia fana mengajukan gugatan pada sesuatu yang abadi dan ilahi? Apakah yang duniawi layak mempertanyakan yang ukhrowi? Benarkah wahyu itu kalam tuhan yang sempurna dan berlaku sepanjang zaman? Bagaimana bisa kita mendasarkan hidup yang terus menerus mengalami perubahan pada suatu teks yang tidak mau berubah?

Adalah picik bila alam raya dan masa depan yang tak terbatas dimampatkan pada suatu tulisan primitif tapi dianggap mencakup segalanya. Nalar dan akal sehat manusia sudah habis-habisan ditakut-takuti dan dikurung oleh sesuatu yang mengklaim dirinya kebenaran transendental. Banyak manusia mencurigai bahwa wahyu tidak lain hanyalah topeng ideologis bagi hasrat untuk berkuasa para nabi dengan menopangkan diri pada kesucian dan keilahian. Wahyu tidak mungkin bebas dari kepentingan manusiawi dari para nabi. Mungkinkah nafsu birahi dan daya membunuh bersembunyi di balik ayat-ayat ilahi? Kritik terbesar di segala zaman terhadap formula wahyu tuhan yaitu, adakah unsur campur tangan manusiawi dalam perumusan ayat-ayat yang dianggap kalam tuhan?

Fajar akal-budi siap menyingsing. Manusia sudah berani untuk hidup dewasa, tanpa harus beratapkan langit kosmos yang suci. Meski tertatih-tatih penuh kesusahan, intelek manusia telah mekar dan mempesonakan zaman. Manusia disebut dewasa apabila ia ditopang oleh kediriannya yang bebas dan otonom. Ia menolak otoritas di luar dirinya yang bisa menciptakan keterasingan dan ketergantungan. Mendasarkan hidup pada kuasa wahyu adalah bentuk ketergantungan yang melemahkan intelek dan potensi alamiah manusia. Pendengaran dan penglihatan yang diatasnamakan dengan keilahian layak disebut sebagai bentuk ketidakwarasan dan kesurupan. Semangat zaman memperlihatkan terus menerus bahwa kekerasan, pembunuhan dan teror yang melawan perasaan kemanusiaan bisa muncul dari benih-benih ayat yang dianggap berasal dari tuhan. Wahyu ilahi sudah ribuan tahun merampok dan memenjarakan akal-budi ke sudut-sudut gelap penuh larangan. Kita ditahan dan terpenjara oleh keyakinan kita sendiri. Kita terasing dari diri kita yang alamiah. Manusia pun jadi susah berkembang untuk mengaktualisasikan potensi-potensi alamiahnya yang terdalam. Dosa terbesar umat manusia bukan karena ia tidak lagi beriman pada tuhan, tetapi ia yang tak lagi percaya pada akal-budinya sendiri.

Agama Kebudayaan

Apa yang bisa kita ambil dari agama untuk melembutkan dunia? Sebelumnya, apakah agama itu? Dari mana ia berasal? Benarkah agama datang dari tuhan? Apa mungkin kita beragama tanpa tuhan?

Kalau kita menggunakan kategori Clifford Geertz dalam bukunya Interpretation of Culture, maka sebetulnya agama identik dengan kebudayaan. Sesuatu yang berhubungan dengan akal-budi, daya cipta, rasa dan karsa manusia merupakan wilayah agama yang sebenarnya. Agama merupakan kumpulan dari aktualisasi diri manusia dalam sejarah. Menurut Emile Durkheim, dalam bukunya The Elementary Forms of The Religious Life, agama disebut suci bukan karena ilahi, tetapi mengandung manfaat untuk menjaga dan melestarikan masyarakat. Agama memiliki kekuatan untuk mengintegrasikan inidividu-individu melalui ikatan primordial atau pun ritus-ritus dalam sebuah komunitas. Meski tidak jarang, agama juga memecah-belah dan memicu konflik antar individu dan masyarakat. Meneguhkan individu untuk bersatu dan melibatkan diri dalam pembangunan kembali masyarakat adalah fungsi sebenarnya dari agama.

Agama yang menebar manfaat dari hasil kreativitas manusia membuatnya sakral, suci dan layak dihormati. Ia memungkinkan diri menjadi impuls transformatif bagi kebangkitan masyarakat dan negara. Sesuai dengan tesis Max Weber dalam karyanya The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Etika Calvinis bertanggung jawab bagi proses kelahiran peradaban Barat. Begitu juga dengan modernisasi di Tiongkok, Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura tidak terlepas dari akumulasi dan fermentasi Etika Konfusius, (Tu Wei Ming; 2002) dan Religi Tokugawa (Robert N. Bellah; 1998) bagi kebangkitan Jepang modern. Yang menjadi tugas kita tentunya adalah bagaimana memformulasikan agama di Indonesia menjadi kekuatan etika transformatif yang analog dengan tesis Weber di atas, dan bukannya menjadi dogma mentah dan komoditas murahan dalam proses intrik politik yang justru memecah belah kesatuan bangsa.

Agama sebagai kebudayaan itu bersifat abadi, dalam pengertian selama manusia masih mengaktualisasikan diri dan akal-budinya dalam sejarah, agama tetap ada. Agama menurut pengertian ini berisi tentang daya hidup dan bagaimana menghidupi kehidupan, bukannya tentang kematian dan kabar dunia di seberang sana yang penuh spekulasi dan memandulkan kewarasan.

Karena memiliki sumbernya dalam kehidupan masyarakat yang terus melaju bertahap sesuai perkembangan sejarah, agama tidak hanya meliputi semangat moral dan suara hati nurani manusia, tetapi juga mitos, sastra kerakyatan dan dongeng, yang menurut selera modern berlawanan dengan nalar dan akal-budi. Dalam agama, daya hidup dan semangat moral banyak bercampur dengan unsur lainnya yang membuat agama tidak lagi mengabdi demi kehidupan dan kemanusiaan. Namun melalui karakter agama yang bisa berubah dan beradaptasi, mitos dan dongeng terbuka untuk dikritik dan bisa diabaikan. Dengan mendefinisikan agama sebagai hasil aktualisasi manusia dalam sejarah, tentu ilmu pengetahuan menjadi salah satu bagian dari agama. Oleh karena itu, kumpulan manifestasi puncak dari agama adalah kebudayaan dan peradaban.

Pusat Gravitasi dari agama adalah manusia, bukan tuhan. Dewa-dewi, tuhan, malaikat, iblis dan makhluk spiritual lainnya merupakan konsep yang dihasilkan dari pemikiran manusia dalam sejarah ketika ia berinteraksi dengan alam dan sesamanya. Mereka semua hanya citraan imajiner manusia ketika mengaktualisasikan diri di hadapan sejarah. Menurut agama kebudayaan, saat memandang tuhan, manusia menemukan dirinya yang ditinggikan. Tuhan adalah cita-cita tertinggi manusia yang terlepas dari dirinya. Peristiwa keterasingan yang membuat kita menyembah hasil daya cipta kita sendiri.

Karena agama identik dengan kebudayaan, maka ia bersifat fana dan sementara, ia bisa sakit, mengandung anomali, serta tidak jarang menimbulkan konflik berdarah yang tidak sedikit bahkan menjadi sumber dan akar-akar kekerasan yang menggentayangi perdamaian dunia. Hal tersebut terjadi karena agama menopangkan diri pada sesuatu yang patologis. Patologi ini pada gilirannya diserap dan diinternalisir oleh penganutnya atau kaum beriman yang kemudian memengaruhi daya kesadaran dan akal-budi mereka. Patologi agama cenderung merusak pikiran dan menghasilkan delusi-ketuhanan yang menghalangi fungsi nalar kemanusiaan. Oleh karena itu, awal kesuksesan agama yaitu, mampu menciptakan kuman-ideologis dan kesadaran-palsu dalam benak manusia.

Atas nama renungan diri dan kejujuran yang menyakitkan, bukan hanya penganutnya saja yang bisa salah dalam memahami dan melaksanakan imperatif agama, tapi agama itu sendiri juga dapat menjadi sarang penyakit yang melumpuhkan kewarasan dan akal-budi bahkan tidak jarang berlawanan dengan asas-asas kemanusiaan dan kebudayaan. Di sinilah letak pentingnya dari kritik dan pembaruan atas agama sebagai sebuah kontinuitas-dialektis dalam sejarah pemikiran manusia.

Apakah sepenuhnya agama itu buruk dan tidak memiliki sifat baik sedikit pun? Kalau agama itu sepenuhnya buruk dan jahat, tentu ia tidak akan bertahan hingga kini, bukankah evolusi menunjukkan apabila ia tidak bermanfaat dan memiliki arti penting bagi masyarakat tentu agama akan punah sejak lama. Apa yang membuat agama bisa tetap eksis sampai sekarang meski ia tertatih-tatih diserang dan dikritik oleh ilmu pengetahuan dan akal-sehat tanpa henti? Benarkah agama akan tersapu dan tergantikan oleh ilmu pengetahuan?

Pesan utama dari agama adalah hukum moral. Yang menjadikan agama tetap hidup sampai sekarang meskipun memuat penyakit psikologis dan kegilaan, yaitu adanya hukum moral dalam agama itu sendiri. Apabila unsur-unsur patologis agama dibersihkan, maka akan nampaklah hukum moral yang sebenarnya. Yang membuat agama abadi itu bukan karena ia ciptaan yang ilahi, tetapi ada hukum moral yang merefleksikan cahaya batin dalam setiap diri manusia. Namun dalam perkembangannya di masa silam, hukum moral ini tertindih dan temaram cahayanya karena tertutup ambisi dan kuasa para nabi yang mengatasnamakan sebagai wahyu langit tinggi. Hukum moral yang penuh welas asih dan manusiawi ditundukkan oleh karakter otoritarian dari kuasa kenabian. Kenabian yang ilahi dan disucikan telah mengotori hukum moral yang alamiah dan manusiawi.

Psikoanalisa dan piranti pengetahuan lainnya telah berhasil mendiagnosa bahwa agama pewahyuan memiliki akar-akarnya yang menghunjam jauh ke dalam delusi dan kekacauan psikologis-akut serta menaun. Oleh karena itu, agama jenis ini disebut sebagai ideologi yang manipulatif. Kemajuan dan peradaban menyaratkan kita untuk meninggalkan dan melepaskan diri dari ideologi yang dapat mengaburkan kewarasan dan kesadaran akal-budi. Dibutuhkan ketabahan dan keberanian untuk dapat mengakui kalau agama yang kita peluk ternyata bagian dari patologi dan delusi-paranoid yang centang perenang. Manusia itu fana, begitu juga dengan agama.

Bagikan :

Tambahkan Komentar