Ilustrasi Tempo.co
Oleh Khamim Saifuddin

Tabayuna.com - Dalam banyak literatur sejarah tercatat bahwa penyelenggaraan pemilu paling demokratis terjadi pada tahun 1955. Sangat wajar jika dikaitkan dengan kondisi bangsa indonesia kala itu yang masih menggunakan semangat 45 sebagai amunisi politik.

Muncul adagium bahwa politik ideologi menjadi tandem pemikiran para politisi saat tampil di gelanggang meskipun benturan fisik terjadi sebagai konsekuensi logis dari permainan politik anak bangsa. Tragedi 1965 hingga 1966 menjadi contoh dari tumbal perang ideologi politik tesebut.

Tak jauh berbeda musim orde baru memperlihatkan hal yang sama walaupun dengan kontestan mini (hanya tiga kontestan). Efek domino dari perpolitikan indonesia membawa korban fisik dan psikis warga. Salah satu indikator bisa kita lihat dengan serangkaian tragedi berdarah yang menimpa simpatisan. Lebih parah lagi bangunan sosial masyarakat setempat terganggu setelah sekian lama terbangun.

Hal tersebut tak lantas menyurutkan semangat untuk membenahi sistem pemilu selanjutnya. Hingga medio 90-an masih dijumpai praktek kekerasan fisik dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi 5 tahunan tersebut. Terlepas dari peristiwa berdarah sebagai efek politik, perang urat saraf para pemilih masih tetap memegang politik ideologi sebagai cara pandang yang dinamis.

Di tahun 2004 merupakan titik awal perubahan dalam praktek pelaksanaan pemilu di indonesia. Arus perubahan praktik politik transaksional menyeruak menjadi trend baru hingga saat ini. Semangat penerapan politik ideologi seakan tergerus dengan kapitalisasi suara pemilih. Setelah hampir 2 dasawarsa era reformasi, bangsa indonesia disuguhi dengan perubahan cara pandang perpolitikan yang sangat tidak lagi mendidik.

Pemilih tak lagi ragu menjual suara hanya karena kepentingan 5 tahunan dengan meninggalkan nalar sehat sebagai fitrah manusia. Lebih parah lagi status sosial (pendidikan, jabatan dan kekayaan) tidak lagi menjadi rem penyeimbang justru sebaliknya menjadi "makelar suara" bagi sang kontestan.

Sebagai salah satu pemilih, nalar kritisku muncul dalam benak, sampai kapan budaya ini berakhir? Siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab dengan kondisi seperti ini? Berapa cost politik yang harus dikeluarkan untuk proses politik ditahun selanjutnya ketika hari ini seorang caleg DPRD Kabupaten harus menyiapkan minimal 500 juta untuk mendapat kursi? Bagaimana kemudian hasil dari produk legislasi yang ada? Hemat penulis penanaman budaya transaksional merupakan hidden agenda dari para kaum kapitalis yang sengaja bermain di ranah kebijakan makro negara dengan harapan bisa mengambil keuntungan yang besar. Bagaimana dengan anda?

Ah semoga saja "match fixing (perumpamaan dalam pertandingan bola) tidak membenamkan harkat martabat legislator dikemudian hari.
Bagikan :

Tambahkan Komentar