Oleh: Anisa Rachma Agustina
Mahasiswa Prodi PAI STAINU Temanggung

Mei 1998 adalah masa kebangkitan bagi bangsa ini, bangkit dari tidur panjang yang seolah dinina-bobokan oleh pemerintahan orde baru selama 32 tahun. Mahasiswa bersatu untuk menurunkan sang raja dari tahtanya. Tetapi beberapa dari aktivis hilang bagai ditelan bumi. Tak ditemukan hingga kini, duka yang mendalam bagi orang tua dan kerabat atas hilangnya tunas-tunas bangsa. Bukan hanya keluarga tapi seluruh rakyat Indonesia. 

Bahkan jika mereka sudah tiada jasadnya tak pernah ditemukan, mereka hanya tinggal nama dan kenangan. Mereka berpamitan menyalami tangan lembut ibu meraka, berpamitan untuk membela bangsa, bersatu, menyerukan suara tanpa ada perasaan takut dan khawatir. Dan mereka hilang. Berbagai upaya sudah dilakukan tapi nihil.

Tragedi Trisakti diawali dengan sejumlah demontrasi di berbagai kampus nasional menuntut mundurnya Presiden Soeharto akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan yang mengakibatkan harga barang melojak naik penyebabnya  juga menurunya nilai tukar rupiah pada mata uang asing. Bukan hanya mahasiswa tetapi dosen dan staf  Trisakti mengadakan demonstrasi damai dan mengibarkan bendera ½ tiang, kekompakan keluarga Trisakti yang selalu menjadi kebangaan dan kenangan.

Peristiwa ini membuktikan kekuatan mahasiswa, bersatunya mereka dapat merobohkan kerajaan orde baru. Hebat memang keberanian mereka, usut punya usut aktivis-aktivis itu diculik. 4 mahasiswa Trisakti terbunuh oleh aparat kepolisian dan tentara yang ditugaskan menghalu protes mahasiwa. Bukan hanya kerusuhan antar mahasiswa dan pemerintah kala itu, tetapi etnik tionghoa mendapat perlakuan yang kurang baik, dagangan mereka dijarah, ada yang diperkosa, sampai sebagian ada yang memutuskan untuk mengungsi keluar negeri. Sungguh miris banyak raga-raga tak berdosa menjadi keganasan dari peristiwa 1998 ini.

LSM Hak Asasi Manusia, Kontras mencatat ada 1.300 orang tewas dan ratusan perempuan diperkosa dalam kerusuhan 14-15 Mei 1998 di Jakarta, Bandung, Solo dan beberapa kota besar lainnya. (suara.com 12/05/2019). Krisis moneter yang terjadi di Indonesia, kerusuhan dan demontrasi terjadi diberbagai kota besar tetapi pusatnya di Jakarta. Tak bisa dipungkiri sejarah itu jangan sampai terulang, banyak provokator disana, sehingga para penduduk merasa tidak aman berdiri di bumi pertiwi ini.

Kejadian tersebut membuktikan bahwa sekuat-kuatnya pemerintahan orde baru bisa diruntuhkan selagi rakyat bersatu. Kecurangan, korupsi, kolusi, nepotisme dan presiden yang menjabat selama 32 tahun, masa jabatan di luar nalar, karena presiden hanya bisa menjabat dua kali periode secara berturut-turut. Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Wakil presiden saat itu, BJ Habibi diangkat menjadi presiden ketiga RI (BBC News Indonesia, 12/05/2019).

Mengenang Memori 98
Apa yang bisa dikenang dari peristiwa 1998? Bersatunya mahasiswa untuk melengserkan Presiden. Walaupun banyak kenangan buruk di era reformasi tetapi menjadi awal kebangkitan bangsa Indonesia. Peristiwa itu menyadarkan kita bahwa etnik keturunan tionghoa juga merupakan bagian dari bumi pertiwi, bagian dari Indonesia, yang harus kita hormati hak-haknya walaupun mereka termasuk minoritas di negeri ini. Saling menebar kebaikan, kasih sayang sesama umat beragama.

Sebagian korban tragedi 1998 mungkin masih banyak yang trauma, disini seharusnya pemerintah turun tangan, mengembalikan rasa percaya diri, mengirim psikolog, dan mengurusi trauma psikis para korban. Da n tentang keadilan HAM, kami mohon agar para pelaku tindakan kekerasan, aparat-aparat yang terlibat dalam peristiwa 1998 dituntaskan. Itu harapan setiap keluarga, yang anggota keluarganya hilang tanpa jejak. Mereka hanya ingin tau dimana keberadaan buah hati mereka. Masih bernafas atau sudah bersimbah darah pada peristiwa mei 1998. Semoga kasus HAM ini segera tuntas, berikan hukuman yang setimpal terhadap para pelaku pelanggaran HAM.

Jangan sampai peristiwa kerusuhan 1998 terulang kembali, kita harus menjunjung sila ke tiga dalam pancasila yaitu Persatuan Indonesi dimana indonesia harus bersatu, bukan penjajah lagi yang harus kita lawan tapi kita melawan para penebar fitnah, hoax, dan penebar kebencian, mereka yang akan merusak persatuan bangsa Indonesia yang notabenya terdiri dari berbagai suku, agama, etnik, budaya yang harus kita hormati, saling bertoleransi, menghargai.

Jadilah mahasiswa yang mampu membaur dengan masyarakat, mahasiswa yang tidak hanya membagakan gelarnya tetapi jadilah mahasiswa yang bisa jadi contoh untuk masyarakat sekitar, tunjukan kemandirian, mahasiswa yang peduli terhadap lingkungan, membela kepentingan rakyat kecil, jadilah mahasiswa yang mampu menjadi pelopor perbahan demi bangsa yang lebih baik lagi.

Bagikan :

Tambahkan Komentar