Oleh Husna Nashihin
Sekprodi PIAUD STAINU Temanggung, Mahasiswa Program Doktor Islam Nusantara Unwahas Semarang

Jagong bayi merupakan adat istiadat masyarakat Jawa yang sampai sekarang masih dilestarikan. Adat ini jika ditilik dari segi konten acara, maka tidak ada hal formal yang secara resmi dilakukan. Secara cair masyarakat bercakap-cakap, sebagian lagi ada yang bermain kartu sebagai hiburannya.

Kegiatan jagong bayi ini dilakukan selama sepasar atau lima hari sejak jabang bayi dilahirkan. Masyarakat berkumpul di rumah orang tua jabang bayi sampai semalam suntuk bahkan menjelang pagi.

Ada beberapa manfaat positif yang bisa didapatkan dari adat jagong bayi ini. Pertama, kebersamaan dan persaudaraan masyarakat yang diwujudkan dengan berkumpul dan saling bercengkrama.

Kedua, rasa syukur keliarga dan masyarakat atas kelahiran jabang bayi sebagai anugrah dari Yang Maha Kuasa. Ketiga, sarana pemecahan solusi yang dihadapi di masyarakat.

Meskipun obrolan yang dibangun santai, tetapi ada beberapa obrolan yang mengarah pada pemecahan beberapa masalah di masyarakat. Hal ini karena tokoh masyarakat juga ikit hadir, seperti Ketua RT, Ketua RW, bahkan Kepala Dukuh.

Jika ditilik secara historis, sebenarnya jagong bayi menjadi adat yang ditujukan untuk melakukan penjagaan terhadap jabang bayi yang baru lahir. Hal ini tentunya bukan tanpa dasar.

Pada zaman dulu, masyarakat Jawa masih sangat kental dengan mistis, sehingga terkadang ada pelaku mistis yang memanfaatkan kelahiran jabang bayi sebagai bagian dari ritual mistis.

Terlepas dari historisitas tersebut, yang jelas adat jagong bayi di Jawa menjadi adat penting yang harus dilestarikan di tengah mudahkan arus perpecahan masyarakat. Banyaknya manfaat positif yang didapatkan, menjadikan adat ini tidak akan pernah surut dilaksanakan oleh masyarakat Jawa.
Bagikan :

Tambahkan Komentar