Tabayuna.com - Dalam rangka mencegah faham radikalisme di dunia pendidikan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kini akan mendata nomor telepon dan akun media sosial (medsos) milik dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Pendataan ini guna menjaga perguruan tinggi dari paparan radikalisme dan intoleransi.

Menurut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir, jika ada ujaran tentang radikalisme atau intoleransi yang mereka lakukan, bisa dilacak melalui media sosial atau nomor teleponnya.

"Itu baru kita lacak. Oh, ternyata mereka punya jaringan ke organisasi ini," kata Nasir, dalam konferensi pers penerimaan mahasiswa baru, di Kantor Kemenristekdikti, Jumat (26/7/2019) seperti dikutip dari Republika.co.id. Namun jika tak ada unggahan tentang radikalisme atau intoleransi, maka tidak akan dilacak.

Mantan Rektor Undip ini menyatakan tak bermaksud membatasi aktivitas mahasiswa, seperti demonstrasi atau kebebasan berpendapat. Tapi ia tak mau jika dalam demonstrasi digunakan untuk mendukung radikalisme atau intoleransi. Salah satu kasus yang ramai dalam masalah ini adalah Prof Suteki, guru besar dari Univesitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, yang dinonaktifkan tahun lalu.

Ide pemerintah ini menuai dukungan dan kritikan. Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta mendukung tujuan Menteri Nasir. "Tapi tidak harus dengan (mendata akun) medsos dan nomor telpon," kata Kepala Bagian Alumni UKI Deasy Nathalia, seperti dinukil dari AKURAT.CO di kantornya, Jumat (26/7/2019).

Menurut Deasy jika ingin menangkal intoleransi dan radikalisme, untuk mahasiswa lebih cocok dengan kuliah umum dan studi kasus.Sedangkan untuk karyawan dan dosen lebih tepat dengan membuat seminar khusus untuk karyawan dan dosen yang membahas Pancasila dan Bela Negara. "Kita upacara saja ga pernah, bagaimana kita mau menangkal radikalisme" ujarnya.

Ide ini sebenarnya sudah pernah dilontarkan Nasir beberapa waktu lalu dan mendapat kritikan karena dinilai tak perlu diungkapkan dan kurang kerjaan.

Pengamat komunikasi politik Effendi Gazali menilai, kalaup pemerintah melakukan upaya-upaya intelijen tak perlu omongkan, tapi cukup dipantau saja bisa diketahui siapa mengunggah konten apa dan dari siapa pengaruhnya datang. "Sebab dengan konteks big data, bisa ketahuan siapa yang punya pengaruh atau tidak," ujarnya seperti dinukil dari Merdeka.com.

Suyatno, Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia menilai, dengan mudahnya orang membuat akun media sosial, mahasiswa bisa mudah berganti-berganti akun. "Atau bisa juga satu mahasiswa punya akun medsos banyak, tapi akun yang didaftarkan hanya satu," ujarnya, Minggu (10/6/2019).

Ini sama halnya dengan kasus akun resmi capres dan isu intoleransi. Saat itu, aku resmi yang didaftarkan memang tak menyebarkan isu radikalisme, intoleransi, atau kecurangan pemilu. Namun tetap banyak akun pendukung atau simpatisan yang menyebarkan hoaks dan radikalisme.

Menurut Suyatno, soal ini serahkan saja ke Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) yang khusus membidangi masalah itu. Apalagi Kemenkominfo sudah gigih memberantas akun-akun yang dinilai radikal. "Dibandingkan sengaja mendata akun-akun (Kemenristekdikti) bisa dipikir kurang kerjaan, tidak ada kerjaan lain," ujarnya. (Tb77/beritagar).
Bagikan :

Tambahkan Komentar