Ilustrasi sulselekspres.com

Oleh Hamidulloh Ibda

Di dalam kajian filsafat, semua manusia memiliki dua potensi. Taat dan menentang, hitam dan putih, merusak dan membangun. Jika manusia taat, putih dan membangun, maka ia hakikatnya menjalankan perintah baik dan manifestasi dari Tuhan atau malaikat. Jika sebaliknya, manusia hakikatnya menjadi atau termanifestasi dari iblis, setan atau genderuwo.

Apa yang diungkapkan Presiden Joko Widodo baru-baru ini tentang politik genderuwo dan sontoloyo mendedikasikan praktik politik cenderung menakut-nakuti, meresahkan dan membuat pesimis. Ungkapan Jokowi ini bisa ditafsirkan secara politis dan filsafatis.

Beberapa pakar komunikasi menilai Jokowi menyerang lawan politiknya untuk tidak menakuti rakyat melalui informasi dengan data bohong dan tidak reliabel. Sehingga, rakyat takut dan pesimis dengan informasi itu. Terlepas dari dialektika itu, Jokowi mengajak kita berpikir tentang ghost politics (politik genderuwo) dan angel politics (politik malikat).

Menjadi Genderuwo atau Malaikat?
Menjadi genderuwo atau malaikat merupakan hak demokrasi tiap politisi. Namun politik genderuwo cenderung hitam, merusak, korup dan tak bisa lepas dari nafsu belaka. Padahal, manusia hakikatnya ahsan takwim (makhluk sempurna) yang memiliki demokrasi langsung dari Tuhan. Manusia bisa jadi buruk, bisa jahat, sementara malaikat dan setan tak bisa seperti manusia.

Politik hakikatnya suci karena menjadi siyasah (cara) sah untuk bermusyawarah, berdemokrasi, dan bernegara. Harusnya, manusia memilih cara berpolitik malaikat. Sebagai makhluk, manusia wajib menjalankan perintah Tuhan sebagai “khalifah” atau wakil Allah di muka bumi.

Apa tugasnya? Tidak mengingkari semua pemberian Tuhan untuk menebar kebaikan dan memberi rahmat bagi semua alam termasuk dalam dunia politik. Tugas manusia sangat berat karena ia hanya menjadi khalifah fil ard (wakil Tuhan di muka bumi), namun wajib menjalankan rahmatal lillalamin (rahmat bagi semua alam). Tugas manusia wajib merahmati semua alam, baik nyata maupun gaib. Jika alam politik saja masih kacau, bagaimana caranya merahmati alam gaib?

Jika ditarik dalam dunia politik, manusia memiliki hak demokrasi langsung untuk melakukan positivitas atau negativitas. Namun fakta praktik politik kita dewasa ini masih tataran “kanak-kanak” dan melestarikan “politik genderuwo”. 

Mengapa? Lihat saja, politik kita dijalankan tanpa profesionalitas. Praktik korupsi masih lestari. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, Januari-Juli 2018 ada 19 kepala daerah ditetapkan tersangka. Hingga saat ini, ada 98 kepala daerah sudah diproses KPK dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang (Kompas.com, 19/7/2018).

Saat Pilkada 2018, Bawaslu memproses dugaan politik uang sebanyak 35 kasus. Khusus Jawa Tengah sendiri ada 5 kasus dugaan politik uang (Kompas.com, 27/6/2018). Belum lagi kasus hoaks dan berita palsu berbasis isu SARA, kedok ormas Islam yang isinya bukan ibadah tapi demo berjilid-jilid, dan lainnya.

Fakta ini melahirkan nada resah dan tak heran jika banyak orang apolitis. Maka sebutan parpol bagi kaum apolitis bukan lagi rumah perkaderan kaum terdidik dan pemimpin, melainkan “parpol adalah gerombolan rampok”. Ini membuktikan tak ada pendidikan politik dalam parpol. Mereka hanya diajarkan meraup suara dan membagikan amplop politik saat musim pemilu. Wajar saja, yang lahir bukan politisi malaikat melainkan politisi genderuwo.

Politisi hanya hadir saat momen politik. Hadirnya pun hanya lewat baliho, menjadi “setan pohon” dan saat pencoblosan dengan menyebar “politik uang”. Bisa lewat serangan fajar, duha hingga serangan zuhur. Sungguh ironis sekali.

Parpol sebagai “perguruan tinggi politik” harus menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Sebagai elemen demokrasi, haram parpol hanya formalitas belaka. Harusnya parpol mendidik kader-kader politik yang bernas, revolusioner, asketis, bukan genderuwo, sontoloyo, dan pragmatis.

Masalah di atas bukan soal pilihan, karena berpolitik bukan pilihan ganda. Aristoteles (384 SM-322 SM) menjelaskan, demokrasi tak sekadar urusan benar-salah, milik kaum oligarki (berduit) saja, namun lebih menekankan relasi antarmanusia untuk mencapai tujuan bersama dengan cara-cara humanis.

Berpolitik malaikat menjadi keniscayaan. Sebab, politik menjadi wadah menentukan kebijakan lewat jalur eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan dicintai Tuhan. Cita-cita itu mustahil tercapai ketika politik dihuni genderuwo yang miskin gagasan, defisit ide dan kering idealisme.

Mengakhiri Politik Genderuwo
Konsep dan praktik di negeri ini urgen didesakralisasi dan praktik politik genderuwo harus dihentikan. Metodenya, bisa dilakukan dengan beberapa formula. Pertama, politik harus dimaknai wasilah (jalan), bukan goyah (tujuan). Ketika politik menjadi alat, maka hanya menjadi bagian dari cara mencapai tujuan memakmurkan masyarakat.

Jika menjadi tujuan, maka hanya berorientasi kekuasaan, citra, dan korupsi. Gerakan apolitis dari masyarakat hadir karena tindakan jahat oknum politik. Padahal, politik itu suci, putih, bersih, dijadikan kotor atau tidak bergantung politisinya.

Kedua, praktik demokrasi harus diarahkan pada politik kebangsaan, kerakyatan, kemanusiaan, bukan politik kekuasaan atau pencitraan belaka. Tanpa dasar Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, saya yakin politik genderuwo akan lestari.

Ketiga, melakukan kampanye damai, bersih dari black campaign dan mengutamakan transaksi gagasan, ide, program, bukan sekadar iming-iming janji kosong dan politik uang. Demokrasi kita harus diarahkan pada demokrasi pascabayar, bukan prabayar. Politisi harus mengajarkan kejujuran dan kedewasaan, yang dijual harusnya gagasan masa depan, program bernas, bukan jual beli suara yang justru merusak tatanan kehidupan bangsa.

Kelima, tindakan tegas dari KPU, Bawaslu, bahkan DKPP ketika ada peserta atau penyelenggara pemilu yang melakukan praktik politik genderuwo. Ini alternatif terakhir dan sifatnya represif saja. Namun yang paling penting “literasi politik malaikat” pada semua kalangan dan utamanya pelaku politik praktis di tubuh parpol.

Sudah saatnya tahun politik ini diwarnai dengan pelangi politik bersih, jujur, dan mengutamakan kepentingan rakyat. Para filsuf Yunani Kuno membuat rumus “hukuman orang pintar yang tak mau berpolitik adalah mereka dipimpin orang bodoh yang menguasai politik”. Maka kaum intelektual dan semua kalangan yang bersih harus terjun ke dunia politik praktis untuk menyelamatkan masa depan politik kita.

Jika panggung politik diisi kaum hitam yang selalu mewartakan nada resah, dan aroma genderuwo, pasti akan susah maju. Jika para pemimpin lahir dari cara-cara genderuwo, apakah kita mau dipimpin genderuwo?

Bagikan :

Tambahkan Komentar