Ilustrasi SINDOnews |
Oleh
Hamidulloh Ibda
Untuk
menunjukkan religiusitas, umat Islam di Nusantara sejak dulu mengetahui patrap
atau konteks yang pas. Dalam mengucapkan kalimat tayibah, misalnya, disesuaikan
dengan patrap yang kompatibel, seperti contoh takbir. Kalimat tayibah
ini diucapkan ketika melihat, mendengar, dan merasakan kebesaran Allah. Sebab,
tidak ada yang patut dibesar-besarkan di dunia ini selain Allah.
Maka,
mengucapkan takbir harusnya sesuai kondisi ketika melihat kebesaran Allah,
salah satunya saat malam menjelang Idulfitri atau Iduladha. Fenomena saat ini
aneh, orang mengucapkan takbir justru tidak mengindahkan patrap di atas,
namun sakarepe dewe alias tidak memakai dasar agama dan realitas sosial.
Apa buktinya?
Orang mengucapkan takbir untuk demo, untuk mengutuk orang, untuk agenda
politik, dan lainnya. Inilah wajah Islam di Nusantara yang kian jauh dari dasar
dan realitas sosial yang ada. Jika mereka mengaku kegiatannya itu ilmiah,
justru bagi saya kegiatan itu primitif dan bukan fenomena religius. Yang
religius justru tradisi-tradisi Islam yang dikomparasikan dengan budaya yang
memahamai patrap agama dan realitas sosial, salah satunya diwujudkan
dengan tambir keliling.
Bagi umat
Islam di Nusantara, takbiran atau takbir keliling digelar tiap malam menjelang
Idulfitri atau Iduladha. Biasanya, di malam 29/30 pada akhir Ramadan untuk
menyambut 1 Syawal menjelang paginya salat Idulfitri atau malam 29/30 menjelang
Iduladha.
Takbiran,
dirangkai dengan berbagai bentuk tradisi yang menjadi kekayaan Islam di negeri
ini dan tak dimiliki bangsa lain. Menjaga tradisi takbir keliling menjadi
bagian dari usaha memajukan kebudayaan dan nilai-nilai religius.
Ada beberapa
cara umat Islam menyambut Lebaran Idul Fitri atau Lebaran Haji lewat tradisi
takbiran. Pertama, takbiran di musala/masjid sampai pagi menyambut salat id. Kedua,
berkeliling di desa, alun-alun, jalan raya, lapangan, dan sekitarnya dengan
berbagai asesoris pada malam hari di akhir Ramadan. Ada yang memakai lampion,
lampu, petromak, lilin, obor, mikrofon, sound system, bedug, tongklek,
sampai pada seragam sesuai ciri khas masing-masing daerah.
Semua tampak
religius dan sakral. Mereka menggemakan takbir karena dapat menjalankan ibadah
puasa Ramadan selama satu bulan. Semua itu, tidak lain adalah berkah, dan
karena kebesaran Allah. Maka takbir keliling harusnya tak sekadar rutinitas.
Sebab, takbir keliling selalu menawarkan keunikan tersendiri di tiap daerah
untuk mengangungkan Tuhan Yang Maha Agung.
Dakwah Takbir
Keliling
Takbir
keliling bisa dipotret dari berbagai angle. Pertama, dari segi syiar
Islam, takbir keliling, takbiran, atau festival malam Lebaran ini menjadi
bagian dari ungkapan syukur umat Islam kepada Allah Swt karena sebulan penuh
diberi kekuatan, kenikmatan, dan nikmat hingga bertemu pada Lebaran Idulfitri.
Kedua, aspek
dakwah. Semua orang dari berbagai suku, agama, warna kulit, tidak ada yang
merasa sedih melihat takbir keliling meski jalanan macet, sesak, dan ramai.
Mereka seolah-olah merasa menikmati Islam dan menjadi bagian dari umat Islam. Di
sinilah nilai dan bukti Islam adalah agama rahmat bagi semua alam.
Ketiga, aspek
budaya, tradisi, dan kearifan lokal. Budaya masyarakat Indonesia selalu
estetis, dan merangkul semua unsur. Contohkan saja takbir keliling, ada unsur
Islamnya, Jawa, Batak, Tionghoa, dan lainnya. Semua bisa senada, seirama, indah,
dan harmoni tanpa harus ada dikotomi di masing-masing unsur tersebut.
Hidayati
(2016: 103) dalam penelitiannya, menemukan takbir keliling menjadi tradisi masyarakat setelah Islam masuk ke
dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Tradisi ini dilaksanakan tiap satu tahun
sekali menjelang hari raya Idulfitri. Takbir keliling diselenggarakan di malam
1 Syawal yaitu malam riyaya dengan berjalan kaki atau menggunakan alat
transportasi berkeliling di sepanjang jalan utama sembari menggemakan takbir.
Takbir
keliling memiliki nilai syiar agama, mengajak supaya orang-orang senang
bertakbir, dan mengajak masyarakat bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah.
Di sinilah letak dari salah satu sakralitas takbir keliling yang sarat akan
nilai-nilai dakwah. Lebih substansial lagi, takbir keliling menjadi wujud
pengakuan kebesaran Allah, dan umat Islam sangat tepat meneriakkan takbir dalam
malam menyambut hari besar Islam tersebut.
Jangan Kotori!
Munculnya
Islam puritan yang mengimpor ideologi transnasional selalu mengampanyekan
antitradisi dan kembali pada pemurnian Islam. Mereka berpendapat, apa saja yang
tidak dicontohkan Nabi Muhammad dianggap bidah, kafir, bahkan sesat. Pola pikir
seperti ini sangat lucu, tidak ilmiah, bahkan ahistoris.
Mana ada agama
yang bisa lepas dari budaya? Dan, Nabi Muhammad tidak mungkin memberi contoh
semua hal dalam kehidupan. Jangankan takbir keliling, sekolah PAUD atau SD saja
tidak pernah. Maka kita harus kembali pada rumus ibadah mahzah (syahadat,
salat, zakat, puasa, haji) dan ibadah muamalah di luar rukun Islam.
Letak bidah,
itu di wilayah ibadah mahzah saja. Adanya salat memakai mikrofon, haji naik
pesawat terbang, ngaji lewat android, tak ada masalah ketika sakralitas dijaga
dan pola pikirnya benar. Jangan sampai umat Islam tak bisa membedakan mana
ajaran Islam dan mana budaya Arab. Kita manusia Jawa, Batak, Madura, Bali,
harus menerima dan menjadi Jawa, Batak, Madura sesuai takdir Allah tanpa harus
meninggalkan Islam.
Takbir
keliling, sebagai tradisi sakral jangan sampai terkotori umat Islam sendiri.
Salah satunya, membidahkan takbir keliling, menjadi bagian dari mengotori
tradisi sakral ini. Mengapa? Takbir keliling, awalnya adalah dari tradisi
takbiran dengan menggemakan kalimat tayibah takbir “Allahu Akbar” yang kemudian
diracik rapi dengan budaya khas Islam di Nusantara.
Kalimat tayibah
memiliki makna menyucikan, mengagungkan, memuliakan, nama-nama dahsyat milik
Allah. Kalimat tayibah, secara sederhana berarti perkataan baik, sopan, mengandung
perbuatan maruf serta mencegah dari kemunkaran. Seperti bacaan tasbih, tahmid,
tahlil, dan takbir dan lainnya. Barang siapa menggemakan kalimat tayibah,
mereka akan mendapatkan banyak berkah, apalagi mampu menggunakannya sebagai
media dakwah dan mengajak orang lain melakukan perbuatan baik itu.
Kalimat
tayibah “Allahu Akbar” sangat sakral dan sebagai umat Islam kita harus memahami
ilmu tentang bahasa. Kalimat takbir, kemudian menjadi tradisi takbiran, takbir
keliling saat malam puncak menyambut Idulfitri atau Iduladha sarat akan
nilai-nilai religius tinggi. Apalagi, bagi orang perantauan, ketika tak bisa
mudik dan mendengar takbiran, saya pastikan mereka menangis.
Di situlah
bukti bahwa kalimat tayibah yang diucapkan saat kondisi tertentu sangat sakral
dan menyentuh hati semua umat. Oleh karena itu, kalimat takbir harus diucapkan
sesuai konteks yang dalam ilmu bahasa disebut diglosia. Jangan sampai, kalimat
takbir diucapkan tidak sesuai konteksnya. Bisa jadi, justru menimbulkan
masalah!
Jika tahmid diucapkan
saat mendapat rezeki, maka takbir, diucapkan ketika melihat kebesaran Allah. Salah
satunya, kebesaran yang diberikan kepada manusia yang bisa melewati perang
melawan nafsu saat puasa selama sebulan. Takbir dalam tradisi takbir keliling
sudah tepat, karena diucapkan sesuai illat (penyebabnya) dengan ungkapan
pengakuan kebesaran Allah.
Tidak semua
umat Islam mampu berpuasa. Dan, kita harus ingat bahwa perang yang besar adalah
perang melawan hawa nafsu. Nabi Muhammad sendiri mendefinisikan orang cerdas
bukanlah berilmu tinggi, namun yang bisa menundukkan hawa nafsunya.
Dalam konteks
ini, jangan sampai takbir diucapkan untuk menyalahkan orang, demo, apalagi
untuk kepentingan politik. Sedikit-sedikit memekikkan takbir, sehingga terkesan
takbir itu ucapan “yel-yel demo”. Padahal, Yang Maha Besar itu Allah, bukan
manusia. Ketika demo tapi merasa Maha Besar dengan memekikkan takbir, justru
itu mengotori sakralitas takbir.
Takbir
keliling sebagai output pengakuan kebesaran Allah juga harus dijaga dari
kriminalitas. Misalnya, minum-minuman keras, tawuran, membunyikan petasan,
sampai mengeraskan suara knalpot saat takbir keliling. Sakralitas kelas bawah
ini sering dikotori terutama di desa-desa.
Menjaga
sakralitas takbir dalam tradisi takbir keliling menjadi tugas bersama agar
estetika takbir tersebut tak seperti guyonan. Sebab, tradisi ini menjadi bagian
dari ritual sakral yang sarat akan nilai-nilai humanisme. Takbir keliling tak
sekadar berkaitan dengan unsur imanen, namun juga transenden dengan Allah.
Semua itu, tak hanya dalam niat, namun juga dalam praktiknya.
Menjaga
Sakralitas
Jika takbir
keliling awalnya adalah “pengangungan” Allah lewat suara takbir, takbiran,
takbir keliling, maka menjaga takbir keliling hukumnya wajib. Bukan sebaliknya,
mengatakan bidah, apalagi kafir dan sesat, dan itu justru sangat tidak ilmiah
dan rasional.
Sakralitas
takbir ini tak hanya dari aspek fikih, ibadah, namun juga budaya manusia. Gema
takbir lewat takbir keliling menjadi penyempurna puncak malam riyaya, bodho,
Lebaran, yang dinanti jutaan umat Islam sebagi penanda akhirnya puasa Ramadan.
Takbir dikumandangkan dalam rangkaian takbir keliling di sepanjang jalanan melahirkan
sangat religius, enigmatis, rasa haru, damai dan takjub bagi yang mendengar dan
menghayatinya.
Menjaga
sakralitas takbir keliling ini bisa dilakukan dengan hal-hal sepele sampai pada
kebijakan strategis. Pertama, peserta takbir harus diajak menghayati takbir
keliling bukan sekadar tradisi, melainkan jalan menuju kemesraan kepada Allah.
Apalagi, takbir keliling dilakukan saat malam 29/30 yang siapa tahu bertepatan
pada jatuhnya lailatul qadar.
Kedua, mendukung
tradisi ini lewat mengikutinya, memberikan sumbangan materiil, sampai pada
mempromosikannya. Ketiga, panitia takbir keliling harus mendesain takbir
keliling ramah lingkungan. Jangan sampai, ada peserta takbir keliling tawuran
gara-gara tidak mendapatkan piala kejuaraan. Biasanya, kejadian seperti ini
terjadi di desa-desa yang antardukuh/desa sering terjadi kecemburuan sosial.
Sebab, peserta takbir keliling ini biasanya dari musala/masjid yang pada saat
takbir keliling berkumpul di lapangan.
Keempat,
peserta takbir keliling harus diedukasi pada aspek dasar sampai teknis
pelaksanannya. Takbir keliling bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan bisa
menjadi wisata religi setahun sekali yang sangat sakral untuk mendekatkan diri
pada Allah, mempromosikan budaya, dan syiar Islam.
Banyak cara
umat Islam mendekatkan diri pada Allah, salah satunya lewat takbir keliling.
Rumusnya, menjaga sakralitas takbir keliling agar tidak terkotori oleh
kekonyolan manusia. Jangan sampai tradisi ini kotor dan sirna, baik dari segi
ajaran, dakwah, budaya, dan aspek humanisme. Jika tidak kita yang menjaga
sakralitasnya, lalu siapa lagi?
Tambahkan Komentar