Oleh Hamidulloh Ibda

Dalam Pemilu, menang dan kalah menjadi keniscayaan. Akan tetapi, atmosfer demokrasi kita selalu mengalami anomali karena para politisi belum siap lahir batin dalam mewakafkan dirinya berjuang di panggung politik. Buktinya, banyak calon legislatif (Caleg) yang stres, depresi, bahkan gendeng karena tidak lolos duduk di kursi wakil rakyat

Penyebab depresi yang didera Caleg bukan karena “bawaan lahir”, melainkan karena mereka rugi secara finansial lantaran “jor-joran” membagikan uang saat Pemilu. Dikarenakan yang diterapkan logika dagang (untung-rugi), maka wajar jika mereka stres berkepanjangan. Sebab, mereka sudah rugi, tidak menang, ditambah beban malu dan utang yang tidak sedikit.

Fenomene ini harus diputus mata rantainya. Jangan sampai Caleg stres mewarnai jagat demokrasi kita di setiap Pemilu. Jika prinsip Pemilu adalah “menyenangkan” dan menjadi “pesta demokrasi” rakyat, tentu sangat paradoks jika melahirkan orang stres ataupun skizofrenia. Apalagi, daftar Caleg peserta Pileg 2019 yang ditetapkan KPU ada 7.968 orang. Jumlah ini berasal dari 20 partai politik yang mengikuti Pileg 2019. Dari jumlah itu ada 4.774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan (Kompas.com, 21/09/2018). Jika sebagian dari mereka stres semua, lalu bagaimana hakikat demokrasi yang membahagiakan?

Fenomena Caleg Stres
Terbuka lebarnya kran demokrasi memberi peluang bagi siapa saja untuk berjuang melalui jalur politik. Akan tetapi, kedewasaan dan kesiapan mental para politisi kita belum maksimal. Tak hanya di Nusantara, fenomena Caleg stres juga mendera di Amerika Serikat. Di sana, dampak Pemilu melahirkan efek stres atau Post Election Stress Disorder (PESD) bagi peserta yang kalah.

Survei American Psychological Association (APA) pada 2016-2017, stres usai Pemilu di Amerika Serikat meningkat tajam dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam laporan itu, gejala stres yang dialami meliputi sakit kepala, gelisah, cemas, hingga depresi. Tidak hanya di AS, namun Caleg stres juga ada di Nusantara ini.

Pada Pemilu 2009, Kementerian Kesehatan mencatat ada 7.736 Caleg stres (Detik.com, 8/4/2009). Pada 2014, aksi Caleg stres juga meresahkan warga dan di tiap RSJ kota-kota besar dihuni Caleg stres. Pada Pemilu 2019 ini, Caleg DPRD Maluku bersama pendukungnya membakar 15 kotak surat suara dan dokumen lain di sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Desa Weduar, Kecamatan Kei Besar Selatan, Maluku Tenggara sehari setelah Pileg (Kumparan.com, 20/4/2019).

Di Pekalongan, mantan Caleg tahun 2014 rela menjual ginjal untuk membayar utang Rp 420 juta (Tribunnews.com, 20/4/2019). Dampak depresi para Caleg stres tidak hanya merugikan diri sendiri dan keluarga, namun juga KPU dan masyarakat. Di Tomolu, Tidore Kepulauan, Maluku Utara juga demikian. Warga mengembalikan karpet di masjid dan semua pemberian Caleg DPR RI lantaran Caleg mengungkit-ungkit warga yang tidak memilihnya karena ia hanya mendapat 700 suara (Goriau.com, 20/4/2019).

Fenomena ini hanya sebagian kecil dari ulah Caleg stres. Selain menjual organ tubuh, marah-marah, mengambil sumbangan, banyak perilaku anomali lain dilakukan Caleg stres. Seperti menjual tanah, telanjang, bersembunyi, pindah tempat, bahkan sampai bunuh diri. Lalu, kapan fenomena ini akan selesai?

Memutus
Selain faktor modal finansial, minimnya perkaderan politik di tubuh Parpol, kesiapan personal dan mudahnya syarat pencalegan di internal KPU, lahirnya depresi juga karena jiwa Caleg belum matang dan dewasa. Tak heran jika mereka “siap menang” namun tidak “siap kalah”. Untuk itu, fenomena Caleg stres harus diputus mata rantainya agar fenomena ini tidak mengotori subtansi demokrasi dan meresahkan masyarakat.

Ada beberapa formula yang dapat dilakukan. Pertama, meluruskan niat dalam menjadi Caleg. Semua pekerjaan harus dilakukan dengan niat mengabdi untuk rakyat dan Tuhan, bukan tujuan sesaat dan sesat seperti orientasi kekuasaan dengan menerapkan logika dagang. Jika demikian, wajar jika Caleg stres lahir setiap ada momen Pemilu.

Kedua, penguatan edukasi politik lewat perkaderan di internal Parpol. Berpolitik tanpa ideologi ibarat memakan makanan tanpa bumbu. Artinya, politik yang diterapkan harusnya politik ideologi, kebangsaan, dan kerakyataan, bukan politik praktis seperti “pisang goreng” cepat saja namun cepat basi jika tanpa bumbu ideologi. Pancasila dan UUD 1945 sangat “mengharamkan” caleg bertindak konyol.

Ketiga, memutus mata rantai Caleg stres dapat dimulai saat pendaftaran dan seleksi Caleg di internal Parpol atau KPU. Parpol harus memiliki standar normal dan wajar. Harusnya Caleg diseleksi ketat dan tidak hanya mengutamakan mereka yang memiliki modal materi namun miskin ideologi. KPU juga harus menjamin kesehatan lahir dan batin semua Caleg agar ke depan mereka siap kalah dan siap menang. Untuk itu, KPU perlu menggandeng rumah sakit yang benar-benar objektif dan menjamin kesehatan semua Caleg.

Keempat, pentingnya mendekatkan diri pada Tuhan. Harusnya, ada pembinaan mental para Celeg agar mereka siap lahir dan batin ketika mengetahui hasil Pemilu. Plante (2017) berpendapat, manajemen stres dengan olahraga, relaksasi dan doa mengurangi depresi politik. Artinya, selain kesehatan fisik, kesehatan mental sangat ditentukan dengan doa, kegiatan religius seperti pengajian, tahlilan, istigasah, mujahadah dan lainnya.

Mengapa? Sebab, diktum “suara rakyat adalah suara Tuhan” harus dijadikan prinsip berdemokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat dengan menghadirkan Tuhan dalam semua kegiatan politik. Tanpa hal itu, berpolitik akan gersang, sepi, dan akhirnya ketika kalah dalam Pemilu, akan lahir unconsciousness (ketidaksadaran) sehingga lupa daratan dan stres.

Panggung politik baik ekskutif, legislatif, maupun yudikatif harusnya diisi orang-orang jujur, bersih, pintar, sehat akal pikiran dan badan. Maka momentum Pemilu harus melahirkan orang-orang pintar dan sehat sebagai wakil rakyat. Maka kaum intelektual harusnya hadir dalam panggung demokrasi. Sebab, hukuman kaum intelektual yang tidak terjun ke panggung politik hanya satu, yaitu “mereka akan dipimpin orang bodoh yang menguasai politik”. Lalu, apakah kita akan dipimpin orang bodoh bahkan stres yang menguasai politik?

Bagikan :

Tambahkan Komentar