Ilustrasi Heta News

Oleh Hamidulloh Ibda

Saya sering mendengar dari kalangan kiai, ulama, aktivis, budayawan, dan dosen di berbagai forum-forum Nahdlatul Ulama (NU) dan lainnya, bahwa Gus Dur itu waliyullah. Ya, tak hanya waliyullah saja, namun yang masih menjadi enigma hingga kini adalah labelisasi “wali kesepuluh” pada Gus Dur setelah Walisongo.

Labelisasi “wali” pada Gus Dur ini seolah-olah tanpa syarat dan alasan. Sebab, selain dikenal kontroversial, nyeleneh, dan penuh teka-teki, apa saja yang lahir dari Gus Dur hampir semuanya terbukti secara empirik. Bahkan, pemikiran, nilai-nilai, ajaran, dan ucapan Gus Dur beyond the times alias melampaui zaman. Seolah-olah, jauh-jauh hari Gus Dur mampu melihat dan meramal apa saja yang akan terjadi.

Kewalian pada Gus Dur makin semarak dalam Haul Gus Dur ke-9 kemarin. Pasalnya, hampir semua tokoh mengakui cucu pendiri NU ini sudah wafat, tapi masih turut menjaga Indonesia. Namun, apakah Gus Dur benar sudah wafat? Secara fisik memang benar, namun secara metafisik tidak, Gus Dur masih hidup, dan masih menjaga Islam, Indonesia, bahkan dunia.

Wali Kesepuluh?
Dalam internal Islam, kita mengenal rumus la ya’riful wali illal wali, tidak ada orang yang tahu seorang itu wali, kecuali orang tersebut wali. Namun, mengapa hampir semua orang, terutama kaum santri, meyakini Gus Dur adalah wali? Bahkan, label wali kesepuluh sudah membumi.

Cak Nun, misalnya, di setiap forum maiyah, selalu berkelakar bahwa Gus Dur merupakan wali. Namun, Gus Dur harus ditempatkan pada tempat atau “makam” yang pas. Artinya, jika Gus Dur itu wali kesepuluh, lalu bagaimana dengan Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, dan lainnya? Apakah mereka wali atau tidak?

Maka, Cak Nun pernah bercerita bernada metafor, suatu hari Gus Dur dipanggil Mbah Hasyim, karena label wali kesepuluh sampai ke telinga Mbah Hasyim. “Dur, jare kon wali kesepuluh?” kata Mbah Hasyim seperti yang diucapkan Cak Nun.

Mboten, Mbah, kui arek-arek travel sing ngarang,” kata Gus Dur kepada Mbah Hasyim.

Narasi Cak Nun di salah satu kesempatan ketika saya ikut maiyahan ini bukan tanpa alasan. Artinya, idiom “wali kesepuluh” ini salah satunya lahir dari tantangan globalisasi yang dilakukan agen travel. Untuk menarik konsumen, agen travel memanfaatkan hal itu dengan melabeli kuburan-kuburan di dekat jalur pantura timur untuk diziarahi.

Mengapa? Sebab, peziarah ke kuburan wali, akan lama ketika ziarah walisongo karena ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang paling cepat membutuhkan waktu dua hari satu malam. Maka para agen travel membuat paket travel “ziarah walisongo Jawa Timur”. Salah satunya, ada di kuburan Gus Dur yang satu kompleks dengan Mbah Hasyim, dan zuriyahnya.

Bagi saya, fenomana ini ada peran Gus Dur di dalamnya. Artinya, Gus Dur memberi berkah pada para agen travel bus dan lainnya. Meski sudah meninggal, Gus Dur menjadi wasilah para agen travel dalam mencari rezeki. Terlepas Gus Dur benar wali atau tidak, atau wali kesepuluh setelah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati, itu urusan Allah. Sebab, bukan kapasitas kita untuk melabeli seorang itu wali atau tidak, jika kita sendiri bukan wali.

Misteri Kewalian
Misteri dan keunikan Gus Dur memang tiada habisnya. Meski sudah wafat lama, namun Gus Dur masih bisa memberi kesejukan dan keberkahan bagi semua umat manusia. Seperti contoh agen travel yang memunculkan istilah “wali kesepuluh” pada Gus Dur. Apakah ini murni lahir dari agen travel? Tentu tidak. Secara sudut pandang bisnis atau ekonomi memang benar, idiom itu lahir untuk menarik perhatian jemaah atau masyarakat ketika berwisata religi. Namun secara metafisik, ada misteri yang harus dibongkar, minimal kita buka tabirnya.

Misteri kewalian Gus Dur sudah banyak diulas banyak ulama, kiai, dan santri di berbagai forum dan artikel. Namun yang perlu dibongkar di sini, bukan pada kewaliannya, melainkan mengapa Gus Dur dilabeli “wali kesepuluh”. Apakah tidak ada wali lain yang pantas duduk di tahta “wali kesepuluh?” Lebih tinggi mana, derajat kewalian Gus Dur dengan Mbah Hasyim, Mbah Wahid Hasyim, Syaikhona Kholil Bangkalan dan lainnya?

Tentu, ini bukan asumsi dan klaim metafisika saja. Ada alasan mendasar yang unik, dan berbeda dari ayah dan kakeknya Gus Dur. Secara umum, regulasi perwalian sudah diatur dalam Alquran surat Yunus, ayat 62-64, bahwa kriteria kewalian itu adalah iman dan takwa. Dua kriteria ini ketika sudah dimiliki seorang muslim, apakah berhak dan sah menyandang predikat wali. Tentu tidak.

Mengapa? Dalam ayat itu, dijelaskan bahwa wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Nah, Gus Dur terkenal suka guyonan yang enigmatis, selalu menghibur semua orang, membuat tertawa terpingkal-pingkal, sekalipun itu dengan orang yang jelas-jelas menyakiti dan benci dengannya.

Di sinilah, letak keunikan Gus Dur dari yang lain. Sekaligus, melegitimasi bahwa Gus Dur itu wali, karena selain iman dan takwanya yang kuat, beliau tidak pernah bersedih hati. Itupun, tidak diberikan kepada umat Islam saja, namun Gus Dur menebar kebahagiaan kepada semua umat beragama di Nusantara ini.

Kewalian yang melekat pada Gus Dur tentu sangat berbeda dengan tipologi, dan penjelasan yang ada pada kitab-kitab salaf. Gus Dur menjadi salah satu pribadi yang lurus, unik, dan tegas, namun merangkul semua golongan tanpa pandang agama. Benar dan tidaknya misteri kewalian Gus Dur, tidak perlu diperdebatkan, karena saya yakin, makam kewalian Gus Dur sudah melebihi apa yang kita bayangkan.

Saya masih ingat ketika Gus Dur hadir pada Haul K.H. Ahmad Mutamakkin di Kajen, Pati, sekira tahun 2005. Gus Dur berpesan, tugas orang yang masih hidup adalah mendoakan yang sudah mati, karena kalau kita nanti mati, kita akan gantian didoakan yang masih hidup. Maka tugas kita sekarang jelas, mendoakan, ngalap berkah dengan Gus Dur, meneladani, melanjutkan, dan memperjuangkan cita-cita Gus Dur yang belum tuntas dengan segala enigmanya.

Dalam buku Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Greg Barton (2002: 7) berusaha keras menjelaskan apa saja yang ada pada Gus Dur. Yang paling penting untuk dapat memahami Gus Dur adalah selalu mencoba mencari apa yang tersirat dari apa yang tersurat. Tidak mungkin melihat Gus Dur hanya dari kasatmata, termasuk pada kewalian pada Gus Dur itu sendiri. Bisa jadi, Gus Dur bukan wali kesepuluh, namun kesebelas, keduabelas, atau keseratus, itu hak prerogatif langsung dari Allah.

Maka, apa saja yang kita pikirkan tentang Gus Dur, termasuk kewaliannya, harus menjadi bagian dari wahana mencintai Allah lewat para kekasih-Nya. Melalui meneladani Gus Dur, kita dapat bertambah iman, takwa, dan amal saleh, maka di situlah Gus Dur tersenyum. Namun ketika kita hanya memandang Gus Dur sebelah mata tanpa ada usaha mencari hikmah agar dekat dengan Allah, maka semua hal itu akan sia-sia, termasuk pikiran kita tentang kewalian Gus Dur.

Mengapa? Karena Gus Dur sendiri, saya yakin tidak mau diwali-walikan. Maka apa yang kita lakukan harus proporsional, dengan cara menjadi santri ideologisnya dan melanjutkan perjuangannya. Jadi, apakah Gus Dur itu wali kesepuluh? Wallahu a’lam.

Tapi, saya yakin Gus Dur dicintai Allah. Gus Dur adalah kekasih Allah. Masalahnya, kalau Gus Dur dicintai Allah, penting mana memperdebatkan kewaliannya atau justru mencintainya?

Bagikan :

Tambahkan Komentar