Oleh
Hamidulloh Ibda
Melalui
lisan maupun tulisan, bahasa memiliki kekuatan magis yang bisa diekspresikan
untuk menggerakkan perubahan sosial. Sebagai animal symbolicum, manusia harus memahami fungsi bahasa untuk
mewujudkan perubahan. Mengapa? Karena bahasa yang disimbolkan melalui lisan dan
tulisan mampu mengubah cara berpikir masyarakat.
Bahasa
mampu menggerakkan masyarakat menuju perubahan lebih baik. Bahasa menjadi alat
transformasi pengetahuan yang utama. Jika pengetahuan yang diterima benar dan
baik, maka pola pikir masyarakat akan benar dan baik, begitu sebaliknya. Untuk
memproduksi bahasa yang benar, baik dan indah, membutuhkan katarsis intelektual
melalui proses reseptif dan ekspresif bermutu untuk menggerakkan, dan
memprovokasi perubahan.
Bahasa
tak sekadar alat komunikasi, namun juga alat “katarsis” berupa ungkapan
penyujian diri melalui proses mengungapkan ide. Aristoteles (384 SM-322 SM)
menggagas katarsis sebagai wujud penyucian jiwa melalui menuangkan ide terutama
dalam tulisan yang bebas. Kebebasan itu tidak sekadar bebas tanpa arah dan
brutal. Namun lebih pada kebebasan berpikir, berpendapat, menawarkan ide untuk
perubahan. Melalui karya ilmiah (jurnal, skripsi, tesis, disertasi), karya
ilmiah populer (artikel, opini, gagasan), dan karya sastra (puisi, cerpen,
seloka), manusia bisa “meludahkan” ide dan tawaran perubahan yang ia pikirkan.
Setiap
manusia hakikatnya “provokator” perubahan sosial melalui bahasa. Apalagi,
manusia memiliki empat keterampilan
berbahasa. Mulai keterampilan
menyimak, berbicara, membaca dan menulis (Tarigan, 1981, p. 1). Di antara keterampilan bahasa sebagai alat katarsis untuk perubahan
sosial adalah menulis dan berbicara. Melalui tulisan dan orasi/pidato menjadi
wahana menawarkan gagasan perubahan sosial jangka panjang maupun pendek.
Kerusakan Bahasa
Tak
ada perubahan besar tanpa peran dan kekuatan bahasa. Tulisan dan lisan di sini
menjadi katarsis intelektual manusia dalam mewujudkan tatanan kehidupan
berkiblat pada nalar. Setiap tulisan dan lisan mengandung ribuan ide, pesan, rencana
masa depan, dan peta revolusi kehidupan. Semakin benar, baik, dan indah bahasa
yang disajikan akan berdampak pada perubahan yang benar, baik, dan indah pula.
Di
era Revolusi Industri 4.0 ini, kita dilanda banjir informasi terutama dari
dunia siber. Banyak penyakit harus dihindari seperti hoax news (berita bohong),
fake news (berita palsu), cyberbullying
(perundungan siber), dan hate speech (ujaran kebencian).
Kerusakan ini berbahaya jika tak dihentikan secepatnya dengan melakukan
perubahan mendasar terhadap pelaku bahasa yang di dalamnya ada jurnalis, guru,
dosen, mahasiswa, dan masyarakat.
Mengapa
berbahaya? Bahasa yang harusnya menjadi katarsis intelektual justru menjadi
buruk karena dijadikan alat membohongi, memalsukan, memersekusi, dan membenci
orang lain. Thomas Lickona (1991) merumuskan 10 tanda kehancuran bangsa yang
salah satunya yaitu penggunaan bad
language (bahasa dan kata-kata buruk) (Dwi Astuti Martianto, 2002, p. 2). Secara redaksional, bahasa tulisan
dan lisan bisa saja tidak buruk, namun pesan yang disampaikan bukan intelektual,
namun pembohongan, persekusi bahkan mendorong kebencian.
Penyebab
di atas, karena oknum jahat untuk kepentingan tertentu. Mereka tak memahami
hakikat bahasa. Dalam berita, misalnya, tak sekadar to inform (menginformasikan), namun juga to control (mengontrol), dan to
educate (mendidik). Kerusakan bahasa di atas harus dihentikan, sebab bahasa
harusnya menjadi alat menyuarakan kebebasan ke arah positif, bukan destruktif,
baik dalam karya jurnalistik maupun ilmiah, dan sastra.
Jika
kerusakan bahasa menjadi indikator kehancuran suatu bangsa, maka masyarakat
harus dididik memahami bahasa yang menjadi alat “katarsis intelektual” melalui
keterampilan berbahasa. Katarsis intelektual ini menjadi kunci masyarakat
menyuarakan segalanya.
Katarsis
Intelektual
Demi
perubahan sosial, kegiatan menulis dan berbicara menjadi katarsis intelektual untuk
menyuarakan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Katarsis intelektual merupakan
proses menyuarakan ide melalui lisan atau tulisan yang berangkat dari realitas
sosial.
Ada
beberapa katarsis intelektual yang bisa dilakukan. Pertama, produk tulisan dan
lisan harus mengedukasi tentang peran, fungsi, dan hakikat berbahasa yang tak sekadar
alat komunikasi. Bahasa juga alat mengontrol, katarsis, ekspresi, dan mengubah
kehidupan. Tanpa bahasa, manusia mustahil menyerap pengetahuan dan ide bernas
tentang segala sesuatu. Minimal, bahasa tulisan dan lisan menjadikan masyarakat
melek literasi yang tak latah termakan hoax.
Kedua,
pekerja bahasa seperti pewarta, penyair, peneliti, penulis, penerjemah, pewara,
pendakwah harus menyampaikan tiga rumus rerotika dalam karyanya. Mulai logos (ilmu), pathos (spirit), dan etos (etika).
Pesan yang mereka ekspresikan melalui bahasa lisan atau tulisan harus ada ilmu,
spirit, dan etikanya. Produk bahasa mereka harus mengedukasi masyarakat untuk
menata cara berpikir hingga menggerakkan perubahan.
Ketiga,
bahasa tulisan dan lisan harus berbasis intelektual, emosional dan spiritual
dengan mengutamakan perubahan sosial. Tak boleh jika berbahasa hanya dengan
prinsip sakarepe dewe (semaunya
sendiri). Namun harus menggunakan ilmu, substansi, berimbang, dan berdampak,
baik dalam karya jurnalistik, ilmiah maupun sastra.
Keempat,
melalui ekspresi bahasa tulisan dan lisan, pekerja bahasa harus mengampanyekan local wisdom sebagai khazanah budaya Nusantara.
Perubahan sosial erat dengan pemertahanan budaya bangsa. Sementara bahasa itu
sendiri, tidak bisa lepas akan budaya masyarakat.
Bahasa
merupakan penyangga budaya. Sebagian besar budaya terkandung dan diekspresikan
melalui bahasa, bukan melalui cara lain. Membahas bahasa, maka yang dibicarakan
adalah budaya (Purwo, 2000). Menjaga bahasa sama saja
menjaga budaya. Jika budaya sudah terjaga, maka bangsa ini maju dan bersinar
karena memiliki karakter.
Kunci Perubahan
Bahasa
tulisan atau lisan menjadi kunci perubahan. Tanpa ada alat menyampaikan pesan
dan gagasan, perubahan susah dicapai. Menjaga bahasa sama saja menjaga dunia,
karena tak ada bangsa besar tanpa bahasa yang dirawat dan digerakkan lewat
karya.
Tak
hanya Bahasa Indonesia, namun katarsis berbahasa harus menyentuh bahasa lokal
yang jumlahnya hingga Oktober 2017 ada 652 bahasa yang telah diidentifikasi,
dan divalidasi dari 2.452 daerah di Indonesia (Rachmawati, 2018).
Bahasa
menjadi alat perubahan yang mudah dan murah dikembangkan. Maka di era Revolusi
Industri 4.0 ini, masyarakat harusnya tak sekadar menguasai kemampuan literasi
lama (membaca, menulis, berhitung). Namun dituntut menguasai literasi baru
(data, teknologi, SDM/humanisme). Selain kompetensi dan karakter, bahasa
menjadi peranti literasi yang kini menjadi solusi perubahan sosial.
Bahasa
harus dijaga dengan prinsip pilar literasi (baca, tulis, arsip). Tanpa bahasa
sangat mustahil perubahan tercapai. Menggerakkan ide-ide perubahan melalui
bahasa sangat strategis dilakkan. Mengapa? Bahasa bukan segalanya, namun
perubahan sosial bisa berawal dari sana. Indonesia merupakan bangsa yang
berbahasa dan berbudaya, bukan bisu dan tuli. Jika tak bisa menggerakkan ide
untuk perubahan melalui bahasa dan katarsis intelektual, apakah kita ini bangsa
bisu dan tuli?
Daftar Pustaka
Dwi Astuti Martianto. (2002). Pendidikan Karakter:
Paradigma Baru dalam Pembentukan Manusia. Yogyakarta: BPFE.
Purwo, B. K. (2000). Bangkitnya Kebinekaan: Dunia
Linguistik dan Pendidikan. (1st ed.). Jakarta: Mega Media Abadi.
Rachmawati, B. I. (2018, February). “11 Bahasa Daerah di
Indonesia Dinyatakan Punah, Apa Saja?” Kompas.Com. Retrieved from
https://regional.kompas.com/read/2018/02/10/18293411/11-bahasa-daerah-di-indonesia-dinyatakan-punah-apa-saja
Tarigan, H. G. (1981). Berbicara sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa (1st ed.). Bandung: Angkasa.
-Tulisan
ini sudah pernah ikut Lomba Bulan Bahasa UGM 2018
Tambahkan Komentar