Oleh Hamidulloh Ibda
Dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah STAINU Temanggung

Pemuda baik pelajar atau mahasiswa sangat berperan dalam memberantas hoax (KBBI: hoaks), baik itu tulisan, gambar, maupun video. Bahasa memang menjadi “alat” komunikasi, namun hakikatnya bahasa menjadi wahana yang harus menyampaikan pesan benar, baik, dan indah, bukan hoaks.

Untuk itu, hoaks yang kian marak di media siber, media massa dan layanan pesan seperti WhatsApp, Line, Blackberry Messenger harus diputus mata rantainya melalui gerakan pemuda literat. Berita hoaks atau palsu menjadi dosa besar di era virtual. Produsennya, sama saja menyebar fitnah yang dosanya lebih kejam dari pembunuhan. Menyebar hoaks berarti menebar kekerasan. Sangat irasional jika Alquran, Injil, dan kitab suci lainnya tak menjadi rujukan kehidupan. Namun justru lebih percaya hoaks yang cenderung menarasikan kekerasan.

Era Revolusi Industri 4.0 membawa dua potensi, kehancuran atau kemajuan. Ketika pemuda latah, mereka akan mudah terprovokasi kekerasan karena pintu kebohongan lewat teknologi siber terbuka lebar. Jika terdidik, pemuda menjadikan teknologi menjadi alat berbuat perdamaian bukan sebaliknya.

Masalahnya, jumlah data Kominfo (2017) menyatakan jumlah penduduk Indonesia kini sekitar 250 juta jiwa. Jumlah ini menjadi pasar yang besar dan tergolong besar dalam penggunaan smartphone. Lembaga riset digital marketing Emarketer memprediksi, sampai 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang.

Hingga tahun 2018 ini, total penduduk Indonesia mencapai 262 juta orang. Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut, lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017. Dari total ini, ada 49,52 persen pengguna internet di negeri ini mereka berusia 19-34 tahun. Kedua, sekitar 29,55 persen pengguna internet Indonesia berusia 35-54 tahun. Ketiga, porsi 16,68 persen dihuni remaja usia 13-18 tahun. Kempat, orang tua di atas 54 tahun hanya 4,24 persen yang memanfaatkan internet (Kompas.com, 22/2/2018).

Jumlah di atas tiap hari, minggu, dan bulan pasti bertambah. Namun ironis jika mereka hanya menjadi “konsumen” dan tidak paham literasi. Memang benar, dunia virtual memudahkan masyarakat dalam menikmati kehidupan. Masalahnya, pemuda sekarang termasuk para pejabat, politik, dan tokoh publik justru turut menjadi produsen hoaks di era banjir teknologi ini.

Darurat Hoaks
Diakui atau tidak, kini Indonesia darurat hoaks. Selain masalah situs porno, media radikal, dan kriminal, media hoaks sangat bejibun dan meresahkan. Kominfo (2017) mendata ada 800.000 situs penyebar hoaks di Indonesia. Hal ini diprediksi akan terus tumbuh ketika menjelang tahun politik 2019 mendatang.

Fakta terbaru membuktikan hoaks diproduksi para orang-orang berkepentingan di dunia politik. Perbuatan Ratna Sarumpaet seniman dan aktivis, misalnya, ia menyebar hoaks dan membuktikan bangsa ini tak bisa lepas dari sensasi dan kebohongan. Apalagi ia sudah blak-blakan foto penganiayaan pada 21 September 2018 bohong, editan, dan rekayasa.

Faktanya, Ratna mengaku tak pernah dianiaya, wajah lebam karena operasi plastik, berbohong pada keluarga, Prabowo, Amien Rais, dan Tim Pemenangan Prabowo-Sandi. Apakah hanya mereka yang terkena getahnya? Tidak. Puluhan tokoh dari profesor, politisi, tokoh agama, pejabat terkena sihir hoaks Ratna yang berdampak pada pertikaian siber. Hakikatnya, Ratna tak hanya mengajarkan kehobongan, namun mendidik untuk mengetahui kebohongan.

Kita bisa belajar dari berita valid dan berita bohong. Kita harus punya teknologi intelektual untuk mendeteksi hoaks melalui teori kliping 5W+1H yang menekankan validitas informasi. Mulai dari what (apa), where (di mana), when (kapan), who (siapa), why (mengapa), how (bagaimana) dan klarifikasi. Jika sudah tahu rumusnya, lalu apa peran pemuda agar bisa literat (melek literasi) dalam memberantas hoaks?

Peran Pemuda
Hoaks dan gawai tak bisa dibenci, namun warganet terutama pemuda harus diedukasi mendeteksi dan memberantas hoaks untuk kebaikan, perdamaian tanpa radikalisme. Hoaks akan tumbuh subur dan sulit diberantas ketika pemuda tak melek literasi lama dan baru.

Ada beberapa strategi bisa dilakukan. Pertama, pemuda baik pelajar atau mahasiswa harus benar-benar literat dengan menggunakan metode wartawan dan ilmuwan dalam mendapatkan kebenaran atau berita. Pemuda saat ini hampir semuanya sekolah dan kuliah. Mereka juga mengonsumsi gawai tiap detik, jika mereka buta literasi hal itu sangat irasional dan konyol. Maka mereka hakikatnya tanpa diedukasi pun bisa memilah dan memilih mana yang hoaks dan valid.

Kedua, pemuda wajib mendasarkan kebenaran tak boleh 100 persen dari internet. Pemuda harus mencari data primer dari kebenaran itu. Jika tak bisa, maka informasi itu jangan ditelan mentah-mentah.

Ketiga, menyikapi hoaks sama halnya menyikapi radikalisme. Produsen hoaks tak semata untuk “sensasi”, melainkan lebih merusak perdamaian bangsa. Terbukti adanya sindikat Saracen dan lainnya yang memproduksi hoaks untuk pertikaian berbasis isu SARA.

Keempat, pemahaman dasar bahwa berita hanya informasi yang sifatnya belum final. Pola cover both side harus dipahami, informasi dalam karya jurnalistik dalam membangun kebenaran ilmiah mengutamakan validitas dan reliabilitas. Diktum bad news is a good news harus dilawan dengan good news is a good news atau peace news is a good news. Keempat, psikologi warganet harus dididik untuk tak kagetan, labil karena pengaruh viralitas informasi sehingga berbuat kekerasan.

Kelima, memutus mata rantai hoaks lewat edukasi literasi. Di era Revolusi Industri 4.0, Kemenristekdikti (2018) menyeru masyarakat menerapkan literasi baru (literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia/humanisme). Literasi baru ini pelengkap literasi lama (membaca, menulis, berhitung). Literasi baru mengamanatkan untuk ilmiah, berbasis data, humanisme, bukan hoaks dan radikalisme.

Hoaks sebagai produk kemunkaran tak bisa jika hanya “dicegah”. Pemuda harus “amar makruf” dengan mengajak masyarakat memilih berita valid dengan sumber ilmiah, ramah, dan mendeteksi dari aspek bahasa serta metode mendapatkan kebenaran. Jika sudah melek literasi, tak labil viralitas, maka ada sejuta hoaks pun pemuda tak bergeming terpengaruh apalagi membagikannya.

Kuncinya, pemuda harus literat untuk memberantas hoaks. Sudah saatnya gerakan literasi pemuda antihoaks digelorakan sejak dini. Gerakan ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana melalui media sosial, media siber, dan media massa lainnya. Caranya, pemuda harus mendeteksi bahasa, validasi data, dan sumber kebenaran berita/informasi dengan metode kliping 5W+1H di atas.

Jika hal itu sudah terbiasa dilakukan, maka memberantas hoaks bukan hal susah. Kuncinya, ada pada kemauan dan kemampuan pemuda itu sendiri. Maka gerakan pemuda literat harus dikampanyekan untuk memberantas hoaks. Jika tidak sekarang, kapan lagi?

-Tulisan ini sudah diikutkan lomba artikel pada Belapendidikan.com
Bagikan :

Tambahkan Komentar