Ilustrasi

Oleh Hamidulloh Ibda
Dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung, Ketua Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah

Dalam rangka menggalakkan budaya literasi, Kemendikbud menginisiasi tiga gerakan literasi. Mulai dari gerakan literasi nasional, gerakan literasi sekolah dan literasi dalam keluarga. Gagasan ini harus menjadi momentum kebangkitan literasi, salah satunya dengan mendesain perpustakaan sebagai destinasi “wisata literasi”.

Selama ini hampir semua sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini memiliki perpustakaan. Namun, kebanyakan hanya formalitas dan belum menjadi “wisata literasi”. Stigma perpustakaan yang penuh buku berdebu dan berjubel rak-rak, menjadikan “rumah ilmu” ini sepi pengunjung.

Berwisata ke perpustakaan juga belum menjadi “kebutuhan dasar”. Diakui atau tidak, selama ini warga kampus dan sekolah datang ke perpustakaan hanya ketika ada tugas akademik. Bahkan, perpustakaan sudah ditinggalkan karena sudah ada ponsel canggih yang bisa mengakses berbagai materi.

Destinasi wisata juga hanya dipahami wisata alam (darat dan laut), wisata kuliner, religi dan lainnya. Meski sudah ada istilah wisata edukasi, namun masih bias dan belum spesifik seperti wisata literasi.

Wisata literasi merupakan objek wisata yang menawarkan fasilitas untuk meningkatkan kemampuan berbahasa (menyimak, membaca, menulis dan berbicara). Apakah cukup itu? Tentu tidak. Sebab, pilar literasi menurut Phoenix (2017:6) tidak hanya baca dan tulis, namun juga pengarsipan. Arsip menjadi firsthand knowledge yang harus dijaga dan dikemas menarik sebagai “harta karun intelektual.

Perpustakaan menjadi representasi nyata untuk berwisata literasi. Rumah ilmu tersebut harus dikemas modern, memfasilitasi pengunjung untuk melek digital dan menjadi tempat pengembangan pengetahuan. Perpustakaan harus didesain sesuai basic need (kebutuhan dasar) warga sekolah/kampus. Artinya, perpustakaan harus menjadi prioritas utama “berwisata”. Sebab, sehari-hari jika pelajar “pusing” setelah mendapatkan materi di kelas, mereka bisa berwisata gratis dan mendapatkan hiburan edukatif di perpustakaan.

Perbaikan Sistem
Sistem pengarsipan dan manajemen perpustakaan di lembaga pendidikan selama ini belum optimal. Sebab, pengurus, manajemen dan sistem pengarsipannya sekadar formalitas. Padahal, tiap lembaga pendidikan memiliki alokasi dana untuk perpustakaan.

Kondisi seperti ini menjadikan perpustakaan tidak adanya bedanya dengan “gudang”. Banyak benda-benda yang tak terpakai “diungsikan” di perpustakaan. Fakta ironis ini harus dibenahi karena tidak ada perilaku “manusiawi” terhadap arsip ilmu pengetahuan. Kaum terdidik yang seharusnya “memuliakan” perpustakaan, justru menjadikannya sebagai “gudang rongsokan”.

Kaum akademik masih banyak yang belum memahami pentingnya literasi. Apalagi, era digital seperti ini mengharuskan mereka tidak sekadar “melek teknologi” saja, namun juga “melek literasi”. Apa itu melek literasi? Artinya, paham konsep dan implementasi literasi, baik dari aspek kemampuan berbahasa, menghargai semua karya ilmiah, baik berupa buku, laporan penelitian, jurnal, bahan ajar dan lainnya.

Sistem perpustakaan juga harus berkonversi menuju digital. Semua koleksi arsip harus berbasis modern. Buku menjadi e-book, jurnal cetak menjadi e-journal, hasil penelitian menjadi ­e-research, koran cetak menjadi e-paper, katalog manual menjadi e-catalog dan lainnya. Revitalisasi sistem perpustakaan harus diprioritaskan. Jika tidak ada inovasi, nasib perpustakaan selamanya hanya menjadi “gudang”.

Jika kaum akademik tidak memuliakaan perpustakaan, lalu bagaimana dengan nasib dan kualitas pelajar? Pasalnya, ukuran sekolah/kampus maju tidak sekadar dari akreditasi dan fisiknya, namun justru bisa dilihat kualitas baca dan majunya perpustakaan. Sebagus apapun gedung, akan sia-sia jika kualitas pelajarnya rendah. Sebab, kualitas intelektual ditopang intensitas dan varian literatur yang dibaca.

Rencana DPR yang akan mengesahkan RUU Sistem Perbukuan sebelum akhir masa sidang IV tahun 2016-2017 harus didukung. Jika sudah diregulasikan, sistem perbukuan di Indonesia akan makin “pro literasi”. Apalagi, ekosistem perbukuan menjadi pengembangan untuk menghasilkan buku bermutu, murah, dan merata dalam meningkatkan budaya literasi (Kompas, 24/4/2017).

Desain Wisata Literasi
Menghidupkan perpustakaan harus konsisten, menyesuaikan zaman dan kebutuhan. Sekolah maupun kampus harus mendesain perpustakaan menjadi wisata literasi dengan beberapa formula.

Pertama, perbaikan manajemen, struktur pengurus dan visi-misi perpustakaan. Visi-misi harus jelas, rapi, dan kontekstual. Pasalnya, kebanyakan perpustakaan stagnan dan mati karena tak jelas visi-misinya. Jangankan visi-misi, banyak perpustakaan di sekolah/kampus tak ada pengurusnya.

Kedua, perbaikan pengelolaan, mulai dari input dan output buku. Semua penghuni sekolah/kampus “wajib” punya kartu perpustakaan. Ketiga, penambahaan koleksi di luar disiplin ilmu pendidikan dan materi ajar. Perlu juga menjalin kerjasama dengan penerbit lokal maupun nasional agar koleksi bertambah.

Keempat, digitalisasi perpustakaan, mulai dari komputer, jaringan wifi, presensi online, hingga sistem pinjam-kembali buku. Kelima, desain fisik yang menarik. Artinya, mulai dari pintu masuk perpustakaan, harus ada “tulisan provokatif” berupa ajakan dan pesan-pesan moril yang variatif dan dihiasi pernak-pernik menarik.

Tujuannya, agar pengunjung nyaman, betah, dan merasa seperti di objek wisata. Apalagi aksesori “feminim” dan lucu menjadikan pengunjung “adem”. Semua itu didesain dalam nusansa hiburan agar bisa melepas penat dalam koridor edukasi.

Wisata literasi menjadi alternatif “wisata sungguhan” dan tak perlu membayar mahal. Perpustakaan bukan tempat “membosankan”, melainkan tempat wisata yang mampu meningkatkan kualitas. Gagasan ini juga bisa direalisasikan di perpustakaan daerah, taman baca maupun rumah baca.

Poin pentingnya adalah cinta literasi, buku dan ilmu pengetahuan. Juga berkiblat pada logos, bukan mitos. Pertanyaanya, kapan terakhir kita ke perpustakaan?

-Tulisan ini telah dimuat di Duta Masyarakat, Rabu 7 Juni 2017
Bagikan :

Tambahkan Komentar