Oleh Farid Ahmadi, M.Kom., Ph.D
Dosen Pascasarjana Unnes dan Ketum Himpunan Dosen PGSD Indonesia

Menristekdikti Prof Muhammad Nasir baru-baru ini mengancam memecat rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) jika ada kegiatan atau gerakan radikalisme di kampus. Ancaman ini sangat humanis, logis dan proporsional. Sebab, propaganda ormas radikal tidak sekadar urusan ideologi, namun juga agama, politik dan negara.

Menurut Menristekdikti, rektor menjadi penanggungjawab utama di kampus. Maka rektor harus mengontrol, mendelegasi, dan memonitor apa yang dilakukan pejabat di bawahnya. Mulai dari pembantu rektor, dekan hingga mahasiswa (Tribun Jateng, 8/5/2017). Sebenarnya, hal itu tidak tugas rektor saja, namun semua civitas akademika kampus harus waspada, terutama yang bersinggungan langsung dengan mahasiswa.

Adanya deklarasi “kampus antiradikalisme” di sejumlah PTN dan PTS di Indonesia dan khususnya Jawa Tengah tidak boleh seremonial saja. Kampus memang menjadi “lahan basah” penyebaran faham-faham radikal. Apalagi, mahasiswa yang kuliah, hidup jauh dari orang tua, karena mereka tinggal di kos, kontrakan, asrama dan pondok.

Lahan Basah
Dunia kampus berbeda dengan SMA. Sebab, pergaulan mahasiswa dan interaksi tanpa kontrol, adanya organisasi anti-Pancasila, membuat kampus menjadi lahan basah penyebaran faham radikal. Tidak hanya organisasi intra kampus seperti UKM dan pemerintahan mahasiswa (BEM, Senat, HMJ), namun organisasi kedaerahan dan ekstra kampus juga bergerak bebas di mimbar akademik.

Deklarasi kampus antiradikalisme jika hanya formalitas, maka mahasiswa pasti menjadi korban. Apalagi bagi mahasiswa baru yang berproses “mencari jatidiri” dan pengembangan intelektualisme. Mereka tentu sangat mudah didoktrin dan direkrut menjadi “kader” yang ujung-ujungnya melawan NKRI.

Sebagai bukti, belum lama ini beredar video deklarasi khilafah dan anti-Pancasila oleh para mahasiswa di salah satu kampus di Indonesia. Jika ini dibiarkan tentu menular ke seluruh Indonesia. Pola penyebarannya tidak hanya di dunia nyata, namun pemanfaatan teknologi juga harus diwaspadai. Seperti penyebaran ujaran kebencian (hate speech), broadcast pesan lewat WhatsApp, Line maupun Blackberry Messengger bernarasi provokasi dan melawan NKRI.

Apakah mahasiswa yang jumlahnya ribuan bisa dikontrol? Tentu susah. Maka harus ada pola pengawalan aktivitas mahasiswa. Pasalnya, penanaman jiwa toleran, cinta damai, tasamuh, dan nasionalisme tidak sekadar melalui perkuliahan, melainkan pejabat kampus harus “turun gunung” ke dunia mahasiswa di lapangan.

Karakter mahasiswa yang suka eksis dan “puber intelektual” harus menjadi perhatian kampus. Biasanya, mereka pamer dan fanatik terhadap organisasi yang diikuti. Jika organisasi yang diikuti pro Pancasila tentu tidak masalah, namun jika sebaliknya tentu berbahaya jika menyebar ke mahasiswa lain.

Komitmen Antiradikalisme
Jika dulu musuh kampus berupa seks bebas, narkoba, kekerasan fisik, namun saat bertambah faham radikalisme yang itu tidak tampak. Radikalisme di sini tidak hanya demo, kegiatan merusak, namun lebih pada “doktrin” dan cuci otak agar mahasiswa berideologi yang bertentangan dengan NKRI. Radikalisme berawal dari pembibitan faham-faham radikal, antitoleransi dan juga melawan negara. Ini bukanlah produk Indonesia melainkan asing dan menjadi bentuk penjajahan dalam pendidikan.

Meskipun pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), namun bukan berarti perang terhadap radikalisme yang disebarkan ormas anti-Pancasila selesai. Sebab, ide dan faham radikal bergerak cepat tanpa ada embel-embel ormas tertentu. Buktinya, akhir-akhir ini banyak yang lantang menyuarakan politik identitas yang mengangkat sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang menjurus pada intoleransi.

Komitmen antiradikalisme tidak boleh berhenti pada selembar kertas. Harus ada gerakan istikamah yang dilakukan bersama-sama. Pertama, pengawalan kegiatan organisasi mahasiswa secara komprehensif. Ini tidak pembatasan, namun kampus harus melakukan pengawalan kegiatan yang berpihak pada keutuhan NKRI. Jika ada organisasi mahasiswa yang jelas-jelas melawan NKRI, maka harus ditindak tegas.

Kedua, pendataan semua organisasi, terutama ekstra kampus. Biasanya, mereka berawal dari ekstra yang kemudian “menguasai” UKM dan BEM yang ujung-ujungnya menggunakan kekuasaan itu untuk merekrut kader. Namun, kampus harus demokratis terhadap kegiatan organisasi mahasiswa selama masih dalam koridor pro Pancasila dan mendukung Tri Darma Perguruan Tinggi. Sebab, tanpa adanya aktivis mahasiswa, maka pergerakan kampus sepi.

Ketiga, penerapan reward dan punishmen terhadap organisasi mahasiswa. Konsepnya, selain menunjang perkuliahan, semua kegiatan organisasi harus mendukung pengembangan intelektual, baik berupa bakat dan minat maupun riset ilmiah. Selama ini kampus cenderung “membatasi” organisasi ekstra karena distigma “mengancam” agenda kampus. Padahal jika dikomunikasikan, justru kampus bisa bersinergi dengan mereka dalam menjalankan kegiatan akademik.

Keempat, sinergi dengan Kopertis, Polri, TNI, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta masyarakat. Khusus di lingkungan sekitar kampus, masyarakat harus terlibat aktif mengawal kegiatan-kegiatan di kos/kontrakan mahasiswa. Pasalnya, setiap organisasi ekstra memiliki kantor di dekat kampus yang dijadikan pusat kegiatan. Jika kegiatannya sekadar diskusi materi kuliah tidak masalah. Namun jika berupa perkaderan dan indoktrinasi faham radikal dan ajaran sesat yang mengatasnamakan agama justru berbahaya.

Kampus sebagai mimbar akademik harus menjadi tempat penggemblengan generasi cinta NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Selain mencetak generasi cerdas intelektual, spiritual dan emosional, kampus bertanggungjawab menanamkan spirit nasionalisme. Jika berjalan maksimal, maka generasi intoleran, radikal dan sesat akan terputus otomatis.

-Tulisan ini sudah dimuat di Tribun Jateng Senin 15 Mei 2017 dengan judul asli Komitmen Kampus Antiradikalisme
Bagikan :

Tambahkan Komentar