Oleh Farid Ahmadi, M.Kom., Ph.D
Dosen Pascasarjana Unnes dan Ketua Umum Himpunan Dosen PGSD Indonesia Wilayah Jawa

Bahaya laten pedofilia harus dihentikan secara berjamaah. Kejahatan seksual ini sangat akut dan kini sudah dilakukan melalui media sosial (medsos), salah satunya Facebook. Akutnya pedofilia, juga dikarenakan minimnya pendidikan seks sehat dan hukum belum tegas. Dunia digital memang seperti belati, bisa untuk kebaikan namun juga bisa membunuh, begitu pula dengan medsos yang kini mengancam anak-anak.

Hal itu diperparah dengan budaya bermedsos di negeri ini, karena hampir semua anak-anak mulai dari usia SD sampai SMA sudah berkawan gadget yang pemakaiannya tanpa kontrol. Dari tahun ke tahun, fenomena pedofilia seperti musim hujan. Ia timbul lalu tenggelam, timbul lagi dan tenggelam lagi dan seterusnya.

Kejahatan para predator ini memang mengancam anak-anak jika tidak segera dihentikan berjamaah. Apalagi tidak semua masyarakat tahu apa itu “pedofilia”. Ironisnya, masih banyak guru dan dosen tidak paham dengan bahaya laten ini. Padahal mereka harus menjadi sumber informasi bagi pelajar dan mahasiswanya.

Bahaya Laten
Terbongkarnya akun Facebook bernama Official Candy’s Group yang menjadi tempat transaksi bisnis kaum pedofil yang anggotanya sekitar 7.000 sangat mengagetkan. Di sana menurut berita di media massa dinyatakan bahwa setiap anggota mesti aktif mengirim video dan gambar dan mereka tengah melakukan praktik pedofilia itu. Modusnya, di setiap gambar yang dikirim mesti dengan korban yang berbeda-beda (Koran Kompas, 21/3/2017). Sementara Facebook sendiri membiarkan praktik pornografi itu terus berjalan. Fakta ini sangat memprihatinkan.

Dari penelitian oleh tim Polri, akun Official Candy’s Group dibuat pada 2014. Para pelakunya telah diringkus polisi meski masih ada belasan akun serupa yang pengelolanya kini terus diburu. Di sini yang harus dikritisi, Facebook seperti menganggap dirinya lapangan terbuka yang membolehkan konten apa saja memenuhinya. Belum usai masalah hoax news (berita bohong) dan fake news (berita palsu) yang beredar bebas di Facebook, kini medsos yang digemari warga Indonesia menjadi wahana kejahatan pedofilia.

Istilah “Facebook adalah pasar bebas” ternyata ada benarnya. Buktinya, Facebook lalai dalam mengurus kejahatan seksual. Tidak heran jika Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Facebook bertanggung jawab terkait penyebaran informasi pedofil yang tersebar melalui sebuah akun penggunanya. KPAI menilai Facebook turut andil dalam melakukan pembiaran.

Layanan jejaring sosial yang pertama kali diluncurkan pada Februari 2004 di Amerika Serikat ini juga dinilai tidak bisa menyaring konten penggunanya yang terindikasi melanggar hukum dan kebudayaan Indonesia. Ironisnya, orang tua juga “lalai” dan menganggap sepele aktivitas bermedsos anak-anaknya.

Pada 2014 Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak telah menyatakan Indonesia “darurat pedofilia”. Begitu pula Kementerian Sosial dan MUI yang juga menyatakan darurat pornografi dan pedofilia. Bahkan, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan ada kasus yang teramat mencengangkan, seorang kakek yang bertahun-tahun melakukan kejahatan pedofilia dan inses. Ia menggauli tiga anaknya, para cucu dan cicitnya (Media Indonesia, 21/3/2017). Fenomena ini sangat memprihatinkan. Tapi kita tidak bisa memaknai kata darurat sebagai hal penting, begitu pula di dunia pendidikan. Padahal darurat itu kondisi gawat, genting, kritis dan menakutnya.

Oleh karena itu, memberantas pedofilia amat mendesak dan secepatnya, karena jumlahnya kian meningkat dan menyebar di berbagai wilayah hampir seluruh pelosok negeri. Jika tidak segera dituntaskan secara berjamaah, penyakit akut ini akan menjalar karena seperti virus yang terbukti “mati satu tumbuh seribu”.

Berjamaah
Biro Penyelidik Federal Amerika (FBI) pada tahun 2014 telah mengingatkan korban pedofilia di Indonesia tertinggi di Asia. Data ini menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah masih menganggap pedofilia sebagai “masalah sepele” dan belum dianggap “darurat”. Maka semua elemen harus berjamaah memberantas penyakit mental ini, karena pelakunya saat ini sudah terorganisir, terstruktur dan terencana melalui pemanfaatan alat-alat modern.

Sejumlah cara harus dilakukan. Pertama, pola pikir masyarakat harus diubah dengan cara edukasi dan gerakan “antipedofilia”. Melalui edukasi di sekolah, kampus, pondok pesantren, komunitas-komunitas peduli pendidikan, gerakan antipedofilia harus digaungkan.

Kedua, lewat pendidikan, guru dan dosen perlu melakukan “pendidikan seks sehat”. Hal ini penting, karena banyak kasus menyebut pelaku dan korban tidak tahu bahwa perilakunya melanggar hukum dan amoral. Pendidikan antipedofilia juga harus digaungkan di semua jenjang pendidikan, terutama pendidikan dasar karena banyak korban pedofil adalah anak-anak SD dan MI.

Ketiga, perlu hukuman tegas bagi pelaku pedofilia. Lemahnya hukum di Indonesia menjadikan predator pedofil tak ciut nyali melakuan aksinya. Padahal, sudah lama pemerintah mewacanakan pengebirian kepada para predator tersebut. Indonesia bisa belajar kepada negara yang menerapkan hukuman kebiri seperti Argentina, Australia, Korea Selatan, Polandia, Rusia, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat.

Ketegasan pemerintah menjadi ruh pemberantasan pedofilia. Pelaku harus dikenakan pasal berlapis agar jera dan tobat. Mulai dari pasal UU No 44/2008 tentang Pornografi, UU No 17/2016 tentang Perlindungan Anak dan KUHP, UU No 11/ 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan, perlu adanya hukuman penjara seumur hidup, hukuman kebiri dan lainnya.

Keempat, sebagai pencegahan dini, internal Facebook harus memaksimalkan “patroli siber”. Pasalnya adanya kasus pedofilia yang sudah beberapa kali membuktikan Facebook lalai memperhatikan keamanan produknya. Facebook harus diurus serius. Melalui Kemkominfo, gambar-gambar porno yang amat mudah diakses anak-anak harus diblokir dan semua akun yang terindikasi untuk kejahatan seksual harus segera ditindak.

Terakhir, pemerintah melalui kementerian dan dinas apa saja, perlu melakukan “kampanye besar-besaran” antipedofilia kepada masyarakat terutama di desa-desa. Hal itu tidak hanya melalui baliho, namun juga iklan layanan masyarakat agar menjadi perhatian serius masyarakat untuk mendeteksi dan mencegah bayaha laten tersebut.

Tugas memberantas pedofilia adalah tugas bersama, berjamaah dan tidak bisa digantungkan pada pemerintah saja. Masyarakat harus berperan aktif dalam mencegah, mendeteksi dan memberantas pedofilia. Jika tidak, maka kaum pedofil yang berjamaah menghantui kita. Menakutkan!

-Tulisan sudah dimuat di Koran Wawasan Selasa 4 April 2017

Bagikan :

Tambahkan Komentar