Oleh Dian Marta Wijayanti
Ibu Rumah Tangga, Guru SD Negeri 1 Sampangan UPTD Gajahmungkur Kota Semarang

Menarik membaca artikel berjudul “Membangun Keluarga Tangguh” oleh Siti Qomariyah (SM, 20/11/2015) yang menegaskan keluarga tangguh menjadi jawaban atas perceraian dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menjamur. Namun, penulis belum banyak menyinggung bahwa sebenarnya akar dari kedua masalah itu adalah masalah pasangan, yaitu harus selektif memilih pasangan.

Salah memilih pasangan menjadi awal kehancuran rumah tangga dan menjadi pintu gerbang pertikaian, KDRT, ketidakharmonisan dan puncaknya perceraian. Padahal menikah tak hanya menyatukan dua hati, namun menyatukan dua keluarga, yaitu keluarga suami dan istri. Jadi, sebenarnya menikah memiliki tanggung jawab sosial yang besar dan tidak bisa main-main.

Data Kemenag RI menyebutkan angka perceraian di Indonesia pada 2010-2014, dari sekitar 2 juta pasangan menikah, 15 persen cerai. Angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia tahun 2014 mencapai 382.231, naik sekitar 100.000 kasus dibandingkan dengan pada 2010 sebanyak 251.208 kasus (Kompas, 30/6/2015).

Di Jawa Timur tahun 2015, angka perceraian diperkirakan mencapai 100 ribu kasus dan di Jawa Tengah sekitar 12.000 kasus perceraian terjadi setiap tahunnya. Jika diakumulasi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) merillis tiap jam, terjadi 40-50 pasangan melakukan cerai perjam tiap tahunnya.

Agar semakin menipis angka perceraian di atas, pasangan yang dibutuhkan tidak sekadar mapan harta dan jabatan saja, namun harus mapan psikisnya dan cara berpikirnya. Penelitian Kristina (2014) menyebutkan saat ini 97 persen pasangan berumur 19-27 tahun, motivasi mencari pasangan adalah yang kaya dan memiliki jabatan, sedangkan latar belakang keluarga, moralnya, pendidikan dan kematangan psikisnya tidak dipedulikan. Mereka hanya ingin “mapan materi” saja, namun “mapan rohani” dinomorduakan.

Akhirnya, karena tujuannya harta dan jabatan, maka keluarga mereka tidak kuat dan perceraian pun menjamur. Hal itu tak hanya terjadi di kalangan artis, namun juga masyarakat biasa. Mereka miskin orientasi sejati dalam berumah tangga. Padahal menikah adalah ibadah yang tak bisa sembarangan dalam memilih pasangan.

Selektif Memilih Pasangan
Memilih pasangan hidup tak seperti memilih baju. Sebab, sebagus-bagusnya baju yang sudah dipilih dari toko, lambat laun akan lusuh dan ditinggalkan ketika ada yang baru. Akan tetapi, memilih suami/istri tidak demikian. Mengapa? Karena menikah, semakin lama harus semakin membahagiakan, bertambah kualitas cinta dan menipisnya rasa bosan terhadap pasangan. Sebaik-baiknya pernikahan adalah sekali, meskipun agama Islam memperbolehkan empat kali.

Kompleksitas masalah rumah tangga, mahalnya biaya kehidupan, susahnya mencari pekerjaan dan banyaknya kebutuhan rumah tangga, menjadikan suami dan istri harus kuat lahir dan batin. Artinya, jika pasangan yang dipilih hanya brorientasi pada materi dan materi, pasti tidak kuat dengan gempuran ekonomi dan tidak memiliki makrifat batin yang kuat untuk melewati masalah keluarga.

Maka dari itu, orang Jawa dan umumnya Indonesia sejak dulu sudah menerapkan tiga prinsip memilih jodoh, yaitu “bibit, bebet dan bobot”. Pertama, bibit yang lebih menekankan pada keturunan. Kedua, bebet yang lebih menekankan pada teman dan lingkungan pergaulan. Ketiga, bobot yang lebih menekankan pada diri pribadi calon jodoh yang akan dipilih.

Sementara itu, Nabi Muhammad SAW melalui hadistnya juga berpesan bahwa alasan menikahi pasangan karena empat perkara, yaitu karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya.

Dasar di atas, sebenarnya semua syarat baik jasmani dan rohani itu penting. Namun yang paling penting sebenarnya adalah masalah agama, moral, psikis dan mental, bukan hanya harta dan jabatan. Menikah adalah urusan ibadah yang bisa dijadikan lahan amal dunia dan akhirat.

Jika hanya mengutamakan materi, dipastikan kalau materi habis, cinta seorang istri pada suami akan luntur, karena tidak didasari ibadah kepada Tuhan dan sarana berbuat baik lebih banyak lagi.  Oleh karena itu, untuk mewujudkan keluarga tangguh dan bisa dijadikan ladang amal dunia akhirat, diperlukan pasangan revolusioner yang bisa diajak berjuang, bersusah-susah dan bersenang-senang bersama. Mengapa? Pasangan sejati adalah yang siap senang dan siap susah bersama-sama.

Pasangan Revolusioner
Pasangan revolusioner adalah sosok ideal yang tidak bisa dinilai secara subjektif, namun objektif antara dua pihak, yaitu calon suami dan calon istri serta keluarga kedua belah pihak. Ada beberapa ciri pasangan revolusioner. Pertama, matang secara batiniyah, bukan sekadar cukup umur saja. Syamsul Fadzli (2015) menjelaskan pasangan baik itu yang matang emosinya, bukan secara materi. Sebab, materi bisa dicari, namun kedewasaan psikis perlu proses panjang dan tidak bisa melalui proses instan.

Kedua, mengutamakan “kenyamanan” daripada “kemapanan”. Untuk meraih keluarga harmonis, dalam buku Stop Pacara Ayo Nikah (Hamidulloh Ibda, 2014) menjelaskan kunci utamanya adalah kenyamanan, bukan kemapanan. Mengapa? Kemapanan adalah almarinya, sedangkan kenyamanan adalah kuncinya. Jika pasangan ingin meraih derajat keluarga sakinah mawaddah warahmah yang mapan lahir serta batin, maka kuncinya adalah kenyamanan psikis, pikiran dan hati yang kompatibel.

Ketiga, pasangan revolusioner bisa mendidik, merawat dan mengajarkan pada pasangan bagaimana caranya menyatukan dua hati dan dua keluarga, yaitu keluarga suami dan istri. Keempat, pasangan sejati harus bisa memberi kail, bukan hanya memberikan ikannya saja. Dalam hidup berumah tangga, tidak selamanya istri hanya menerima nafkah, namun perlu diajarkan mandiri agar ke depan bisa mendidik anak-anaknya menjadi pribadi revolusioner yang mandiri tidak “manja”.

Kelima, rumah tangga yang kuat, awalnya pasti didasari dengan kejujuran, keluasan hati menerima kekurangan dan kelebihan pasangan. Jika sudah jujur dan menerima antarpasangan, dalam menghadapi badai rumah tangga sekencang apapun, mereka akan tetap bertahan dan antiroboh.

Di sisi lain, pemerintah melalui Kemenag, perlu menambah kursus pranikah atau edukasi pernikahan. Hal itu sudah dilakukan oleh Kemenag Kota Pekalongan, Jawa Tengah yang mewajibkan para calon pengantin mengikuti kursus sebelum melangsungkan pernikahan sebagai upaya mengantisipasi tingkat perceraian (Antarajateng.com, 22/11/2015).

Selama ini, perempuan dinilai hanya bisa “menerima dan menolak” tapi tidak bisa “memilih” pasangan. Padahal, hak perempuan sama, yaitu bisa memilih pasangan seperti kaum adam.

Pasangan revolusioner menjadi syarat terbangunnya keluarga revolusioner. Kita tahu, pendidikan keluarga menjadi awal suksesnya pendidikan dalam sekolah dan di masyarakat. Zainudin MZ (1999) menjelaskan sukses dalam keluarga menjadi syarat sukses di kantor, di pemerintahan dan di masyarakat.

Hakikatnya, pasangan revolusioner menjadi syarat suksesnya pendidikan di solusi atas problem sosial di Indonesia. Sudah saatnya kita mencari dan membangun pasangan revolusioner, baik yang sudah menikah atau yang belum. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

-Tulisan ini sudah dimuat di Rubrik Perempuan Suara Merdeka pada tahun 2015

Bagikan :

Tambahkan Komentar