Oleh Dian Marta Wijayanti
PNS Dinas Pendidikan Kota Semarang dan Mantan Asesor EGRA USAID Prioritas

Belakangan ini Indonesia diusik dengan aksi-aksi intoleransi, radikalisme dan persekusi yang mengancam perdamaian dan keutuhan NKRI. Bahkan, ada penyusup tersembunyi masuk ke bangku sekolah dan kampus yang menyebarkan aliran-aliran keras tanpa filter. Mereka menyamar menjadi ormas, komunitas, dan menyusup di kurikulum, baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenristek Dikti.

Saat ini toleransi menjadi “barang langka”, padahal karakter manusia Indonesia terkenal dengan “guyub rukun”, damai, dan memanusiakan manusia. Adanya ormas radikal dan pelaku persekusi semakin memperkeruh tatanan bernegara, maka di sinilah literasi toleransi menjadi urgen.

Literasi dalam pendidikan tidak sekadar kemampuan berbahasa saja. Melainkan juga kemampuan mendapatkan pengetahuan dan melek digital untuk melawan segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal. Hal ini menjadi urgen karena gempuran hoax dan fake news makin merajalela dan mengadu domba anak bangsa.

Upaya pelemahan nasionalisme dan kerukunan agama melalui gerakan nyata dan media maya harus dilawan bersama-sama dengan bekal literasi toleransi. Ormas Islam yang pro Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika bisa saja melawan pendirian negara khilafah secara fisik. Akan tetapi, generasi muda harus dibekali dengan “kemampuan literasi” yang menebalkan toleransi, spirit hidup damai dan rukun.

Toleransi tidak sekadar urusan bersosial, namun juga berkaitan dengan aspek pengetahuan, kelembutan sikap dan juga cara berpikir. Perlu adanya cetak biru literasi toleransi yang dimasukkan ke dalam kurikulum atau sub dari materi pelajaran di sekolah dan kampus.

Minimnya budaya baca di Indonesia memperburuk kualitas pendidikan yang dampaknya pada “kejumudan”. Jika masyarakat “bodoh” dan buta literasi, maka sangat mudah disusupi aliran, faham dan doktrin radikal. Sangat wajar jika stigma-stigma kafir, komunis, bidah, liberal selama ini disampaikan dengan narasi kebencian yang mewabah di Nusantara.

Literansi Toleransi
Kemendikbud menargetkan pada 2017-2020, Kurikulum 2013 (K13) diterapkan di jenjang SD, SMP dan SMA/SMK. Sementara di tahun 2017 ini, untuk SMA/SMK sudah hampir rampung semua. Di tahun 2017, Kemendikbud memasukkan literasi melalui K13 sebagai unsur peningkatan kualitas pendidikan, mulai dari gerakan literasi nasional, gerakan literasi sekolah dan dalam keluarga. Momentum ini sangat relevan untuk memasukkan unsur pendidikan toleransi melalui kegiatan literasi.

Dari konsep yang ditawarkan, Kemendikbud mendorong sekolah menerapkan sejumlah rumusan literasi. Pertama, literasi dasar (basic literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung. Kedua, literasi perpustakaan (library literacy), berupa kemampuan lanjutan untuk bisa mengoptimalkan literasi perpustakaan. Ketiga, literasi media (media literacy) berupa kemampuan mengetahui berbagai bentuk media, seperti media cetak, elektronik (radio, televisi), digital (internet), dan memahami tujuan penggunaannya.

Keempat, literasi teknologi (technology literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Kelima, literasi visual (visual literacy), berupa pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi. Pada tahap ini, tujuan akhirnya mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat (Kemendikbud, 2017: 1-2).

Melalui literasi yang komprehensif dan saling terkait ini, tidak hanya mendorong pelajar “melek ilmu”, namun juga melek terhadap media, gempuran hoax, ancaman intoleransi dan juga melawan situs-situs radikal. Konsep ini sangat relevan karena era saat ini warga negara global dihadapkan berbagai ajaran-ajaran dan tindakan menyimpang yang sangat berseberangan dengan spirit NKRI dan ideologi Pancasila.

Kelima keterampilan di atas, perlu diawali dengan literasi usia dini di PAUD dan usia dasar di SD. Kemampuan itu mencakup fonetik, alfabet, kosakata, sadar dan memaknai materi cetak (print awareness), dan kemampuan menggambarkan dan menceritakan kembali (narrative skills).

Secara konseptual dalam pembelajaran, anak-anak perlu mendapat jam baca” tambahan untuk mendalami wawasan kebangsaan melalui kegiatan literasi. Bisa membaca dan bedah buku, diskusi kelompok, serta mengkaji materi-materi dari media yang sedang ramai dibicarakan publik. Guru maupun dosen, bisa memanfaatkan jenjang literasi di atas untuk mengenalkan empat pilar kebangsaan sebagai pemerkuat nasionalisme.

Guru dan dosen juga diwajibkan memberikan contoh baik teoretis maupun empiris tentang perjuangan bangsa, pahlawan, pluralisme, dan juga gagasan kebangsaan yang identik dengan perdamaian. Sebab, wabah intoleran itu tumbuh lantaran pendidikan yang berporos pada aspek kognitif (pengetahuan) saja, sementara aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) selalu dinomorduakan.

Peran Pendidikan
Sebagai penyemai kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional, sekolah dan kampus sangat strategis melawan intoleransi dan persekusi. Kampus harus memperketat kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler para mahasiswa di luar jam kuliah. Banyak kegiatan bernuansa religi tapi isinya adalah perkaderan radikalisme.

Pengalaman penulis saat kuliah dulu, awalnya kegiatan seperti itu memang mengenalkan ajaran agama secara umum. Namun, dalam perjalanannya berubah dengan agenda provokasi dan doktrin penyebaran faham radikal. Ini harus menjadi perhatian serius elemen kampus.

Pemerintah harus inovatif dalam program kebhinekaan di sekolah dan kampus. Sekolah dan kampus perlu memberi ruang pada pelajar dan mahasiswa beda agama. Sebab, tidak semua pelajar dan mahasiswa beragama Islam. Semua sekolah dan kampus harus memberikan pelayanan pendidikan agama yang sesuai imbang, merata, dan sesuai kepercayaan yang dianut pelajar dan mahasiswa.

Indonesia yang beragam tidak bisa diusik dengan hadirnya ormas, aliran, serta kelompok-kelompok yang anti-NKRI, anti-Pancasila. Hal itu harus dilawan karena mereka sudah terang-terangan masuk sekolah dan kampus. Namun peran sekolah tidak bisa maksimal jika semua elemen tidak bersinergi, mulai dari pemerintah (Kemendikbud dan Kemenristek Dikti), orang tua, masyarakat, tokoh agama, BNPT, kepolisian dan TNI.

Jika semua elemen bersinergi, Indonesia dipastikan tetap menjadi Indonesia sampai kiamat. Semua pendiri bangsa ini mengamatkan kepada kita menjaga NKRI sampai mati. Hanya NKRI yang menampung beragam suku, agama, warna kulit dan aliran kepercayaan beragam. Maka rumusnya, perkuat literasi toleransi, pertegas peran sekolah dan kampus untuk membentengi intoleransi, radikalisme dan persekusi di negeri ini.


Tulisan ini sudah dimuat di Harian Duta Masyarakat hari ini 15 Juli 2017

Bagikan :

Tambahkan Komentar