Ilustrasi

Oleh Sumardjan, SPd, M.MPd
Kepala SDN 01 Tutup Kabupaten Blora

Mungkinkah Indonesia benar-benar bisa terbebas dari narkoba di tahun 2017 ini? Ternyata, narkoba bisa mendera siapa saja, tidak hanya kalangan elit, pejabat, namun kalangan artis juga selalu identic dengan narkoba. Seolah-olah, kita memang dalam kondisi darurat narkoba dan generasi bangsa harus diselamatkan.

Di tiap presiden, pola pemberantasan narkoba memang berbeda. Di era Jokowi-JK, pemberantasan narkoba juga belum terlihat tegas. Dalam sejarahnya, pada Juni 2012, saat membuka acara Internasional Drug Enforcement Conference XXIX di Denpasar, Wakil Presiden Boediono berpidato dan menyerukan pemberantasan narkoba akan tuntas pada 2015. Hal ini sangat relevan untuk dikaji ulang pada peringatan Hari Antinarkoba Sedunia yang jatuh pada 26 Juni 2014 lalu. Indonesia tidak bisa bebas dari narkoba jika di Jawa Tengah sendiri belum bebas narkoba.

Di tengah ngototnya pemerintah dalam upaya pemberantasan narkoba belakangan ini terkuak pula pesta narkoba yang ditengarai dilakukan oleh selebritis Raffi Ahmad dan teman-temannya. Ini kembali mencoreng muka dunia selebritis kita. Kesannya, dunia selebritis sangat dekat dengan barang haram tersebut. Pada dasarnya itu merupakan berita baik, karena satu lagi permasalahan tentang penyalahgunaan kembali terkuak, apalagi disebut-sebut salah satu dari yang dinyatakan positif sebagai pengguna narkoba itu terkait dengan sindikat pengedar narkoba.

Hanya saja, buruknya adalah seorang artis dan politisi kawakan seperti Raffi Ahmad dan Wanda Hamidah yang anggota DPRD DKI Jakarta (meskipun dinyatakan negatif) dan Ridho Rhoma anak sang Raja Dangdut, sudah sempat menurunkan pamor dan citra mereka sendiri di kalangan masyarakat. Seharusnya sebagai publik figur, mereka mampu memberikan contoh yang baik kepada masyarakat untuk jauh dari barang haram tersebut. Seharusnya mereka juga belajar dari pendahulu pendahulu mereka yang juga tersandung kasus yang sama.

Kurang Tegas
Optimisme dan target memang mutlak diperlukan, namun untuk kelas negara sebesar Indonesia target juga perlu dipertimbangkan. Apalagi mengingat belakangan ini Indonesia, negara kita ini, tengah disebut-sebut sebagai surga pengedaran narkoba. Banyak mafia-mafia narkoba kelas kakap, taraf internasional yang berdagang narkoba ke negeri kita. Saya cukup antusias membaca berita tentang penggagalan peredaran narkoba belakangan ini.

Nilai transaksi narkoba di Indonesia mencapai Rp. 42,8 Triliun per tahun dengan kerugian ekonomi yang disebabkannya, seperti biaya konsumsi narkoba, pengobatan, proses hukum dan rehabilitasi, yang terus meningkat pertahunnya. Pada tahun 2008 kerugian ekonomi yang disebabkan oleh narkoba mencapai Rp. 32, 4 triliun, meningkat drastis pada tahun 2011 yang mencapai Rp. 48,3 triliun.

Ini malah berbanding terbalik dengan target pemerintahan tadi, jumlah kasus narkoba dan tersangka juga bukannya menurun namun malah semakin bertambah dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2011, jumlah kasus narkoba yang diperoleh dari Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, Badan Narkotika Nasional, dan pemberitaan media menyebutkan ada sekitar 17.383 kasus narkoba, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 17.702 kasus.

Untuk tersangka juga mengalami hal serupa, tahun 2011 jumlah tersangka kasus narkoba mencapai 22.936 tersangka, meningkat drastis pada tahun 2012 menjadi 23.425 tersangka. Namun rupanya ini disebut oleh Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan bukan ancaman. Menurutnya ini hanya ancaman bagi kesehatan generasi muda.

Penulis sendiri tidak sepakat dengan pendapatnya, memang ini mengancam kesehatan generasi muda, belum kepada bangsa. Namun ketika semua generasi muda rusak, bukankah bangsa juga yang akan repot. Tidak punya penerus lagi. Ini jelas sebuah ancamanan. Untuk menghancurkan sebuah bangsa tidak perlu harus memporak porandakan negara itu langsung. Bisa saja perlahan dengan menghancurkan generasi penerus bangsanya bukan?

Pemberian grasi secara berlebihan juga patutnya dihindari, dalam kasus narkoba berskala besar yang melibatkan mafia luar negeri sering kita mendengar pemberian grasi yang kontroversial. Misalnya pada 2011 lalu, Meirika Franola alias Ola, tersangka Vonis hukuman mati kasus narkoba mendapat grasi hukuman seumur hidup. Mei 2012, Schapelle Leigh Corby, vonis 20 tahun penjara mendapat grasi 15 tahun penjara, Peter Achim Franz Grobhmann, vonis 5 tahun mendapat grasi 3 tahun penjara. Selain itu juga ada remisi-remisi setiap 17 Agustus yang diberikan kepada tersangka kasus narkoba.

Sulitnya lagi adalah, sangat keterlaluan sekali membaca berita bahwa meskipun tersangka sudah mendekam di penjara, namun mereka masih bisa mengendalikan pengedaran barang haram tersebut. Ya, dibalik jeruji mereka masih punya kendali dalam berbisnis. Beberapa waktu lalu, harian Kompas memberitakan tentang penangkapan 26 orang pengedar narkotika yang dikendalikan oleh tiga terpidana kasus narkoba yang mendekam di LP Nusa Kambangan dan LP Cipinang. Ketiga orang tersebut merupakan Bandar internasional yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Nigeria. Harusnya semua akses ditutup seketika.

Mencapai Target
Memang, permasalahan narkoba bukan hanya masalah di Indonesia, namun juga masalah dunia. Mafia-mafia narkoba punya jaringan yang sangat luas. Narkoba juga bukan tindak kriminal yang biasa. BNN sendiri menyebutkan bahwa tindak pidana Narkoba merupakan sebuah Extra Ordinary Crime. Jadi penanganannya juga harus tidak biasa.

Rokhmah Nurhayati (2014) menjelaskan bahwa memberantas narkoba tidak cukup hanya bergantung pada petugas kepolisian dan BNN, Masyarakat dan Media Massa juga punya peran penting dalam pemberantasan narkoba tersebut. Seperti halnya penggerebekan rumah Raffi Ahmad yang katanya berasal dari pengaduan masyarakat, cukup terlihat bahwa masyarakat sudah mulai sadar betapa bahayanya barang haram tersebut. Sosialisasi di sekolah dan kampus-kampus juga perlu ditingkatkan. Karena target pasar narkoba memang adalah generasi muda. Bahkan kita bisa saja sedang berada tepat di samping pengkonsumsi narkoba sekarang. Siapa tahu.

Zulkarnaen Nasution (2013) menyatakan hingga kini Indonesia pertahunnya hanya mampu menurunkan presentase pengedaran narkoba sebesar 10 persen pertahun. Jadi dalam dua tahun kedepan hanya mencapai 20 persen. Tapi antusiasme dan semangat pemerintahan presiden SBY patut kita acungi jempol. Semoga strategi yang digunakan tepat.

Kita sebagai masyarakat hanya bisa membantu melalui pengawasan terhadap lingkungan sekitar saja. Terutama anak-anak dan saudara kita. Jangan sampai mereka juga terlibat dalam pengguna narkoba, apalagi pengedar. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat sangat berperan penting untuk menjaga generasi muda kita dari kebobrokan moral, dalam hal ini penggunaan narkoba.

Soal target bebas narkoba 2017, ya kita optimis sajalah, berharap juga kepada aparat agar jangan sampai kehilangan kepercayaan masyarakat. Semoga Indonesia benar bisa bebas dari narkoba, Semua itu harus dilakukan secara berjamaah dan tidak bisa sendiri-sendiri.
Bagikan :

Tambahkan Komentar