Ilustrasi
Oleh Hamidulloh Ibda

Full day school atau sehari sekolah penuh selama lima hari yang digagas Mendikbud, Muhadjir Effendy saat ini dalam “status qou”. Sebab, gagasan Mendikbud tersebut ditolak berbagai kalangan karena menilai gagasan tersebut tidak tepat diterapkan di pendidikan dasar (SD dan SMP). Apalagi, Mendikbud juga menyatakan membatalkan gagasan tersebut karena banyak yang tidak setuju.

Langkah Mendikbud tersebut entah sekadar sensasi atau basa-basi belaka. Padahal, Wapres Jusuf Kalla telah memberi “lampu hijau” gagasan tersebut. Sebab, Wapres menilai sekolah lima hari menjadi bagian dari representasi program Nawacita. Lalu, apa sebenarnya maksud Mendikbud atas gagasan tersebut?

Meskipun belum resmi menjadi Peratuan Menteri (Permen) dan masih wacana, namun kontroversi bermunculan dan Mendikbud masih mengkajinya. Alasan Mendikbud menerapkan gagasan tersebut sebenarnya bagus untuk jangka panjang. Namun, Mendikbud luput dan tidak memperhatikan aspek psikis peserta didik, kinerja dan jam mengajar guru serta dampak pendidikan non formal yang ditempuh anak.

Mendikbud juga berasalan, jika full day school diterapkan, orang tua bisa berangkat bersama anaknya, begitu pula ketika pulang pada sore bisa bersama anak-anak lagi. Lebih dari itu, dengan libur 2 hari (Sabtu dan Minggu), anak dan orang tua memiliki waktu berharga lebih panjang.

Status Quo
Adagium “ganti menteri ganti kebijakan” ternyata benar. Dalam hal ini, Mendikbud memang tidak mengganti kurikulum, namun ia justru membuat gagasan baru full day school yang menilai bahwa sekolah sehari penuh di sekolah bisa membangun kualitas pelajar dan bisa meminimalkan kekerasan dan kenalakan pelajar.

Akan tetapi, hal itu menjadi bumerang bagi kelangsungan pembelajaran. Pertama, wacana tersebut jika diterapkan akan mengacaukan psikis pelajar. Sebab, usia SD dan SMP tidak bisa terlepas dari lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, full day school sangat paradoks terhadap perkembangan peserta didik. Apalagi, kebutuhan dasar pelajar SD selain belajar, menurut Teguh Supriyanto (2014) adalah bermain dan berimajinasi. Jika full day school diterapkan, maka konsepnya tidak sekadar belajar seharian di dalam kelas, namun anak-anak harus diberi ruang untuk bermain agar tidak stres.

Belum lagi, para guru juga pasti akan terseok-seok dengan full day school. Sebab, secara kinerja, gaji dan prinsip humanisme, guru akan menuntut gaji yang lebih jika wacana tersebut diterapkan. Hal ini tentu berdampak pada APBN dan APBD karena mereka harus diberi gaji tambahan. Apalagi bagi mereka yang statusnya belum PNS, tentu akan keberatan dengan gagasan tersebut. Sebab, kebanyakan para guru honorer setelah mengajar, mereka bekerja lagi untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Jika gagasan ini diterapkan, bagaimana dengan nasib mereka?

Ketiga, sekolah lima hari yang digagas Mendikbud ini sebenarnya kurang mendasar dan luput memperhatikan Tri Pusat Pendidikan, yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Artinya, ilmu pengetahuan justru tidak hanya didapat pelajar di sekolah formal saja, melainkan di dalam keluarga dan masyarakat.

Keempat, tugas Mendikbud sebenarnya tidak perlu membuat gagasan baru yang kontroversial. Lebih strategis lagi jika Mendikbud fokus pada penuntasan masalah guru yang kualitasnya jauh dari harapan. Kemudian, penuntasan Kurikulum 2013 juga perlu menjadi pekerjaan rumah yang masih belum terselesaikan. Oleh karena itu, gagasan sekolah lima hari ini belum begitu dibutuhkan jika “urusan dapur” Kemendikbud belum tuntas.

Mengkaji Ulang
Secara pribadi, penulis sependapat dengan gagasan full day school. Sebab, prinsip belajar memang tidak bisa setengah hati dan hanya formalitas belaka. Mendikbud juga sudah menerapkan prinsip long life education yang dimanifestasikan dalam gagasan tersebut. Akan tetapi masalahnya, tidak semua kondisi dan karakter sekolah di Indonesia sama.

Ada beberapa solusi yang penulis tawarkan atas gagasan tersebut. Pertama, sekolah lima hari harus dikaji ulang dan tidak bisa asal-asalan. Bahkan, Mendikbud lama harus diundang untuk mengkaji gagasan tersebut. Sebab, jabatan Mendikbud tidak sekadar jabatan politis, namun juga jabatan akademik yang pertanggungjawabannya harus ilmiah, terukur dan tidak berdasarkan kepentingan kelompok.

Kedua, perlu uji coba di sekolah-sekolah yang sudah siap dengan melakukan riset terpadu. Mengapa? Jelas berbeda antara sekolah di Jakarta dengan di Papua dan daerah tertinggal. Oleh karena itu, full day school tidak bisa diterapkan disemua sekolah. Akan tetapi, setelah riset dan jika uji coba tersebut berjalan dengan mengambil sampel, maka bisa diterapkan di semua sekolah.

Ketiga, perlu konsep yang jelas dan terukur agar full day school tidak merampas hak anak untuk bermain dan tidak mengganggu kebutuhan dasar anak. Keempat, pemetaan jam belajar di kelas. Sebab, di bangku SD terbagi atas dua kela, yaitu kelas rendah (kelas 1, 2 dan 3) dan kelas tinggi (kelas 4, 5 dan 6). Apakah kelas rendah dan tinggi kebutuhan dan gaya belajarnya sama? Jelas tidak. Oleh karena itu, full day school tidak boleh asal-asalan diterapkan begitu saja.

Keempat, full day school harus mempertimbangkan aspek kegiatan pelajar dalam konteks ranah pendidikan. Sebab kalau belajar sehari penuh di sekolah hanya berorientasi pada ranah kognitif saja, tanpa mengutamakan aspek afektif dan psikomotorik, maka akan melahirkan generasi cerdas tapi kurang bermoral. Mereka pandai secara intelektual, namun akan miskin spiritual dan emosional.

Kelima, perlu adanya sinergi antara sekolah formal dan non formal. Sebab, logika dasar sekolah lima hari tampaknya hanya mengutamakan aspek ilmu di sekolah formal saja. Padahal, prinsip belajar menurut Dandan Supratman (2014) bukan meraup ilmu sebanyaknya dan gelar setinggi-tingginya, namun prinsip belajar yang tepat adalah menata cara berpikir dan mengubah perilaku.

Gagasan ini menjadi masalah serius yang harus dicari solusi bersama. Mendikbud juga harus berpikir dan bisa membedakan, konsep full day school itu yang seperti apa dan bagamana. Sebab, di negara-negara maju, jam mengajar memang tersusun rapi dengan mengutamakan edukasi dari berbagai ranah disiplin pembelajaran di sekolah dan lingkungan. 

Pertanyaanya kemudian, penting mana full day school  di sekolah formal dengan full day education dengan menyinergikan pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat?

-Penulis adalah dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung, Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma'arif PWNU Jawa Tengah.
Bagikan :

Tambahkan Komentar